Selasa, 20 Maret 2012

# Sejarah Hidup Muhammad Saw (1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN) #


Sejarah Hidup Muhammad Saw


1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN
 
MUHAMMAD telah meninggalkan warisan rohani yang agung,
yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada
kebudayaan dunia selama dalam beberapa abad yang lalu.
Ia akan terus demikian sampai Tuhan menyempurnakan
cahayaNya ke seluruh dunia. Warisan yang telah memberi
pengaruh besar pada masa lampau itu, dan akan demikian,
bahkan lebih lagi pada masa yang akan datang, ialah
karena ia telah membawa agama yang benar dan meletakkan
dasar kebudayaan satu-satunya yang akan menjamin
kebahagiaan dunia ini. Agama dan kebudayaan yang telah
dibawa Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu Tuhan
itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi
terpisahkan.
 
Kalau pun kebudayaan Islam ini didasarkan kepada metoda-metoda
ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, - dan dalam hal ini sama
seperti yang  menjadi  pegangan  kebudayaan  Barat  masa  kita
sekarang,  dan  kalau  pun  sebagai agama Islam berpegang pada
pemikiran yang subyektif dan pada pemikiran  metafisika  namun
hubungan   antara   ketentuan-ketentuan   agama  dengan  dasar
kebudayaan  itu  erat  sekali.  Soalnya  ialah   karena   cara
pemikiran  yang  metafisik dan perasaan yang subyektif di satu
pihak,  dengan  kaidah-kaidah  logika   dan   kemampuan   ilmu
pengetahuan  di pihak lain oleh Islam dipersatukan dengan satu
ikatan, yang mau tidak mau memang perlu  dicari  sampai  dapat
ditemukan,  untuk  kemudian  tetap  menjadi orang Islam dengan
iman yang kuat pula. Dari segi ini  kebudayaan  Islam  berbeda
sekali  dengan kebudayaan Barat yang sekarang menguasai dunia,
juga dalam melukiskan hidup dan dasar yang menjadi landasannya
berbeda.  Perbedaan  kedua  kebudayaan  ini,  antara yang satu
dengan  yang  lain  sebenarnya  prinsip  sekali,  yang  sampai
menyebabkan  dasar keduanya itu satu sama lain saling bertolak
belakang.
 
Timbulnya pertentangan ini ialah karena alasan-alasan sejarah,
seperti  sudah  kita singgung dalam prakata dan kata pengantar
cetakan kedua buku ini. Pertentangan di Barat antara kekuasaan
agama  dan  kekuasaan  temporal1  sebagai bangsa yang menganut
agama Kristen   atau dengan bahasa sekarang     antara  gereja
dengan negara     menyebabkan keduanya itu harus berpisah, dan
kekuasaan  negara  harus  ditegakkan  untuk   tidak   mengakui
kekuasaan  gereja.  Adanya  konflik  kekuasaan  itu  ada  juga
pengaruhnya dalam pemikiran Barat secara  keseluruhan.  Akibat
pertama  dari  pengaruh  itu  ialah  adanya  permisahan antara
perasaan manusia  dengar  pikiran  manusia,  antara  pemikiran
metafisik  dengan  ketentuan-ketentuan ilmu positif (knowledge
of   reality)   yang   berlandaskan   tinjauan   materialisma.
Kemenangan  pikiran  materialisma ini besar sekali pengaruhnya
terhadap lahirnya suatu  sistem  ekonomi  yang  telah  menjadi
dasar utama kebudayaan Barat.
 
Sebagai  akibatnya,  di  Barat telah timbul pula aliran-aliran
yang hendak membuat segala yang ada di muka  bumi  ini  tunduk
kepada  kehidupan  dunia  ekonomi.  Begitu  juga tidak sedikit
orang rang ingin menempatkan sejarah umat  manusia  dari  segi
agamanya,  seni,  f1lsafat, cara berpikir dan pengetahuannya -
dalam segala pasang surutnya pada  berbagai  bangsa  -  dengan
ukuran  ekonomi. Pikiran ini tidak terbatas hanya pada sejarah
dan penulisannya, bahkan beberapa aliran filsafat Barat  telah
pula  membuat pola-pola etik atas dasar kemanfaatan materi ini
semata-mata. Sungguh  pun  aliran-aliran  demikian  ini  dalam
pemikirannya  sudah  begitu  tinggi  dengan daya ciptanya yang
besar sekali, namun perkembangan pikiran di  Barat  itu  telah
membatasinya  pada  batas-batas  keuntungan materi yang secara
kolektif dibuat oleh pola-pola etik  itu  secara  keseluruhan.
Dan  dari segi pembahasan ilmiah hal ini sudah merupakan suatu
keharusan yang sangat mendesak.
 
Sebaiiknya mengenai masalah rohani, masalah  spiritual,  dalam
pandangan  kebudayaan Barat ini adalah masalah pribadi semata,
orang tidak perlu memberikan perhatian bersama untuk itu. Oleh
karenanya  membiarkan  masalah kepercayaan ini secara bebas di
Barat merupakan suatu hal  yang  diagungkan  sekali,  melebihi
kebebasan   dalam   soal   etik.   Sudah  begitu  rupa  mereka
mengagungkan masalah kebebasan etik itu demi kebebasan ekonomi
yang   sudah   sama   sekali   terikat   oleh   undang-undang.
Undang-undang ini akan dilaksanakan  oleh  tentara  atau  oleh
negara dengan segala kekuatan yang ada.
 
Kebudayaan  yang  hendak  menjadikan kehidupan ekonomi sebagai
dasarnya, dan pola-pola etik didasarkan  pula  pada  kehidupan
ekonomi  itu  dengan tidak menganggap penting arti kepercayaan
dalam kehidupan umum, dalam merambah jalan untuk umat  manusia
mencapai   kebahagiaan  seperti  yang  dicita-citakannya  itu,
menurut  hemat  saya  tidak  akan  mencapai   tujuan.   Bahkan
tanggapan  terhadap  hidup  demikian ini sudah sepatutnya bila
akan menjerumuskan umat manusia  ke  dalam  penderitaan  berat
seperti  yang  dialami  dalam  abad-abad belakangan ini. Sudah
seharusnya pula apabila segala pikiran  dalam  usaha  mencegah
perang  dan mengusahakan perdamaian dunia tidak banyak membawa
arti dan hasilnya pun tidak  seberapa.  Selama  hubungan  saya
dengan  saudara  dasarnya  adalah sekerat roti yang saya makan
atau yang saudara makan, kita berebut, bersaing dan bertengkar
untuk  itu,  masing-masing  berpendirian  atas  dasar kekuatan
hewaninya,  maka  akan  selalu  kita  masing-masing   menunggu
kesempatan  baik  untuk  secara  licik memperoleh sekerat roti
yang di tangan temannya itu. Masing-masing kita satu sama lain
akan  selalu  melihat  teman  itu sebagai lawan, bukan sebagai
saudara. Dasar etik yang tersembunyi dalam diri kita ini  akan
selalu  bersifat  hewani,  sekali  pun masih tetap tersembunyi
sampai pada waktunya nanti ia akan timbul.  Yang  selalu  akan
menjadi pegangan dasar etik ini satu-satunya ialah keuntungan.
Sementara arti perikemanusiaan  yang  tinggi,  prinsip-prinsip
akhlak  yang  terpuji, altruisma, cinta kasih dan persaudaraan
akan jatuh tergelincir, dan  hampir-hampir  sudah  tak  dapat
dipegang lagi.
 
Apa  yang  terjadi  dalam  dunia  dewasa  ini ialah bukti yang
paling nyata atas apa yang saya sebutkan itu.  Persaingan  dan
pertentangan  ialah  gejala  pertama dalam sistem ekonomi, dan
itu pula gejala pertamanya dalam kebudayaan Barat, baik  dalam
paham  yang  individualistis,  maupun  sosialistis  sama  saja
adanya. Dalam  paham  individualisma,  buruh  bersaing  dengan
buruh,  pemilik  modal  dengan  pemilik  modal.  Buruh  dengan
pemilik  modal  ialah  dua   lawan   yang   saling   bersaing.
Pendukung-pendukung paham ini berpendapat bahwa persaingan dan
pertentangan ini akan membawa  kebaikan  dan  kemajuan  kepada
umat  manusia.  Menurut mereka ini merupakan perangsang supaya
bekerja lebih tekun dan perangsang untuk pembagian kerja,  dan
akan menjadi neraca yang adil dalam membagi kekayaan.
 
Sebaliknya  paham sosialisma yang berpendapat bahwa perjuangan
kelas yang harus disudahi dengan kekuasaan  berada  di  tangan
kaum  buruh,  merupakan  salah  satu  keharusan  alam.  Selama
persaingan dan perjuangan mengenai harta itu  dijadikan  pokok
kehidupan,  selama  pertentangan  antar-kelas  itu wajar, maka
pertentangan antar-bangsa juga wajar, dengan tujuan yang  sama
seperti   pada   perjuangan   kelas.   Dari  sinilah  konsepsi
nasionalisma itu, dengan  sendirinya,  memberi  pengaruh  yang
menentukan   terhadap   sistem   ekonomi.  Apabila  perjuangan
bangsa-bangsa untuk menguasai harta itu wajar, apabila  adanya
penjajahan  untuk  itu  wajar  pula,  bagaimana mungkin perang
dapat dicegah dan perdamaian  di  dunia  dapat  dijamin?  Pada
menjelang  akhir abad ke-20 ini kita telah dapat menyaksikan -
dan masih dapat kita  saksikan  -  adanya  bukti-bukti,  bahwa
perdamaian  di  muka bumi dengan dasar kebudayaan yang semacam
ini hanya dalam impian saja dapat  dilaksanakan,  hanya  dalam
cita-cita  yang manis bermadu, tetapi dalam kenyataannya tiada
lebih dari suatu fatamorgana yang kosong belaka.
 
Kebudayaan Islam  lahir  atas  dasar  yang  bertolak  belakang
dengan dasar kebudayaan Barat. Ia lahir atas dasar rohani yang
mengajak  manusia  supaya  pertama  sekali   dapat   menyadari
hubungannya  dengan  alam  dan tempatnya dalam alam ini dengan
sebaik-baiknya. Kalau kesadaran demikian ini sudah  sampai  ke
batas  iman,  maka  imannya  itu  mengajaknya  supaya ia tetap
terus-menerus mendidik dan melatih diri, membersihkan  hatinya
selalu,  mengisi jantung dan pikirannya dengan prinsip-prinsip
yang lebih luhur - prinsip-prinsip harga  diri,  persaudaraan,
cinta kasih, kebaikan dan berbakti. Atas dasar prinsip-prinsip
inilah manusia hendaknya menyusun kehidupan  ekonominya.  Cara
bertahap  demikian ini adalah dasar kebudayaan Islam, seperti
wahyu yang telah diturunkan kepada Muhammad,  yakni  mula-mula
kebudayaan  rohani,  dan  sistem kerohanian disini ialah dasar
sistem pendidikan serta dasar  pola-pola  etik  (akhlak).  Dan
prinsip-prinsip  etik ini ialah dasar sistem ekonominya. Tidak
dapat dibenarkan tentunya dengan  cara  apa  pun  mengorbankan
prinsip-prinsip  etik  ini  untuk  kepentingan  sistem ekonomi
tadi.
 
Tanggapan Islam tentang kebudayaan demikian ini menurut  hemat
saya  ialah  tanggapan yang sesuai dengan kodrat manusia, yang
akan menjamin kebahagiaan baginya. Kalau ini  yang  ditanamkan
dalam  jiwa  kita dan kehidupan seperti dalam kebudayaan Barat
itu kesana pula jalannya, niscaya corak umat manusia itu  akan
berubah,  prinsip-prinsip  yang  selama  ini  menjadi pegangan
orang  akan  runtuh,  dan   sebagai   gantinya   akan   timbul
prinsip-prinsip  yang  lebih  luhur, yang akan dapat mengobati
krisis dunia kita sekarang ini sesuai dengan tuntunannya  yang
lebih cemerlang.
 
Sekarang orang di Barat dan di Timur berusaha hendak mengatasi
krisis ini, tanpa mereka sadari - dan  kaum  Muslimin  sendiri
pun   tidak  pula  menyadari  -  bahwa  Islam  dapat  menjamin
mengatasinya. Orang-orang di Barat dewasa ini  sedang  mencari
suatu  pegangan  rohani  yang  baru, yang akan dapat menanting
mereka dari paganisma yang sedang  menjerumuskan  mereka;  dan
sebab   timbulnya   penderitaan   mereka  itu,  penyakit  yang
menancapkan mereka ke dalam kancah  peperangan  antara  sesama
mereka,   ialah   mammonisma   -   penyembahan  kepada  harta.
Orang-orang Barat mencari pegangan baru itu  didalam  beberapa
ajaran  di  India  dan  di  Timur Jauh; padahal itu akan dapat
mereka peroleh tidak jauh dari mereka, akan mereka dapati  itu
sudah ada ketentuannya didalam Qu'ran, sudah dilukiskan dengan
indah sekali dengan teladan yang sangat  baik  diberikan  oleh
Nabi kepada manusia selama masa hidupnya.
 
Bukan  maksud  saya  hendak melukiskan kebudayaan Islam dengan
segala ketentuannya itu disini. Lukisan  demikian  menghendaki
suatu  pembahasan  yang  mendalam,  yang  akan  meminta tempat
sebesar buku ini atau lebih besar lagi. Akan tetapi -  setelah
dasar  rohani  yang  menjadi  landasannya  itu  saya  singgung
seperlunya  -  lukisan  kebudayaan  itu  disini   ingin   saya
simpulkan,  kalau-kalau  dengan  demikian  ajaran  Islam dalam
keseluruhannya  dapat   pula   saya   gambarkan   dan   dengan
penggambaran  itu  saya akan merambah jalan ke arah pembahasan
yang lebih dalam lagi.  Dan  sebelum  melangkah  ke  arah  itu
kiranya  akan  ada  baiknya juga saya memberi sekadar isyarat,
bahwa  sebenarnya  dalam  sejarah   Islam   memang   tak   ada
pertentangan   antara   kekuasaan   agama  (theokrasi)  dengan
kekuasaan temporal, yakni antara gereja dengan negara. Hal ini
dapat   menyelamatkan   Islam  dari  pertentangan  yang  telah
ditinggalkan Barat dalam pikiran dan dalam haluan sejarahnya.
 
Islam  dapat  diselamatkan  dari  pertentangan  serta   segala
pengaruhnya  itu,  sebabnya ialah karena Islam tidak kenal apa
yang namanya gereja itu  atau  kekuasaan  agama  seperti  yang
dikenal  oleh  agama  Kristen.  Belum  ada  orang  di kalangan
Muslimin  -  sekalipun  ia  seorang  khalifah  -   yang   akan
mengharuskan  sesuatu  perintah kepada orang, atas nama agama,
dan akan mendakwakan dirinya mampu  memberi  pengampunan  dosa
kepada  siapa saja yang melanggar perintah itu. Juga belum ada
di kalangan Muslimin - sekalipun ia seorang  khalifah  -  yang
akan  mengharuskan  sesuatu  kepada  orang  selain  yang sudah
ditentukan Tuhan di dalam Qur'an.  Bahkan  semua  orarg  Islam
sama  di  hadapan  Tuhan.  Yang seorang tidak lebih mulia dari
yang  lain,  kecuali  tergantung  kepada  takwanya  -   kepada
baktinya.  Seorang  penguasa  tidak  dapat  menuntut kesetiaan
seorang Muslim apabila dia sendiri  melakukan  perbuatan  dosa
dan  melanggar  penntah  Tuhan.  Atau  seperti  kata  Abu Bakr
ash-Shiddiq kepada kaum Muslimin  dalam  pidato  pelantikannya
sebagai  Khalifah  "Taatilah  saya  selama  saya  taat  kepada
(perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila  saya  melanggar
(perintah) Allah dan Rasul maka gugurkanlah kesetiaanmu kepada

saya."
 
Kendatipun  pemerintahan  dalam  Islam  sesudah  itu  kemudian
dipegang  oleh  seorang  raja  tirani,  kendatipun di kalangan
Muslimin pernah timbul perang  saudara,  namun  kaum  Muslimin
tetap  berpegang kepada kebebasan pribadi yang besar itu, yang
sudah ditentukan oleh agama, kebebasan yang sampai menempatkan
akal  sebagai  patokan  dalam  segala  hal,  bahkan  dijadikan
patokan didalam agama dan iman sekalipun. Kebebasan ini  tetap
mereka   pegang   sekalipun   sampai   pada   waktu  datangnya
penguasa-penguasa  orang-orang  Islam  yang  mendakwakan  diri
sebagai  pengganti Tuhan di muka bumi ini - bukan lagi sebagai
pengganti Rasulullah. Padahal segala persoalan Muslimin  sudah
mereka kuasai belaka, sampai-sampai ke soal hidup dan matinya.
 
Sebagai  bukti  misalnya  apa  yang  sudah  terjadi  pada masa
Ma'mun, tatkala orang berselisih mengenai Qur'an: makhluk atau
bukan  makhluk - yang diciptakan atau bukan diciptakan! Banyak
sekali orang  yang  menentang  pendapat  Khalifah  waktu  itu,
padahal  mereka  mengetahui akibat apa yang akan mereka terima
jika berani menentangnya.
 
Dalam segala hal  akal  pikiran  oleh  Islam  telah  dijadikan
patokan.  Juga  dalam hal agama dan iman ia dijadikan patokan.
Dalam firman Tuhan:
 
"Perumpamaan orang-orang  yang  tidak  beriman  ialah  seperti
(gembala)  yang  meneriakkan  (ternaknya) yang tidak mendengar
selain suara panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu  dan
buta,  sebab  mereka tidak menggunakan akal pikiran." (Qur'an,
2: 171)
 
Oleh Syaikh Muhammad  Abduh  ditafsirkan,  dengan  mengatakan:
"Ayat  ini  jelas  sekali  menyebutkan, bahwa taklid (menerima
begitu  saja)  tanpa  pertimbangan  akal  pikiran  atau  suatu
pedoman  ialah  bawaan  orang-orang tidak beriman. Orang tidak
bisa beriman kalau agamanya  tidak  disadari  dengan  akalnya,
tidak  diketahuinya sendiri sampai dapat ia yakin. Kalau orang
dibesarkan dengan biasa menerima begitu  saja  tanpa  disadari
dengan  akal pikirannya, maka dalam melakukan suatu perbuatan,
meskipun perbuatan yang baik, tanpa  diketahuinya  benar,  dia
bukan  orang  beriman. Dengan beriman bukan dimaksudkan supaya
orang  merendah-rendahkan  diri  melakukan  kebaikan   seperti
binatang  yang  hina, tapi yang dimaksudkan supaya orang dapat
meningkatkan daya akal  pikirannya,  dapat  meningkatkan  diri
dengan  ilmu  pengetahuan, sehingga dalam berbuat kebaikan itu
benar-benar ia sadar, bahwa kebaikannya  itu  memang  berguna,
dapat  diterima  Tuhan.  Dalam meninggalkan kejahatan pun juga
dia mengerti benar bahaya dan  berapa  jauhnya  kejahatan  itu
akan membawa akibat."
 
Inilah  yang dikatakan Syaikh Muhammad Abduh dalam menafsirkan
ayat ini, yang di dalam Qur'an,  selain  ayat  tersebut  sudah
banyak  pula  ayat-ayat  lain  yang  disebutkan  secara  jelas
sekali. Qur'an menghendaki  manusia  supaya  merenungkan  alam
semesta ini, supaya mengetahui berita-berita sekitar itu, yang
kelak  renungan  demikian  itu  akan  mengantarkannya   kepada
kesadaran  tentang  wujud  Tuhan,  tentang keesaanNya, seperti
dalam firman Allah:

"Bahwasanya dalam penciptaan langit dan bumi, dalam pergantian
malam  dan  siang,  bahtera yang mengarungi lautan membawa apa
yang berguna buat umat manusia, dan apa yang diturunkan  Allah
dari langit berupa air, lalu dengan air itu dihidupkanNya bumi
yang sudah mati kering, kemudian  disebarkanNya  di  bumi  itu
segala jenis hewan, pengisaran angin dan awan yang dikemudikan
dari antara langit dan bumi - adalah tanda-tanda (akan keesaan
dan   kebesaran  Tuhan)  buat  mereka  yang  menggunakan  akal
pikiran." (Qur'an, 2: 164)
 
"Dan sebagai suatu tanda buat mereka,  ialah  bumi  yang  mati
kering.  Kami  hidupkan  kembali  dan Kami keluarkan dari sana
benih  yang  sebagian  dapat  dimakan.  Disana   Kami   adakan
kebun-kebun  kurma  dan  palm  dan anggur dan disana pula Kami
pancarkan mata air - supaya dapat mereka makan buahnya.  Semua
itu  bukan  usaha tangan mereka. Kenapa mereka tidak berterima
kasih. Maha Suci Yang telah menciptakan semua yang ditumbuhkan
bumi  berpasang-pasangan,  dan dalam diri mereka sendiri serta
segala apa yang tiada mereka ketahui. Juga sebagai suatu tanda
buat  mereka  -  ialah malam. Kami lepaskan siang, maka mereka
pun berada  dalam  kegelapan.  Matahari  pun  beredar  menurut
ketetapan  yang sudah ditentukan. Itulah ukuran dari Yang Maha
Kuasa  dan  Maha  Tahu.  Juga  bulan,  sudah   Kami   tentukan
tempat-tempatnya  sampai  ia  kembali lagi seperti mayang yang
sudah tua. Matahari tiada sepatutnya akan mengejar  bulan  dan
malam  pun tiada akan mendahului siang. Masing-masing berjalan
dalam peredarannya. Juga sebagai suatu  tanda  buat  mereka  -
ialah  turunan  mereka yang Kami angkut dalam kapal yang penuh
muatan. Dan buat mereka Kami ciptakan pula yang  serupa,  yang
dapat  mereka  kendarai.  Kalau  Kami kehendaki, Kami karamkan
mereka. Tiada penolong lagi buat mereka, juga mereka tak dapat
diselamatkan.  Kecuali  dengan  rahmat  dari  Kami  dan  untuk
memberikan kesenangan hidup sampai  pada  waktunya."  (Qur'an,
36: 33-44.)
 
Anjuran   supaya   memperhatikan  alam  ini,  menggali  segala
ketentuan  dan  hukum  yang  ada  di  dalam  alam  ini   serta
menjadikannya  sebagai  pedoman  yang  akan  mengantarkan kita
beriman kepada  Penciptanya,  sudah  beratus  kali  disebutkan
dalam  pelbagai  Surah dalam Qur'an. Semuanya ditujukan kepada
tenaga akal  pikiran  manusia,  menyuruh  manusia  menilainya,
merenungkannya,  supaya  imannya  itu  didasarkan  kepada akal
pikiran, dan keyakinan yang jelas. Qur'an mengingatkan  supaya
jangan menerima begitu saja apa yang ada pada nenek moyangnya,
tanpa memperhatikan, tanpa meneliti lebih  jauh  serta  dengan
keyakinan pribadi akan kebenaran yang dapat dicapainya itu.
 
Iman demikian inilah yang dianjurkan oleh Islam. Dan ini bukan
iman yang biasa disebut  "iman  nenek-nenek,"  melainkan  iman
intelektual  yang  sudah  meyakinkan,  yang  sudah direnungkan
lagi, kemudian dipikirkan matang-matang, sesudah  itu,  dengan
renungan  dan pemikirannya itu ia akan sampai kepada keyakinan
tentang Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya rasa tak  ada  orang  yang
sudah   dapat  merenungkan  dengan  akal  pikiran  dan  dengan
hatinya,  yang  tidak  akan  sampai  kepada  iman.  Setiap  ia
merenungkan  lebih  dalam,  berpikir  lebih  lama dan berusaha
menguasai ruang dan waktu ini serta kesatuan  yang  terkandung
di  dalamnya,  yang tiada berkesudahan, dengan anggota-anggota
alam semesta  tiada  terbatas,  yang  selalu  berputar  ini  -
sekelumit  akan  terasa  dalam dirinya tentang anggota-anggota
alam itu, yang semuanya  berjalan  menurut  hukum  yang  sudah
ditentukan   dan  dengan  tujuan  yang  hanya  diketahui  oleh
penciptanya. Ia pun akan merasa yakin akan kelemahan  dirinya,
akan  pengetahuannya  yang  belum  cukup,  jika  saja ia tidak
segera dibantu dengan kesadarannya tentang alam  ini,  dibantu
dengan   suatu   kekuatan  diatas  kemampuan  pancaindera  dan
otaknya, yang akan  menghubungkannya  dengan  seluruh  anggota
alam,  dan  yang akan membuat dia menyadari tempatnya sendiri.
Dan kekuatan itu ialah iman.
 
Jadi iman itu  ialah  perasaan  rohani,  yang  dirasakan  oleh
manusia  meliputi  dirinya  setiap  ia  mengadakan  komunikasi
dengan alam dan  hanyut  kedalam  ketak-terbatasan  ruang  dan
waktu.  Semua  makhluk  alam  ini akan terjelma dalam dirinya.
Maka dilihatnya semua itu berjalan menurut  hukum  yang  sudah
ditentukan,  dan  dilihatnya  pula  sedang  memuja  Tuhan Maha
Pencipta. Ada pun Ia menjelma dalam alam,  berhubungan  dengan
alam, atau berdiri sendiri dan terpisah, masih merupakan suatu
perdebatan spekulatif  yang  kosong  saja.  Mungkin  berhasil,
mungkin  juga  jadi  sesat,  mungkin menguntungkan dan mungkin
juga merugikan. Disamping itu  hal  ini  tidak  pula  menambah
pengetahuan   kita.  Sudah  berapa  lama  penulis-penulis  dan
failasuf-failasuf  itu  satu   sama   lain   berusaha   hendak
mengetahui  zat  Maha Pencipta ini, namun usaha dan daya upaya
mereka itu sia-sia. Dan ada  pula  yang  mengakui,  bahwa  itu
memang berada di luar jangkauan persepsinya. Kalau memang akal
yang sudah tak mampu mencapai  pengertian  ini,  maka  ketidak
mampuannya  itu  lebih-lebih  lagi  memperkuat  keimanan kita.
Perasaan  kita  yang  meyakinkan  tentang  adanya  Wujud  Maha
Tinggi,  Yang  Maha Mengetahui akan segalanya dan bahwa Dialah
Maha  Pencipta,  Maha  Perencana,   segalanya   akan   kembali
kepadaNya,  maka  keadaan  semacam  itu  akan sudah meyakinkan
kita, bahwa kita takkan mampu  menjangkau  zatNya  betapa  pun
besarnya iman kita kepadaNya itu
 
Demikian  juga, kalau sampai sekarang kita tak dapat menangkap
apa sebenarnya listrik itu meskipun dengan mata  kita  sendiri
kita  melihat  bekasnya,  begitu  juga  eter  yang  tidak kita
ketahui meskipun sudah dapat  ditentukan,  bahwa  gelombangnya
itu dapat inemindahkan suara dan gambar, pengaruh dan bekasnya
itu buat kita sudah cukup untuk mempercayai adanya listrik dan
adanya   eter.  Alangkah  angkuhnya  kita,  setiap  hari  kita
menyaksikan keindahan dan  kebesaran  yang  diciptakan  Tuhan,
kalau  kita  masih  tidak  mau percaya sebelum kita mengetahui
zatNya. Tuhan Yang Maha Transenden jauh di luar jangkauan yang
dapat  mereka  lukiskan.  Kenyataan  dalam  hidup  ialah bahwa
mereka yang mencoba menggambarkan zat Tuhan Yang Maha Suci itu
ialah   mereka  yang  dengan  persepsinya  sudah  tak  berdaya
mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi dalam  melukiskan  apa
yang  diatas  kehidupan  insan. Mereka ingin mengukur alam ini
serta  Pencipta  alam  menurut  ukuran  kita  yang  nisbi  dan
terbatas sekali dalam batas-batas ilmu kita yang hanya sedikit
itu. Sebaliknya mereka yang sudah benar-benar  mencapai  ilmu,
akan teringat oleh mereka firman Tuhan ini:
 
"Mereka  bertanya  kepadamu  tentang  ruh.  Jawablah:  Ruh itu
termasuk urusan Tuhan. Pengetahuan yang diberikan kepada  kamu
itu hanya sedikit sekali." (Qur'an, 17: 85)
 
Kalbu  mereka  sudah penuh dengan iman kepada Pencipta Ruh dan
Pencipta semesta Alam ini,  sesudah  itu  tidak  perlu  mereka
menjerumuskan diri ke dalam perdebatan spekulatif yang kosong,
yang takkan memberi hasil, takkan mencapai suatu kesimpulan.
 
Islam yang dicapai dengan iman dan Islam yang tanpa iman  oleh
Qur'an dibedakan:
 
"Orang-orang  Arab  badwi  itu  berkata: 'Kami sudah beriman.'
Katakanlah 'Kamu belum beriman, tapi katakan saja: kami  sudah
islam.'  Iman  itu  belum  lagi  masuk  ke  dalam  hati kamu."
(Qur'an, 49: 14)
 
Contoh Islam yang demikian ini ialah yang tunduk kepada ajakan
orang  karena kehendaknya atau karena takut, karena kagum atau
karena mengkultuskan diluar hati yang mau menurut dan memahami
benar-benar akan ajaran itu sampai ke batas iman.
 
Yang  demikian ini belum mendapat petunjuk Tuhan sampai kepada
iman yang seharusnya dicapai, dengan  jalan  merenungkan  alam
dan  mengetahui  hukum  alam,  dan  yang  dengan  renungan dan
pengetahuannya  itu  ia  akan  sampai  kepada  Penciptanya   -
melainkan  jadi  Islam  karena  suatu  keinginan  atau  karena
nenek-moyangnya memang sudah Islam. Oleh  karenanya  iman  itu
belum merasuk lagi kedalam hatinya, sekalipun dia sudah Islam.
Manusia-manusia Muslim semacam  ini  ada  yang  hendak  menipu
Tuhan dan menipu orang-orang beriman, tetapi sebenarnya mereka
sudah menipu diri sendiri dengan tiada  mereka  sadari.  Dalam
hati  mereka sudah ada penyakit. Maka oleh Tuhan ditambah lagi
penyakit mereka itu. Mereka itulah orang-orang beragama  tanpa
iman; islamnya hanya karena didorong oleh suatu keinginan atau
karena takut, sedang jiwanya tetap kerdil, keyakinannya  tetap
lemah  dan  hatinya  pun  bersedia  menyerah  kepada  kehendak
manusia, menyerah kepada perintahnya. Sebaliknya mereka,  yang
keimanannya kepada Allah itu dengan imam yang sungguh-sungguh,
diantarkan oleh akal pikiran  dan  oleh  jantung  yang  hidup,
dengan  jalan  merenungkan  alam ini, mereka itulah orang yang
beriman.  Mereka  yang  akan  menyerahkan  persoalannya  hanya
kepada Tuhan, mereka itulah orang yang tidak mengenal menyerah
selain kepada Allah. Dengan Islamnya itu mereka tidak  memberi
jasa apa-apa kepada orang.
 
"Tetapi  sebenarnya  Tuhanlah yang berjasa kepada kamu, karena
kamu telah dibimbingNya kepada  keimanan,  kalau  kamu  memang
orang-orang yang benar." (Qur'an, 49: 17)
 
Jadi barangsiapa menyerahkan diri patuh kepada Allah dan dalam
pada itu melakukan perbuatan baik, mereka tidak  perlu  merasa
takut,  tidak  usah  bersedih  hati.  Mereka  tidak takut akan
menghadapi hidup miskin  atau  hina,  sebab  dengan  iman  itu
mereka   sudah   sangat   kaya,  sangat  mendapat  kehormatan.
Kehormatan yang ada pada Tuhan dan pada orang-orang beriman.
 
Jiwa yang rela dan tenteram dengan imannya ini, ia merasa lega
bila  selalu ia berusaha hendak mengetahui rahasia-rahasia dan
hukum-hukum  alam,  yang  berarti  akan  menambah  hubungannya
dengan  Tuhan. Dan langkah kearah pengetahuan ini ialah dengan
jalan membahas dan merenungkan segala ciptaan Tuhan  yang  ada
dalam  alam  ini  dengan  cara  ilmiah seperti dianjurkan oleh
Qur'an  dan  dipraktekkan  pula  sungguh-sungguh   oleh   kaum
Muslimin  dahulu,  yaitu  seperti  cara  ilmiah yang modern di
Barat sekarang. Hanya saja tujuannya  dalam  Islam  dan  dalam
kebudayaan  Barat  itu  berbeda.  Dalam Islam tujuannya supaya
manusia membuat hukum Tuhan dalam alam  ini  menjadi  hukumnya
dan  peraturannya  sendiri, sementara di Barat tujuannya ialah
mencari keuntungan materi dan apa yang  ada  dalam  alam  ini.
Dalam Islam tujuan yang pertama sekali ialah 'irfan - mengenal
Tuhan  dengan  baik,  makin   dalam   'irfan   atau   persepsi
(pengenalan)  kita  makin  dalam  pula iman kita kepada Tuhan.
Tujuan ini ialah hendak mencapai 'irfan yang  baik  dari  segi
seluruh  masyarakat,  bukan  dari  segi  pribadi saja. Masalah
integritas rohani bukan suatu masalah pribadi semata. Tak  ada
tempat  buat  orang  mengurung  diri  sebagai suatu masyarakat
tersendiri. Bahkan  ia  seharusnya  menjadi  dasar  kebudayaan
untuk  masyarakat  manusia sedunia - dari ujung ke ujung. Oleh
karena  itu  seharusnya  umat  manusia  berusaha  terus   demi
integritas (kesempurnaan) rohani itu, yang berarti lebih besar
daripada pengamatannya mengenai hakekat indera (sensibilia).
 
Persepsi2 mengenai rahasia benda-benda  dan  hukum-hukum  alam
yang  hendak  mencapai  integritas  itu  lebih  besar daripada
persepsi sebagai alat  guna  mencapai  kekuasaan  materi  atas
benda-benda itu.
 
Untuk   mencapai   integritas  rohani  ini  tidak  cukup  kita
bersandar hanya kepada logika kita saja, malah  dengan  logika
itu  kita  harus  membukakan  jalan buat hati kita dan pikiran
kita untuk sampai ke tingkat tertinggi. Hal ini  bisa  terjadi
hanya   jika   manusia   mencari   pertolongan   dari   Tuhan,
menghadapkan diri kepadaNya  dengan  sepenuh  hati  dan  jiwa.
Hanya  kepadaNya  kita  menyembah  dan  hanya  kepadaNya  kita
meminta pertolongan, untuk mencapai rahasia-rahasia  alam  dan
undang-undang  kehidupan  ini.  Inilah  yang  disebut hubungan
dengan Tuhan, mensyukuri nikmat Tuhan, supaya  bertambah  kita
mendapat  petunjuk  akan  apa  yang  belum kita capai, seperti
dalam firman Tuhan:
 
"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(katakan)  Aku  dekat.  Aku  mengabulkan permohonan orang yang
bermohon -  apabila  dia  bermohon  kepadaKu.  Maka  sambutlah
seruanKu   dan   berimanlah   kepadaKu,   kalau-kalau   mereka
terbimbing ke jalan yang lurus." (Qur'an 2: 186)
 
"Dan  carilah  pertolongan  Tuhan  dengan  tabah,  dan  dengan
menjalankan  sembahyang,  dan  sembahyang  itu  memang  berat,
kecuali  bagi  orang-orang  yang  rendah  hati-kepada   Tuhan.
Orang-orang  yang  menyadari  bahwa mereka akan bertemu dengan
Tuhan dan kepadaNya mereka kembali." (Qur'an 2: 45-46)
 
Salat  ialah  suatu  bentuk  komunikasi  dengan  Tuhan  secara
beriman  serta  meminta pertolongan kepadaNya. Dengan demikian
yang dimaksudkan dengan salat bukanlah sekadar ruku' dan sujud
saja,  membaca  ayat-ayat  Qu'ran  atau mengucapkan takbir dan
ta'zim demi  kebesaran  Tuhan  tanpa  mengisi  jiwa  dan  hati
sanubari  dengan  iman,  dengan kekudusan dan keagungan Tuhan.
Tetapi yang dimaksudkan dengan  salat  atau  sembahyang  ialah
arti  yang  terkandung di dalam takbir, dalam pembacaan, dalam
ruku', sujud serta segala keagungan, kekudusan dan  iman  itu.
Jadi  beribadat  demikian kepada Tuhan ialah suatu ibadat yang
ikhlas - demi Tuhan Cahaya langit dan bumi.
 
"Kebaikan itu bukanlah karena kamu menghadapkan muka  ke  arah
timur  dan  barat,  tetapi kebaikan itu ialah orang yang sudah
beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian, malaikat-malaikat,
Kitab, dan para nabi serta mengeluarkan harta yang dicintainya
itu untuk kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan   orang   terlantar  dalam  perjalanan,  orang-orang  yang
meminta, untuk melepaskan perbudakan,  mengerjakan  sembahyang
dan   mengeluarkan   zakat,  kemudian  orang-orang  yang  suka
memenuhi janji bila  berjanji,  orang-orang  yang  tabah  hati
dalam  menghadapi  penderitaan  dan  kesulitan  dan  di  waktu
perang. Mereka itulah orang-orang yang benar  dan  mereka  itu
orang-orang yang dapat memelihara diri." (Qur'an, 2: 177)
 
Orang  mukmin yang benar-benar beriman ialah yang menghadapkan
seluruh kalbunya kepada Allah  ketika  ia  sedang  sembahyang,
disaksikan   oleh   rasa   takwa   kepadaNya,   serta  mencari
pertolongan Tuhan  dalam  menunaikan  kewajiban  hidupnya.  Ia
mencari  petunjuk,  memohonkan  taufik  Allah  dalam  memahami
rahasia dan hukum alam ini.
 
Orang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah  tengah  ia
sembahyang  akan  merasakannya  sendiri,  selalu  akan merasa,
dirinya adalah sesuatu yang kecil berhadapan dengan  kebesaran
Allah  Yang  Maha  Agung.  Apabila  kita dalam pesawat terbang
diatas  ketinggian  seribu  atau  beberapa  ribu  meter,  kita
melihat    gunung-gunung,   sungai   dan   kota-kota   sebagai
gejala-gejala kecil di atas bumi. Kita  melihatnya  terpampang
di  depan  mata kita seperti jalur-jalur yang tergaris di atas
sebuah peta dan seolah permukaannya sudah  rata  mendatar  tak
ada  gunung  atau  bangunan yang lebih tinggi, tak ada ngarai,
sumur   atau   sungai   yang   lebih    rendah,    warna-warna
sambung-menyambung,  saling  berkait,  tercampur, makin tinggi
kita terbang warna-warna itu  makin  tercampur.  Seluruh  bumi
kita ini tidak lebih dari sebuah planet kecil saja. Dalam alam
ini terdapat ribuan tata surya dan  planet-planet.  Semua  itu
tidak  lebih  dari  sejumlah  kecil saja dalam ketakterbatasan
seluruh  eksistensi  ini.  Alangkah  kecilnya  kita,  alangkah
lemahnya  kcadaan kita berhadapan dengan Pencipta dan Pengurus
wujud ini. KebesaranNya diatas jangkauan pengertian kita!
 
Dalam kita menghadapkan seluruh kalbu kita dengan penuh ikhlas
kepada  Kebesaran  Tuhan  Yang  Maha  Suci,  kita mengharapkan
pertolongan kepadaNya untuk memberikan kekuatan atas kelemahan
diri  kita  ini,  memberi  petunjuk  dalam mencari kebenaran -
alangkah wajarnya bila  kita  dapat  melihat  persamaan  semua
manusia  dalam  kelemahannya itu, yang dalam berhadapan dengan
Tuhan tak dapat ia memperkuat diri dengan harta dan  kekayaan,
selain  dengan  imannya  yang  teguh  dan  tunduk hanya kepada
Allah, berbuat kebaikan dan menjaga diri.
 
Persamaan yang sesungguhnya dan sempurna ini di hadapan  Tuhan
tidak  sama  dengan  persamaan  yang biasa disebut-sebut dalam
kebudayaan Barat waktu-waktu belakangan ini,  yaitu  persamaan
di  hadapan  hukum. Sudah begitu jauh kebudayaan itu memandang
persamaan, sehingga hampir-hampir pula tidak  lagi  diakui  di
depan  hukum.  Buat  orang-orang  tertentu sudah tidak berlaku
lagi  untuk  menghormatinya.  Persamaan  di   hadapan   Tuhan,
persamaan   yang   kenyataannya   dapat  kita  rasakan  dikala
sembahyang, yang dapat kita capai dengan pandangan  kita  yang
bebas  -  tidak  sama  dengan persamaan dalam persaingan untuk
mencari kekayaan, persaingan yang membolehkan orang  melakukan
segala  tipu-daya  dan bermuka-muka, kemudian orang yang lebih
pandai mengelak dan bisa main, ia akan selamat dari  kekuasaan
hukum.
 
Persamaan  dihadapan Allah ini menuju kepada persaudaraan yang
sebenarnya, sebab semua orang  dapat  merasakan  bahwa  mereka
sebenarnya  bersaudara  dalam berihadat kepada Allah dan hanya
kepadaNya  mereka   beribadat.   Persaudaraan   demikian   ini
didasarkan  kepada  saling  penghargaan  yang  sehat, renungan
serta pandangan yang bebas  seperti  dianjurkan  oleh  Qur'an.
Adakah  kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang lebih besar
daripada umat ini di hadapan Allah, semua  menundukkan  kepala
kepadaNya,  bertakbir,  ruku'  dan  bersujud.  Tiada perbedaan
antara satu dengan yang lain - semua mengharapkan pengampunan,
bertaubat,  mengharapkan pertolongan. Tak ada perantara antara
mereka itu dengan Tuhan kecuali amalnya yang saleh  (perbuatan
baik) serta perbuatan baik yang dapat dilakukannya dan menjaga
diri dari kejahatan.  Persaudaraan  yang  demikian  ini  dapat
membersihkan   hati  dari  segala  noda  materi  dan  menjamin
kebahagiaan  manusia,  juga  akan  mengantarkan  mereka  dalam
memahami  hukum Tuhan dalam kosmos ini, sesuai dengan petunjuk
dalam cahaya Tuhan yang telah diberikan kepada mereka.
 
Tidak semua orang sama kemampuannya dalam  melakukan  baktinya
sebagaimana   diperintahkan   Allah.   Adakalanya  tubuh  kita
membebani jiwa kita, sifat  materialisma  kita  dapat  menekan
sifat  kemanusiaan  kita,  kalau  kita tidak melakukan latihan
rohani secara tetap,  tidak  menghadapkan  kalbu  kita  kepada
Allah  selama  dalam  salat kita; dan sudah cukup hanya dengan
tatatertib sembahyang, seperti ruku', sujud dan bacaan-bacaan.
Oleh  karena  itu  harus diusahakan sekuat tenaga menghentikan
daya tubuh yang terlampau memberatkan jiwa, sifat materialisma
yang  sangat  menekan sifat kemanusiaan. Untuk itu Islam telah
mewajibkan  puasa  sebagai  suatu  langkah  mencapai  martabat
kebaktian (takwa) itu seperti dalam firman Tuhan:
 
"Orang-orang  beriman!  Kepadamu  telah  diwajibkan  berpuasa,
seperti yang sudah diwajibkan juga kepada mereka yang  sebelum
kamu,  supaya kamu bertakwa - memelihara diri dari kejahatan."
(Qur'an, 2: 183)
 
Bertakwa dan berbuat baik (birr) itu sama. Yang  berbuat  baik
orang  yang  bertakwa  dan  yang berbuat baik ialah orang yang
beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab  dan
para nabi dan diteruskan dengan ayat yang sudah kita sebutkan.
 
Kalau   tujuan   puasa   itu   supaya  tubuh  tidak  terlampau
memberatkan  jiwa,  sifat  materialisma  kita  jangan  terlalu
menekan  sifat  kemanusiaan kita, orang yang menahan diri dari
waktu fajar sampai malam, kemudian sesudah  itu  hanyut  dalam
berpuas-puas  dalam  kesenangan,  berarti ia sudah mengalihkan
tujuan tersebut. Tanpa puasa pun hanyut dalam  memuaskan  diri
itu  sudah  sangat  merusak,  apalagi  kalau  orang  berpuasa,
sepanjang hari ia menahan diri dari  segala  makanan,  minuman
dan  segala  kesenangan,  dan bilamana sudah lewat waktunya ia
lalu menyerahkan diri kepada apa saja yang dikiranya di  waktu
siang  ia  tak  dapat menikmatinya! Kalau begitu Tuhan jugalah
yang menyaksikan,  bahwa  puasanya  bukan  untuk  membersihkan
diri,  mempertinggi  sifat  kemanusiaannya,  juga  ia berpuasa
bukan atas kehendak sendiri karena percaya,  bahwa  puasa  itu
memberi   faedah  kedalam  rohaninya,  tapi  ia  puasa  karena
menunaikan suatu kewajiban,  tidak  disadari  oleh  pikirannya
sendiri  perlunya  puasa  itu.  Ia  melihatnya  sebagai  suatu
kekangan atas kebebasannya, begitu kebebasan itu berakhir pada
malam  harinya,  begitu  hanyut ia kedalam kesenangan, sebagai
ganti puasa yang telah mengekangnya tadi. Orang yang melakukan
ini  sama  seperti  orang yang tidak mau mencuri, hanya karena
undang-undang melarang pencurian, bukan karena  jiwanya  sudah
cukup   tinggi   untuk   tidak  melakukan  perbuatan  itu  dan
mencegahnya atas kemauan sendiri pula.
 
Sebenarnya  tanggapan  orang  mengenai  puasa  sebagai   suatu
tekanan  atau pencegahan dan pembatasan atas kebebasan manusia
adalah suatu tanggapan yang salah  samasekali,  yang  akhirnya
akan menempatkan fungsi puasa tidak punya arti dan tidak punya
tempat lagi. Puasa yang sebenarnya  ialah  membersihkan  jiwa.
Orang  berpuasa  diharuskan oleh pikiran kita yang timbul atas
kehendak  sendiri,  supaya  kebebasan  kemauan  dan  kebebasan
berpikirnya  dapat  diperoleh kembali. Apabila kedua kebebasan
ini  sudah  diperolehnya  kembali,  ia  dapat  mengangkat   ke
martabat   yang  lebih  tinggi,  setingkat  dengan  iman  yang
sebenarnya kepada Allah. Inilah yang  dimaksud  dengan  firman
Tuhan  -  setelah  menyebutkan  bahwa  puasa  telah diwajibkan
kepada  orang-orang  beriman  seperti  sudah  diwajibkan  juga
kepada orang-orang yang sebelum mereka:
 
"Beberapa  hari  sudah ditentukan. Tetapi barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau sedang dalam perjalanan,  maka  dapat
diperhitungkan  pada kesempatan lain. Dan buat orangorang yang
sangat berat menjalankannya,  hendaknya  ia  membayar  fid-yah
dengan memberi makan kepada orang rniskin, dan barangsiapa mau
mengerjakan kebaikan atas kemauan sendiri, itu lebih baik buat
dia;  dan  bila kamu berpuasa, itu lebih baik buat kamu, kalau
kamu mengerti." (Qur'an, 2: 184)
 
Seolah tampak aneh apa yang saya  katakan  itu,  bahwa  dengan
puasa  kita  dapat  memperoleh  kembali  kebebasan kemauan dan
kebebasan berpikir kalau  yang  kita  maksudkan  dengan  puasa
dengan  segala  apa yang baik itu untuk kehidupan rohani kita.
Ini memang tampak aneh,  karena  dalam  bayangan  kita  bentuk
kebebasan  ini  telah  dirusak  oleh  pikiran modern, bilamana
batas-batas  rohani  dan  mental  itu  dihancurkan,   kemudian
batas-batas  kebendaannya  dipertahankan,  yang  oleh  seorang
prajurit  dapat  dilaksanakan  dengan  pedang   undang-undang.
Menurut  pikiran  modern,  manusia  tidak  bebas  dalam hal ia
melanda harta atau pribadi orang lain. Akan  tetapi  ia  bebas
terhadap  dirinya  sendiri  sekalipun  hal ini sudah melampaui
batas-batas segala yang dapat diterima  akal  atau  dibenarkan
oleh  kaidah-kaidah  moral. Sedang kenyataan dalam hidup bukan
yang demikian. Kenyataannya ialah manusia budak  kebiasaannya.
Ia  sudah  biasa makan di waktu pagi; waktu tengah hari, waktu
sore. Kalau dikatakan kepadanya: makan pagi dan sore  sajalah,
maka ini akan dianggapnya suatu pelanggaran atas kebebasannya.
Padahal itu adalah pelanggaran atas  perbudakan  kebiasaannya,
kalau  benar  ungkapan  demikian  ini.  Orang yang sudah biasa
merokok sampai kebatas ia diperbudak oleh kebiasaan merokoknya
itu, lalu dikatakan kepadanya: sehari ini kamu jangan merokok,
maka ini  dianggapnya  suatu  pelanggaran  atas  kebebasannya.
Padahal  sebenarnya  itu  tidak  lebih adalah pelanggaran atas
perbudakan kebiasaannya. Ada lagi orang yang sudah biasa minum
kopi  atau  teh  atau  minuman lain apa saja dalam waktu-waktu
tertentu lalu dikatakan kepadanya:  gantilah  waktu-waktu  itu
dengan  waktu  yang  lain,  maka  pelanggaran  atas perbudakan
kebiasaannya  itu   dianggapnya   sebagai   pelanggaran   atas
kebebasannya.  Budak  kebiasaan  serupa  ini  merusak kemauan,
merusak arti yang sebenarnya dari  kebebasan  dalam  bentuknya
yang sesungguhnya.
 
Disamping  itu,  ini  juga  merusak cara berpikir sehat, sebab
dengan demikian berarti ia  telah  ditunjukkan  oleh  pengaruh
hajat jasmani dari segi kebendaannya, yang sudah dibentuk oleh
kebiasaan  itu.  Oleh  karena  itu  banyak  orang  yang  telah
melakukan  puasa  dengan cara yang bermacam-macam, yang secara
tekun dilakukannya dalam waktu-waktu  tertentu  setiap  minggu
atau  setiap  bulan. Tetapi Tuhan menghendaki yang lebih mudah
buat manusia dengan diwajibkan kepada mereka  berpuasa  selama
beberapa  hari  yang  sudah  ditentukan, supaya dalam pada itu
semua sama, dengan diberikan pula kesempatan  fid-yah.  Mereka
masing-masing yang telah dibebaskan karena dalam keadaan sakit
atau sedang dalam perjalanan dapat mengganti puasanya itu pada
kesempatan lain.
 
Kewajiban  berpuasa  selama  hari-hari  yang  sudah ditentukan
untuk memperkuat arti persaudaraan dan  persamaan  di  hadapan
Tuhan,  sungguh  suatu  latihan  rohani  yang luarbiasa. Semua
orang, selama menahan  diri  sejak  fajar  hingga  malam  hari
mereka  telah melaksanakan persamaan itu antara sesama mereka,
sama  halnya   seperti   dalam   sembahyang   jamaah.   Dengan
persaudaraan demikian selama itu mereka merasakan adanya suatu
perasaan yang mengurangi rasa kelebihan mereka dalam  mengecap
kenikmatan  rejeki  yang  diberikan  Tuhan  kepadanya.  Dengan
demikian puasa berarti memperkuat arti kebebasan, persaudaraan
dan   persamaan  dalam  jiwa  manusia  seperti  halnya  dengan
sembahyang.
 
Kalau kita menyambut puasa dengan kemauan sendiri dengan penuh
kesadaran bahwa perintah Tuhan tak mungkin bertentangan dengan
cara-cara berpikir  yang  sehat,  yang  telah  dapat  memahami
tujuan  hidup dalam bentuknya yang paling tinggi, tahulah kita
arti puasa yang dapat membebaskan kita  dari  budak  kebiasaan
itu,  yang  juga  sebagai latihan dalam menghadapi kemauan dan
arti kebebasan kita sendiri.  Disamping  itu  kita  pun  sudah
diingatkan,  bahwa  apa yang telah ditentukan manusia terhadap
dirinya sendiri - dengan kehendak Tuhan - mengenai batas-batas
rohani   dan   mentalnya   sehubungan  dengan  kebebasan  yang
dimilikinya untuk melepaskan diri dari beberapa kebiasaan  dan
nafsunya,  ialah cara yang paling baik untuk mencapai martabat
iman yang paling tinggi itu. Apabila taklid dalam  iman  belum
dapat disebut iman, melainkan baru Islam yang tanpa iman, maka
taklid dalam puasa juga belum dapat disebut puasa. Oleh karena
itu  orang  yang  bertaklid menganggap puasanya suatu kekangan
dan  membatasi  kebebasannya  -  sebaliknya   daripada   dapat
memahami   arti   pembebasan  dari  belenggu  kebiasaan  serta
konsumsi rohani dan mental yang sangat besar itu.
 
Apabila dengan jalan latihan rohani ini manusia  telah  sampai
kepada arti hukum dan rahasia-rahasia alam dan mengetahui pula
dimana tempatnya dan tempat anak manusia ini, cintanya  kepada
sesama  anak  manusia  akan  lebih  besar lagi, dan semua anak
manusia  saling  cinta  dalam  Tuhan.   Mereka   akan   saling
tolong-menolong  untuk  kebaikan dan rasa takwa - menjaga diri
dari kejahatan. Yang kuat  mengasihi  yang  lemah,  yang  kaya
mengulurkan  tangan kepada yang tidak punya. Ini adalah zakat,
dan selebihnya sedekah. Dalam sekian banyak ayat Qur'an selalu
mengaitkan  zakat  dengan  salat.  Kita  sudah  membaca firman
Tuhan:
 
"Tetapi kebaikan itu ialah orang  yang  sudah  beriman  kepada
Allah,  kepada  hari  kemudian, malaikat, Kitab dan para nabi;
mengeluarkan    harta    yang    dicintainya    itu     kepada
kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang
yang melepaskan perbudakan, mengerjakan salat dan mengeluarkan
zakat." (Qur'an, 2: 177)
 
"Kamu  kerjakanlah  sembahyang  dan keluarkan pula zakat serta
tundukkan kepala (ruku') bersama orang-orang yang  menundukkan
kepala." (Qur'an, 2: 43)
 
"Beruntunglah  orang-orang  yang  sudah  beriman.  Mereka yang
dengan khusyu' mengerjakan sembahyang. Mereka yang  menjauhkan
diri  dan  percakapan  yang  tiada  berguna.  Dan  mereka yang
mengeluarkan zakat." (Qur'an, 23: 1-4)
 
Ayat-ayat  yang  mengaitkan  zakat  dengan  salat  itu  banyak
sekali.
 
Apa  yang  disebutkan  dalam  Qur'an tentang zakat dan sedekah
cukup menyeluruh dan kuat sekali.  Dalam  melakukan  perbuatan
baik,  sedekah  itu  terletak  pada tempat pertama, orang yang
melakukannya akan mendapat pahala yang amat  sempurna.  Bahkan
ia  terletak disamping iman kepada Allah, sehingga kita merasa
seolah itu sudah hampir sebanding. Tuhan berfirman:
 
"Tangkaplah orang itu dan belenggukanlah.  Kemudian  campakkan
kedalam  api  menyala. Sesudah itu belitkan dengan rantai yang
panjangnya tujuhpuluh hasta. Dahulu ia sungguh  tidak  beriman
kepada  Allah  Yang  Maha  Besar.  Juga  tidak mendorong orang
memberi makan orang miskin." (Qur'an, 69: 30-34)
 
"... Dan sampaikan berita gembira kepada mereka  yang    taat.
Yaitu  mereka,  yang  apabila  disebutkan  nama  Tuhan hatinya
merasa takut  karena  taatnya,  dan  mereka  yang  tabah  hati
terhadap apa yang menimpa mereka serta mereka yang mengerjakan
salat dan menafkahkan sebagian  rejeki  yang  diberikan  Tuhan
kepada mereka."' (Qur'an, 22: 34-35)
 
"Mereka  yang  menafkahkan hartanya - baik di waktu malam atau
di waktu siang, dengan sembunyi atau  terang-terangan,  mereka
akan mendapat pahala dari Tuhan. Tidak usah mereka takut, juga
jangan bersedih hati" (Qur'an, 2: 274)
 
Qur'an tidak hanya menyebutkan masalah-masalah  sedekah  serta
pahalanya  yang  akan diberikan Tuhan yang sama seperti pahala
orang beriman dan mengerjakan sembahyang, bahkan adab  sedekah
itu telah dilembagakan pula dengan suatu tatacara yang sungguh
baik sekali.
 
"Bilamana kamu memperlihatkan sedekah  itu,  itu  memang  baik
sekali. Tetapi kalau pun kamu sembunyikan memberikannya kepada
orang fakir, maka itu pun lebih baik lagi buat kamu." (Qur'an,
2: 271)
 
"Perkataan  yang  baik  dan pemberian maaf lebih baik daripada
sedekah yang disertai hal-hal  yang  tidak  menyenangkan  hati
Allah  Maha  Kaya  dan  Maha  Penyantun.  Orang-orang beriman,
janganlah   kamu   hapuskan   nilai   sedekahmu   itu   dengan
menyebut-nyebutnya  dan  menyakiti  hati  orang."  (Qur'an, 2:
263-264)
 
Firman Tuhan  itu  memberikan  pula  penjelasan  kepada  siapa
sedekah itu harus diberikan:
 
Sedekah  itu  hanyalah  untuk  orang-orang  fakir, orang-orang
miskin, pengurus  zakat,  orang-orang  yang  perlu  dilunakkan
hatinya,   untuk   melepaskan   perbudakan,  orang-orang  yang
dibebani utang, untuk jalan Allah dan mereka yang sedang dalam
perjalanan. Inilah yang telah diwajibkan oleh Allah, dan Allah
Maha Mengetahui dan Bijaksana." (Qur'an, 9: 60)
 
Zakat dan  sedekah  itu  salah  satu  kewajiban  dalam  Islam,
termasuk  salah  satu rukun Islam. Tetapi apakah kewajiban ini
termasuk  ibadat,  ataukah  masuk  bagian  akhlak?  Tentu  ini
termasuk  ibadat.  Semua  orang  beriman  bersaudara, dan iman
seseorang belum lagi sempurna sebelum ia mencintai  saudaranya
seperti  mencintai  dirinya sendiri. Dengan berpegang pada Nur
Ilahi  antara  sesama  mereka,  orang-orang   beriman   saling
cinta-mencintai.  Kewajiban  zakat  dan  sedekah  terikat oleh
persaudaraan ini, bukan oleh akhlak dan disiplinnya serta oleh
hubungan  antar-manusia  dengan  segala tata-tertibnya. Segala
yang terikat oleh persaudaraan, terikat juga oleh iman  kepada
Allah,  dan  segala  yang terikat oleh iman kepada Allah ialah
ibadah. Itu sebabnya maka zakat menjadi salah satu rukun Islam
yang  lima,  dan  karena  itu pula setelah Nabi wafat Abu Bakr
menuntut  supaya   Muslimin   menunaikan   zakatnya.   Setelah
dilihatnya  ada sebagian orang yang mau membangkang, Pengganti
Muhammad itu melihat pembangkangan ini sebagai suatu kelemahan
dalam  iman  mereka;  mereka lebih mengutamakan harta daripada
iman, mereka hendak meninggalkan disiplin  rohani  yang  telah
ditentukan   Qur'an   itu.   Dengan   demikian  ini  merupakan
kemurtadan dari Islam. Karena 'perang ridda' itu  jugalah  Abu
Bakr   berhasil   mengukuhkan   kembali   sejarah   Islam  itu
selengkapnya, dan  yang  tetap  menjadi  kebanggaan  sepanjang
sejarah.
 
Dengan   fungsi  zakat  dan  sedekah  sebagai  kewajiban  yang
bertalian  dengan  iman  dalam  disiplin  rohanl  ia  dianggap
sebagai  salah  satu  unsur  yang  harus  membentuk kebudayaan
dunia. Inilah hikmah yang paling tinggi yang akan mengantarkan
manusia  mencapai kebahagiaannya. Harta dan segala keserakahan
orang   memupuk-mupuk   harta   merupakan   sebab    timbulnya
superioritas  (rasa  keunggulan)  seorang  kepada  yang  lain.
Sampai sekarang ia masih merupakan sebab timbulnya penderitaan
dunia  ini  dan  sumber  pemberontakan  dan peperangan selalu.
Sampai sekarang mammonisma - penyembahan harta -  masih  tetap
merupakan  sebab timbulnya dekadensi moral yang selalu menimpa
dunia  dan  dunia  tetap  bergelimang  dibawah  bencana   itu.
Memupuk-mupuk  harta  dan  keserakahan  akan harta itulah yang
telah  menghilangkan  rasa  persaudaraan  umat  manusia,   dan
membuat  manusia  satu  sama lain saling bermusuhan. Sekiranya
pandangan mereka itu lebih sehat  dengan  pikiran  yang  lebih
luhur,  tentu  akan  mereka lihat bahwa persaudaraan itu lebih
kuat  menanamkan  kebahagiaan  daripada  harta,  mereka   akan
melihat  juga  bahwa  memberikan harta kepada yang membutuhkan
akan lebih terhormat pada  Tuhan  dan  pada  manusia  daripada
orang  harus tunduk kepada harta itu. Kalau benar-benar mereka
beriman kepada Allah tentu mereka akan saling bersaudara,  dan
manifestasi  persaudaraan  ini  ialah pertolongan kepada orang
yang   sedang   dalam   penderitaan,   membantu   orang   yang
membutuhkannya  dan  dapat  pula  menghapuskan kemiskinan yang
akan menjerumuskan manusia kedalam penderitaan itu.


Apabila negara-negara yang  sudah  tinggi  kebudayaannya  pada
zaman   kita   sekarang   ini  mendirikan  rumah-rumah  sakit,
lembaga-lembaga sosial dan amal untuk  menolong  fakir-miskin,
atas  nama  kasih  sayang  dan  kemanusiaan, maka didirikannya
lembaga-lembaga itu karena  didorong  oleh  rasa  persaudaraan
serta  rasa  cinta  dan  syukur  kepada Allah atas nikmat yang
diterimanya, sungguh ini suatu pikiran yang lebih  tinggi  dan
lebih   tepat   memberikan  kebahagiaan  kepada  seluruh  umat
manusia, seperti dalam firman Tuhan:
 
"Dengan  kenikmatan  yang  telah  diberikan  Allah   kepadamu,
carilah  kebahagiaan  akhirat,  tapi jangan kaulupakan nasibmu
dalam dunia  ini.  Berbuatlah  kebaikan  (kepada  orang  lain)
seperti  Tuhan  telah  berbuat  kebaikan  kepadamu, dan jangan
engkau berbuat bencana di muka bumi ini. Allah  sungguh  tidak
mencintai orang-orang yang berbuat bencana." (Qur'an, 28: 77)
 
Persaudaraan  insani ini akan menambah rasa cinta manusia satu
sama  lain.  Dalam  Islam,  rasa  cinta  demikian  ini   tidak
seharusnya  akan terhenti pada batas-batas tanah air tertentu,
atau hanya terbatas pada salah  satu  benua.  Yang  seharusnya
bahkan tidak boleh mengenal batas samasekali.
 
Oleh  karena  itu,  dari  seluruh  pelosok  bumi manusia harus
saling mengenal, supaya satu sama  lain  dapat  menambah  rasa
cinta  kepada  Allah,  dan  rasa cinta ini akan menambah tebal
iman mereka kepada Allah.  Untuk  mencapai  itu  manusia  dari
segenap  penjuru  bumi  harus  berkumpul dalam satu irama yang
sama, tanpa diskriminasi, dan tempat  berkumpul  yang  terbaik
untuk  itu  ialah  di tempat memancarnya cinta ini. Dan tempat
itu ialah Baitullah di Mekah, dan inilah yang  disebut  ibadah
haji.  Orang-orang  beriman  tatkala berkumpul disana, tatkala
mereka melaksanakan segala upacara, mereka menempuh cara hidup
yang luhur sebagai teladan iman kepada Allah, dengan niat yang
ikhlas menghadapkan diri kepadaNya.
 
"Musim  haji  itu  ialah  dalam  beberapa  bulan  yang   sudah
ditentukan.   Barangsiapa   sudah   membulatkan   niat  selama
bulan-bulan itu hendak  menunaikan  ibadah  haji,  maka  tidak
boleh   ada   suatu  percakapan  kotor,  perbuatan  jahat  dan
berbantah-bantahan  selama  dalam  mengerjakan  haji.   Segala
perbuatan baik yang kamu lakukan, Tuhan mengetahuinya. Bawalah
perbekalanmu, dan perbekalan yang paling  baik  ialah  menjaga
diri  dari  perbuatan  hina.  Patuhilah Aku, wahai orang-orang
yang berpikiran sehat." (Qur'an. 2: 197)
 
Di  dataran  tinggi  ini,  di   tempat   orang-orang   beriman
menunaikan  ibadah  haji untuk saling berkenalan, untuk saling
mempererat tali persaudaraan, dan tali persaudaraan  ini  akan
lebih  memperkuat  iman  di  tempat ini - segala perbedaan dan
diskriminasi yang bagaimanapun di kalangan orang-orang beriman
itu  harus  hilang. Mereka harus merasa, bahwa dihadapan Tuhan
mereka itu sama. Mereka menghadapkan seluruh hati  sanubarinya
untuk  mernenuhi  panggilan  Tuhan,  benar-benar  beriman akan
keesaanNya, bersyukur akan nikrnat  yang  telah  diberikanNya.
Rasanya  tak  ada  kenikmatan yang lebih besar daripada nikmat
iman  akan  keagungan  Tuhan,   sumber   segala   kebahagiaan.
Dihadapan  cahaya  iman  serupa ini, segala angan-angan kosong
tentang hidup akan sirna, segala  kebanggaan  dan  kecongkakan
karena  harta,  karena turunan, karena kedudukan dan kekuasaan
akan lenyap. Dan karena cahaya iman  itu  juga,  maka  manusia
akan  dapat  menyadari  arti kebenaran, kebaikan dan keindahan
yang ada dalam dunia ini, akan  dapat  memahami  undang-undang
Tuhan  yang  abadi, dalam semesta alam ini, yang takkan pernah
berubah dan berganti. Suatu pertemuan umum yang luas ini telah
dapat melaksanakan arti persaudaraan dan persamaan semua orang
beriman dalam bentuknya yang paling luas, luhur dan bersih.
 
Inilah ketentuan-ketentuan dan  kaidah-kaidah  Islam  seperti
yang  diwahyukan  kepada Muhammad 'alaihissalam. Ini terrnasuk
prinsip-prinsip iman seperti sudah kita lihat dalam  ayat-ayat
yang  kita  kutip  tadi, dan sebagai prinsip-prinsip kehidupan
rohani Islam. Sesudah semua kita lihat, akan mudah sekal  kita
menilai,  norrna-norma etika apa yang harus kita terapkan atas
dasar itu. Norma-norma ini memang sungguh luhur  sekali,  yang
memang  belum  ada tandingannya dalam kebudayaan mana pun atau
dalam zaman apa pun.  Apa  yang  akan  membawa  manusia  untuk
mencapai  kesempurnaannya  bila  saja  ia  dapat  melatih diri
sebagaimana mestinya,  oleh  Qur'an  sudah  dirumuskan,  bukan
hanya  dalam  satu  surah  saja  hal  ini  disebutkan,  bahkan
disana-sini juga disebut. Begitu salah satu surah  kita  baca,
kita  sudah  dibawa  ke  puncak  yang lebih tinggi, yang belum
dicapai oleh suatu kebudayaan sebelum itu, juga tidak  mungkin
akan   dicapai   oleh   kebudayaan  yang  sesudah  itu.  Untuk
mengetahui betapa agungnya  klimaks  yang  telah  dicapai  itu
cukup  kita lihat misalnya adat sopan santun atas dasar rohani
ini yang bersumberkan  keimanan  kepada  Allah  serta  latihan
mental  dan hati kita atas dasar tersebut, tanpa orang melihat
akan mencari keuntungan materi di balik sernua itu.
 
Dalam berbagai zaman dan bangsa, penulis-penulis sudah  sering
sekali  melukiskan  gambar  Manusia  Sempurna - atau Superman.
Penyair-penyair,    para    pengarang,    filsuf-filsuf    dan
penulis-penulis  drama, sejak zaman dahulu mereka sudah pernah
melukiskan gambaran  ini,  dan  sampai  sekarang  masih  terus
melukiskan.  Tetapi sungguhpun demikian, tidak akan ada sebuah
gambaran manusia sempurna yang dilukiskan begitu cemerlang dan
unik  seperti  disebutkan dalam rangkaian Surah al-Isra' (17).
Ini baru sebagian saja hikmah  yang  diwahyukan  Allah  kepada
Rasul,  bukan  dimaksudkan  untuk  melukiskan Manusia Sempurna
melainkan  untuk   mengingatkan   manusia   tentang   beberapa
kewajiban. Dalam hal ini firman Allah:
 
"Dan  Tuhanmu sudah memerintahkan, jangan ada yang kamu sembah
selain Dia dan supaya berbuat baik kepada ibu-bapa. Jika salah
seorang  dari keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, janganlah  kamu  mengucapkan  kata  "ah"
kepada  mereka  dan  jangan  pula  kamu membentak mereka, tapi
ucapkanlah dengan kata-kata yang mulia kepada mereka (93). Dan
rendahkanlah harimu dengan penuh kesayangan kepada mereka, dan
doakan:  'Ya  Allah,  beri  rahmatlah  kepada  mereka  berdua,
seperti kasih-sayang mereka mendidikku sewaktu aku kecil' (24)
Tuhan kamu lebih mengetahui apa yang ada dalam  hatimu.  Kalau
kamu  orang-orang  yang  berguna.  Dia  Maha  Pengampun kepada
mereka yang mau bertaubat  (25).  Berikanlah  kepada  keluarga
yang  dekat  itu  bagiannya,  begitu  juga  kepada orang-orang
miskin  dan  orang  dalam  perjalanan.  Tetapi   jangan   kamu
hambur-hamburkan  secara  boros  (26).  Pemboros-pemboros  itu
sungguh golongan setan, sedang  setan  sungguh  ingkar  kepada
Tuhan  (27). Dan jika kamu berpaling dari mereka karena hendak
mencari  kurnia  Tuhan  yang  kauharapkan,  katakanlah  kepada
mereka   dengan  kata-kata  yang  lemah  lembut  (28).  Jangan
kaujadikan tanganmu terbelenggu  ke  kuduk,  dan  jangan  pula
engkau   terlalu  mengulurkannya,  supaya  engkau  tidak  jadi
tercela dan  menyesal  (29).  Sesungguhnya  Tuhan  melimpahkan
rejeki  kepada  siapa  saja dan menentukan ukurannya. Dia Maha
mengetahui akan hamba-hambaNya (30). Dan jangan kamu membunuhi
anak-anakmu  karena takut kemiskinan. Kami yang memberi rejeki
mereka,  juga  rejeki  kamu:  sebab  membunuh   mereka   suatu
kesalahan  besar  (31).  Janganlah  kamu mendekati perjinahan,
sebab perbuatan itu sungguh keji, dan cara yang  sangat  buruk
(32).  Janganlah  kamu  menghilangkan  nyawa  orang yang sudah
dilarang Tuhan, kecuali atas dasar yang benar. Dan barangsiapa
dibunuh  tidak  pada tempatnya, maka kepada penggantinya telah
kami berikan kekuasaan; tetapi janganlah dia  membunuh  dengan
melanggar   batas  karena  dia  pun  (yang  dibunuh)  mendapat
pertolongan (33). Harta anak yatim jangan kamu dekati, kecuali
dengan  cara  yang  baik  sekali  -  sampai  dia  dewasa.  Dan
penuhilah  janji   itu,   sebab   setiap   janji   menghendaki
tanggungjawab  (34).  Jagalah  sukatanmu  bila  kamu  menakar,
penuhilah dan timbanglah dengan timbangan yang  jujur.  Itulah
cara  yang  baik dan akan lebih baik sekali kesudahannya (35).
Dan  janganlah  engkau   mencampuri   persoalan   yang   tidak
kauketahui; sebab segala pendengaran, penglihatan dan isi hati
orang, semua itu akan dimintai pertanggunganjawaban (36). Juga
janganlah  engkau  berjalan di muka bumi dengan congkak, sebab
engkau tidak akan dapat menembus bumi  ini,  juga  tidak  akan
sampai  setinggi  gunung  (37). Semua itu suatu kejahatan yang
dalam pandangan Tuhan sangat buruk sekali." (38) (Qur'an,  17:
23 - 38)
 
Sungguh  ini  suatu  budi pekerti yang luhur, suatu integritas
moral yang sempurna sekali! Setiap ayat yang tersebut ini akan
membuat    pembaca   jadi   tertegun   membacanya,   ia   akan
mengagungkannya  melihat  susunan  yang  begitu  kuat,  begitu
indah,  dengan  daya  tarik  kata-katanya, artinya yang sangat
luhur serta cara  melukiskannya  yang  sudah  merupakan  suatu
mujizat.3  Sayang  sekali  disini  tempatnya tidak mengijinkan
kita  menyatakan  rasa  kekaguman  itu!  Ya,  bagaimana   akan
mungkin,  sedang untuk membicarakan keenam belas ayat itu saja
seharusnya diperlukan sebuah buku tersendiri yang cukup besar!
 
Kalau kita mau membawakan satu segi saja dari budi-pekerti dan
pendidikan   akhlak   yang  terdapat  dalam  Qur'an,  tentunya
bidangnya akan luas sekali, yang tidak mungkin dapat ditampung
dalam  penutup  buku  ini.  Cukup kiranya kalau kita sebutkan,
bahwa  tidak  ada  sebuah  buku  pun  yang  pernah  memberikan
dorongan  begitu besar kepada orang supaya melakukan kebaikan,
seperti yang diberikan oleh Qur'an itu. Tidak  ada  buku  yang
begitu   agung   mengangkat   martabat  manusia  seperti  yang
diperlihatkan Qur'an. Juga yang bicara tentang perbuatan  baik
dan   kasih-sayang,   tentang  persaudaraan  dan  cinta-kasih,
tentang tolong-menolong dan keserasian,  tentang  kedermawanan
dan  kemurahan  hati, tentang kesetiaan dan menunaikan amanat,
tentang kehersihan dan  ketulusan  hati,  keadilan  dan  sifat
pemaat,  kesabaran,  ketabahan,  kerendahan  hati dan dorongan
melakukan  perbuatan   terhormat,   berbakti   dan   mencegah
melakukan  perbuatan  jahat,  dengan i'jaz4 (mujizat) yang tak
ada taranya dalam menyajikan   seperti yang  dikemukakan  oleh
Qur'an  itu.  Tak  ada buku melarang sikap lemah dan pengecut,
sifat egoisma dan dengki, kebencian  dan  kezaliman,  berdusta
dan   mengumpat,  pemborosan,  kekikiran,  tuduhan  palsu  dan
perkataan   buruk,   permusuhan,   perusakan,   tipu-muslihat,
pengkhianatan  dan segala sifat dan perbuatan hina dan mungkar
- seperti yang  dilarang  oleh  Qur'an,  dengan  begitu  kuat,
meyakinkan,  dengan  i'jaz  (mujizat),  yang  diturunkan dalam
wahyu kepada Nabi berbangsa Arab itu. Tiada sebuah  surah  pun
yang kita baca, yang tidak akan memberi anjuran yang mendorong
kita melakukan perbuatan baik, menganjurkan kita berbakti  dan
mencegah  kita  melakukan perbuatan jahat. Dianjurkannya orang
mencapai kesempurnaan yang akan membawa kepada kehidupan harga
diri   dan  budipekerti  yang  luhur.  Kita  dengarkan  Qur'an
mengenai toleransi:
 
"Tangkislah kejahatan itu  dengan  cara  yang  sebaik-baiknya.
Kami mengetahui apa yang mereka sebutkan." (Qur'an, 23: 96)
 
"Kebaikan dan kejahatan itu tidak sama. Tangkislah (kejahatan)
itu dengan  cara  yang  sebaik-baiknya,  sehingga  orang  yang
tadinya  bermusuhan  dengan  engkau, akan menjadi sahabat yang
akrab sekali." (Qur'an, 41: 34)
 
Tetapi toleransi yang dianjurkan Qur'an  ini  tidak  mendorong
orang bersikap lemah, melainkan menyuruh orang supaya berwatak
terhormat  (nobility  of  character),  selalu  berlumba  untuk
kebaikan dan menjauhkan diri dari segala kehinaan:
 
"Apabila   ada  orang  memberi  salam  penghormatan  kepadamu,
balaslah dengan cara yang lebih baik, atau  (setidak-tidaknya)
dengan yang serupa." (Qur'an, 4: 86)
 
"Dan  kalau  kamu  mengadakan  (pukulan)  pembalasan, balaslah
seperti yang mereka lakukan terhadap kamu. Tetapi  kalau  kamu
tabah  hati,  itulah yang paling baik bagi mereka yang berhati
tabah (sabar)." (Qur'an, 16: 126)
 
Dan ini jelas sekali,  bahwa  toleransi  yang  dianjurkan  itu
ialah   dalam   arti  yang  terhormat,  tanpa  bersikap  lemah
samasekali, melainkan sepenuhnya  sikap  yang  disertai  harga
diri.
 
Toleransi   yang  dianjurkan  oleh  Qur'an  dengan  cara  yang
terhormat ini dasarnya ialah  persaudaraan,  yang  oleh  Islam
dijadikan  tiang  kebudayaan,  dan  yang dimaksud pula menjadi
persaudaraan   antar-manusia   di   seluruh    jagat.    Corak
persaudaraan  Islam ini ialah yang terjalin dalam keadilan dan
kasih-sayang   tanpa   suatu   sikap   lemah   dan   menyerah.
Persaudaraan  atas  dasar  persamaan dalam hak, dalam kebaikan
dan kebenaran tanpa  terpengaruh  oleh  untung-rugi  kehidupan
duniawi,  sekalipun  mereka dalam kekurangan. Mereka ini lebih
takut kepada Allah  daripada  kepada  yang  lain.  Mereka  ini
orang-orang  yang  punya  harga diri. Sungguhpun begitu mereka
sangat rendah hati. Mereka orang-orang yang  dapat  dipercaya,
yang  menepati  janji  bila  mereka berjanji, orang-orang yang
sabar dan  tabah  dalam  menghadapi  kesulitan,  yang  apabila
mendapat  musibah, mereka berkata: Inna lillahi wa inna ilaihi
rajiun  -  'Kami  kepunyaan  Allah  dan  kepadaNya  juga  kami
kembali.' Tak ada yang membuang muka dan berjalan di muka bumi
dengan sikap  congkak.  Tuhan  menjauhkan  mereka  dari  sifat
serakah  dan  kikir,  tiada  berkata dusta, terhadap Tuhan dan
kepada sesamanya. Mereka tidak mau menyebarkan perbuatan  keji
di  kalangan  orang-orang beriman, mereka menjauhkan diri dari
segala dosa besar dan perbuatan-perbuatan  keji,  dan  apabila
mereka marah, mereka segera meminta maaf. Mereka dapat menahan
amarah dan dapat pula memaafkan orang  lain.  Sedapat  mungkin
mereka   menghindarkan  prasangka,  mereka  tidak  mau  saling
memata-matai atau saling  menggunjing  dari  belakang.  Mereka
tidak  boleh  memakan  harta  sesamanya dengan cara yang tidak
sah, lalu akan membawa perkara itu kepada hakim, supaya mereka
dapat  memakan  harta  orang  lain  dengan cara dosa itu. Jiwa
mereka dibersihkan  dari  segala  sifat  dengki,  tipu-menipu,
cakap kosong dan segala perbuatan yang rendah.
 
Ciri-ciri   khas   watak   dan  etika  yang  menjadi  landasan
budi-pekerti dan pendidikan akhlak  yang  murni  itu  dasarnya
ialah  -  seperti  yang  sudah kita sebutkan - disiplin rohani
seperti yang ditentukan oleh Qur'an dan  yang  bertalian  pula
dengan  iman  kepada  Allah. Inilah soal yang pokok sekali dan
ini pula yang akan menjamin adanya  sistem  moral  dalam  jiwa
orang  dengan  tetap bersih dari segala noda, jauh dari segala
penyusupan yang mungkin  akan  merusak.  Moral  yang  dasarnya
memperhitungkan  untung-rugi  segera akan diperbesar selama ia
yakin  bahwa  kelemahan  demikian  itu  tidak  akan  menggangu
keuntungannya.   Orang  yang  dasar  moralnya  memperhitungkan
untung-rugi demikian ini sikap luarnya akan berbeda dengan isi
hati.  Keadaannya  yang disembunyikan akan berbeda dengan yang
diperlihatkan kepada orang. Ia berpura-pura jujur, tapi  tidak
akan  segan-segan ia menjadikan itu hanya sebagai tameng untuk
memancing keuntungan. Ia berpura-pura benar, tapi  tidak  akan
segan-segan  ia  meninggalkannya kalau dengan meninggalkan itu
ia akan mendapat keuntungan. Orang yang pertimbangan  moralnya
demikian  ini dalam menghadapi godaan mudah sekali jadi lemah,
mudah sekali terbawa arus nafsu dan tujuan-tujuan tertentu!
 
Kelemahan ini ialah gejala yang  jelas  terlihat  dalam  dunia
kita  sekarang.  Sudah  sering  sekali  orang mendengar adanya
perbuatan-perbuatan  skandal  dan  korupsi  dimana-mana  dalam
dunia yang sudah beradab ini. Sebabnya ialah karena kelemahan,
orang lebih  mencintai  harta  dan  kedudukan  atau  kekuasaan
daripada  nilai  moral  yang  tinggi dan iman yang sebenarnya.
Tidak sedikit mereka terjerumus masuk ke dalam jurang  tragedi
moral  dan  melakukan  kejahatan  yang paling keji, kita lihat
pada  mulanya  mereka  pun  berakhlak   baik,   tetapi   masih
untung-rugi  itu  juga  yang  menjadi  dasar moralnya. Tadinya
mereka menganggap bahwa sukses dalam hidup ini bergantung pada
kejujuran.  Lalu  mereka  bersikap  jujur karena ingin sukses,
bukan bersikap  jujur  karena  terikat  oleh  akidahnya  -oleh
keyakinan  batinnya.  Mereka  berhenti  hanya  sampai  disitu,
meskipun  ini  sangat  membahayakan  dirinya.  Tetapi  setelah
mereka   lihat   bahwa  mengabaikan  masalah  kejujuran  dalam
peradaban  abad  kini  merupakan  salah  satu  jalan  mencapai
sukses,  maka  kejujuran itu pun mereka abaikan. Yang demikian
ini ada yang tetap tertutup dari mata orang, rahasianya  tidak
sampai  terbongkar  dan akan tetap dipandang terhormat, tetapi
ada juga yang rahasianya  terbongkar  dan  ia  tercemar,  yang
kadang berakhir dengan bunuh diri.

Jadi  pembinaan  sistem watak dan moral atas dasar untung-rugi
ini  sewaktu-waktu  akan  menjerumuskannya   kedalam   bahaya.
Sebaliknya,  apabila  pembinaannya  itu didasarkan atas sistem
rohani seperti dirumuskan oleh Qur'an, ini akan menjamin tetap
bertahan, takkan terpengaruh oleh sesuatu kelemahan. Niat yang
menjadi pangkal bertolaknya perbuatan  ialah  dasar  perbuatan
itu  dan sekaligus harus menjadi kriteriumnya pula. Orang yang
membeli undian untuk Pembanguman sebuah rumahsakit,  ia  tidak
membelinya   dengan  niat  hendak  beramal,  melainkan  karena
mengharapkan keuntungan. Orang yang memberi karena  ada  orang
yang  datang  meminta  secara  mendesak  dan ia memberi karena
ingin melepaskan diri, tidak sama dengan  orang  yang  memberi
karena kemauan sendiri, yaitu memberi kepada mereka yang tidak
meminta secara mendesak, mereka yang  oleh  orang  yang  tidak
mengetahui  dikira orang-orang yang berkecukupan karena mereka
memang  tidak  mau  meminta-minta  itu.  Orang  yang   berkata
sebenarnya   kepada  hakim  karena  takut  akan  sanksi  hukum
terhadap seorang saksi palsu, tidak  sama  dengan  orang  yang
berkata  sebenarnya karena ia memang yakin akan arti kebenaran
itu. Juga  moral  yang  landasannya  perhitungan  untung  rugi
kekuatannya  tidak  akan sama dengan moral yang sudah diyakini
benar bahwa itu bertalian dengan  kehormatan  dirinya  sebagai
manusia,  bertalian  dengan  keimanannya  kepada  Allah. Dalam
hatinya sudah tertanam landasan rohani yang dasarnya  keimanan
kepada Allah itu.
 
Qur'an  tetap  menekankan,  bahwa  pikiran yang rasionil harus
tetap  bersih,  jangan  dimasuki  oleh   sesuatu   yang   akan
mempengaruhi  lukisan  iman  dan  watak  yang  indah itu. Oleh
karenanya minuman keras dan judi itu dipandang  kotor  sebagai
perbuatan  setan.  Kalaupun  ada  manfaatnya buat orang, namun
dosanya lebih besar dari  manfaatnya.  Dengan  demikian  harus
dijauhi.  Perjudian akan mengalihkan perhatian si penjudi dari
persoalan lain, waktunya  akan  habis  dan  hiburan  ini  akan
membuatnya  lupa dari segala kewajiban moral yang baik. Sedang
minuman keras akan menghilangkan pikiran  dan  harta  -  untuk
meminjam katakata Umar bin'l-Khattab, ketika ia berharap Tuhan
akan memberikan  penjelasan  mengenai  hal  ini.  Sudah  wajar
sekali  pikiran  yang  rasionil  itu  akan jadi sesat kalau ia
hilang atau  berubah,  dan  kesesatan  itu  akan  lebih  mudah
mendorong   orang   melakukan   perbuatan  rendah,  sebaliknya
daripada akan menjauhkan diri dari kejahatan.
 
Sistem moral yang dibawa Qur'an untuk 'negara utama' itu bukan
dengan   tujuan  supaya  jiwa  manusia  samasekali  jauh  dari
kenikmatan hidup yang diberikan Tuhan, sehingga  karenanya  ia
akan  hanyut  ke dalam hidup pertapaan dalam merenungkan alam,
dan menyiksa diri dalam menuntut ilmu untuk itu. Sistem  moral
ini  tidak  rela  membiarkan  manusia  menyerahkan diri kepada
kesenangan supaya jangan ia tenggelam kedalam jurang kemewahan
dan  karenanya  ia  akan melupakan segalanya. Bahkan moral ini
hendak membuat manusia menjadi umat  pertengahan,  mengarahkan
mereka  kepada  lembaga  budi  yang  lebih murni, lembaga yang
mengenal alam dan segala isinya ini.
 
Qur'an bicara tentang ciptaan Tuhan yang ada  dalam  alam  ini
dengan  suatu  pengarahan yang hendak mengantarkan kita sejauh
mungkin dapat kita  ketahui.  Ia  bicara  tentang  bulan  hari
Pertama,  tentang matahari dan bulan, tentang siang dan malam,
tentang bumi dan apa yang dihasilkan bumi, tentang langit  dan
bintang-bintang  yang  menghiasinya,  tentang samudera, dengan
kapal yang berlayar supaya kita dapat menikmati karunia Tuhan,
tentang  binatang  untuk  beban  dan  ternak, tentang ilmu dan
segala cabangnya yang terdapat dalam alam ini.  Qur'an  bicara
tentang   semua   ini,   dan  menyuruh  kita  merenungkan  dan
mempelajarinya, supaya kita menikmati segala  peninggalan  dan
hasilnya  itu  sebagai  tanda  kita  bersyukur  kepada  Allah.
Apabila Qur'an telah mengajarkan etika Qur'an kepada  manusia,
menganjurkan  mereka  supaya  berusaha  terus untuk mengetahui
segala yang ada dalam alam ini,  sudah  sepatutnya  pula  bila
dari  pengamatan  mereka dengan jalan akal pikiran itu, mereka
akan sampai ke tujuan sejauh yang dapat  ditangkap  oleh  akal
pikirannya  itu. Sudah sepatutnya pula mereka membangun sistem
ekonominya itu atas dasar yang sempurna.
 
Sistem ekonomi yang  dibangun  atas  dasar  moral  dan  rohani
seperti  yang  sudah  kita sebutkan itu, sudah seharusnya akan
mengantarkan manusia ke dalam  hidup  bahagia,  dan  menghapus
segala  penderitaan  dari muka bumi ini. Prinsip-prinsip agung
yang oleh Qur'an ditekankan sekali supaya  ditanamkan  kedalam
jiwa seperti di tempat akidah dan iman itu, akan membuat orang
tidak sudi melihat masih adanya penderitaan di muka bumi  ini,
atau  masih adanya kekurangan yang dapat diberantas tapi tidak
dilakukan. Bagi orang yang  sudah  mendapat  ajaran  ini  yang
pertama  sekali  akan ditolaknya ialah riba yang menjadi dasar
kehidupan  ekonomi  dewasa  ini,  dan  yang   menjadi   sumber
pendieritaan  seluruh  umat  manusia.  Oleh  karena itu Qur'an
secara tegas sekali mengharamkan, seperti dalam firman Tuhan:
 
"Mereka yang memakan riba tidak akan dapat berdiri, kalau  pun
berdiri  hanya  akan  seperti orang yang sudah kemasukan setan
karena penyakit gila." (Qur'an 2: 275)
 
"Setiap riba yang kamu lakukan untuk menambah harta orang lain
dalam pandangan Allah tidak akan dapat bertambah. Tetapi zakat
yang kamu lakukan demi keridaan Allah, mereka  itu  yang  akan
mendapat balasan berlipat ganda." (Qur'an 30: 39)
 
Diharamkannya  riba  adalah  norma dasar untuk kebudayaan yang
akan dapat  menjamin  kebahagiaan  dunia.  Bahaya  riba  dalam
bentuknya  yang  paling  kecil  ialah ikut sertanya orang yang
tidak bekerja dalam suatu hasil usaha orang lain hanya  karena
ia  sudah meminjamkan uang kepadanya, dengan alasan lagi bahwa
dengan meminjamkan itu ia sudah membantu orang lain memperoleh
hasil  keuntungan itu. Sebaliknya kalau ini tidak dilakukan si
peminjam tidak  akan  dapat  berusaha  dan  dengan  sendirinya
takkan   dapat  memungut  keuntungan.  Kalau  hanya  ini  saja
satu-satunya bentuk riba itu, ini pun takkan  dapat  dijadikan
alasan.   Kalau   orang   yang   meminjamkan  uang  itu  mampu
menjalankan sendiri, ia tidak akan meminjamkannya kepada orang
lain,  dan  kalau  uang  itu  tetap  ditangannya sendiri tidak
dijalankan  dalam  usaha,  maka  uang  itu  pun   tidak   akan
mendatangkan  keuntungan.  Sebaliknya,  sedikit  demi  sedikit
uangnya itu akan habis dimakan  pemiliknya  sendiri.  Jika  ia
akan  meminta  bantuan  orang  lain menjalankan uangnya dengan
bagi hasil  menurut  keuntungan  yang  akan  diperoleh,  tentu
caranya  bukan  dengan  jalan dipinjamkan sebagai modal dengan
laba tertentu, melainkan dengan cara si pemilik uang itu  ikut
serta  dengan  orang  yang menjalankan uangnya atas dasar bagi
untung. Kalau si pengusaha beruntung, maka  si  pemilik  modal
itu  pun  akan mendapat bagian keuntungan; kalau rugi, dia pun
akan  turut  memikul  kerugiannya.  Sebaliknya  kalau   kepada
pemilik  modal  itu  akan ditentukan suatu laba, meskipun yang
mengusahakan  tidak  mendapat  keuntungan  apa-apa,  maka  itu
adalah  suatu  eksploitasi illegal, suatu pemerasan yang tidak
sah.
 
Dan  tidak  akan  dapat  terjadi   bahwa   harta   itu   dapat
diperlakukan   seperti   yang  lain-lain,  dapat  dipersewakan
seperti menyewakan tanah atau menyewakan hewan, dan bahwa laba
uang  tunai  harus sesuai dengan hasil sewa barang-barang yang
lain itu. Uang yang dapat dipakai untuk pengeluaran dan  dapat
juga  dipakai  untuk  produksi,  yang  bisa dimanfaatkan untuk
kebaikan dan juga dapat menimbulkan kejahatan  (dosa),  dengan
harta  bergerak  dan  tidak  bergerak  lainnya,  besar  sekali
perbedaannya. Orang yang  menyewa  tanah,  rumah,  hewan  atau
barang  apa pun, tentu karena ingin dimanfaatkan, yang berarti
akan sangat berguna buat dia, kecuali jika  dia  memang  orang
bodoh  atau orang edan, yang segala gerak-geriknya sudah tidak
lagi diperhitungkan orang.
 
Sebaliknya yang mengenai uang modal,  yang  biasanya  dipinjam
untuk    tujuan-tujuan    perdagangan   yang   sebaik-baiknya.
Perdagangan itu senantiasa dihadapkan kepada soal untung  atau
rugi.  Sedang mengenai sewa-menyewa barang-barang bergerak dan
tidak bergerak untuk dijalankan dalam  usaha,  sedikit  sekali
yang  mengalami kerugian, kecuali dalam keadaan yang abnormal,
yang tidak masuk dalam keadaan biasa. Apabila keadaan abnormal
ini  yang  terjadi,  maka  kekuasaan  hukum segera pula campur
tangan antara si pemilik dengan  si  penyewa  -  seperti  yang
sering   terjadi   dalam   semua   negara  di  dunia  -  untuk
menghilangkan  ketidak  adilan  terhadap  si   penyewa   serta
menolongnya  dari tindakan si pemilik yang hanya akan memungut
laba dari usahanya itu. Sebaliknya,  dengan  menentukan  bunga
uang  tunai,  dengan  lebih-kurang  7% atau 9%, maka ini tidak
akan mengubah, bahwa si peminjam dapat terancam oleh  kerugian
modal,  disamping kerugian usahanya sendiri. Apabila disamping
itu dia masih juga lagi dituntut  dengan  bunga,  maka  inilah
yang  disebut  kejahatan  (dosa).  Akibat ini akan menimbulkan
permusuhan, sebaliknya daripada persaudaraan; akan menimbulkan
kebencian,  bukan  cinta kasih. Inilah sumber kesengsaraan dan
segala krisis yang diderita umat manusia dewasa ini.
 
Kalau memang inilah bahaya riba dalam  bentuknya  yang  paling
kecil,  dan  begitu  pula  akibat-akibat  yang timbul, apalagi
dengan bentuk lain tatkala si pemberi pinjaman itu sudah lebih
mendekati  binatang buas daripada manusia, atau sipeminjam itu
sudah sangat membutuhkan  uang  di  luar  keperluan  penanaman
modal  atau  produksi.  Adakalanya  ia sangat membutuhkan uang
untuk  keperluan  nafkah  yang  konsumtif,   untuk   keperluan
makannya  atau  makan  keluarganya. Ketika itulah perhatiannya
hanya pada yang  lebih  mudah  saja  dulu,  sebelum  ia  dapat
memegang  sesuatu  pekerjaan  yang  dapat  menjamin  keperluan
hidupnya dan kemudian dapat  membayar  kembali  utangnya.  Ini
sudah  merupakan  satu  tugas  perikemanusiaan sebagai langkah
pertama. Dan ini pula yang dirumuskan  oleh  Qur'an.  Bukankah
dalam  keadaan serupa ini pemberian pinjaman dengan riba sudah
merupakan suatu kejahatan yang sama  dengan  pembunuhan?  Yang
lebih  parah lagi dari kejahatan ini ialah adanya segala macam
tipu-muslihat dengan  jalan  riba  itu  untuk  merampas  harta
orang-orang  yang lemah, orang-orang yang tidak pandai menjaga
hartanya. Tipu muslihat ini tidak kurang  pula  jahatnya  dari
pencurian  yang  rendah.  Dan  setiap pelaku ke arah ini harus
dihukum seperti pencuri atau lebih keras lagi.
 
Riba adalah salah satu faktor yang turut  menjerumuskan  dunia
ke  dalam  bencana penjajahan, dengan segala macam penderitaan
yang ditimbulkan oleh penjajahan itu. Sebagian  besar  masalah
penjaJahan  itu  dimulai  oleh sekelompok tukang-tukang riba -
secara perseorangan atau dalam bentuk badan-badan usaha - yang
mendatangi  beberapa  negara dengan memberikan pinjaman kepada
penduduk. Kemudian mereka  menyusup  masuk  lebih  dalam  lagi
sampai mereka dapat menguasai sumber-sumber kekayaan. Bilamana
kelak  anak  negeri  sudah  menyadari   kembali   dan   hendak
mempertahankan  diri  dan  harta mereka, orang-orang asing itu
cepat-cepat meminta bantuan negaranya. Negara ini pun kemudian
masuk  atas  nama  hendak  melindungi  rakyatmya.  Kemudian ia
menyusup juga masuk lebih dalam lagi,  lalu  berkuasa  sebagai
penjajah.  Sekarang mereka sebagai yang dipertuan. Kemerdekaan
orang lain dirampas.  Sebagian  besar  sumber-sumber  kskayaan
negeri itu mereka kuasai. Dengan demikian kekayaan mereka jadi
hilang, penderitaan mulai mencekam  seluruh  kawasan  itu  dan
bayangan  kesengsaraan  sudah  pula merayap-rayap kedalam hati
mereka. Pikiran mereka jadi  kacau,  moral  jadi  lemah,  iman
mereka  pun mulai goyah. Martabat mereka jadi turun dari taraf
manusia yang sebenarnya ke taraf yang lebih  hina,  yang  bagi
orang   yang  beriman  kepada  Allah  tidak  akan  sudi  hidup
demikian, sebab, hanya kepada Allah semata  orang  merendahkan
diri dan harus mengabdi.
 
Juga  penjajahan  itu  sumber  peperangan,  sumber penderitaan
besar yang  sangat  menekan  kehidupan  seluruh  umat  manusia
dewasa  ini.  Selama  ada  riba, selama ada penjajahan, jangan
diharap manusia akan dapat kembali ke  masa  persaudaraan  dan
saling  cinta  antara  sesamanya. Harapan akan kembali ke masa
serupa itu tidak akan ada, kecuali jika kebudayaan atas  dasar
yang  dibawa  oleh Islam dan diwahyukan dalam Qur'an itu dapat
dibangun kembali.
 
Didalam Qur'an ada konsepsi sosialisma yang belum lagi dibahas
orang. Sosialisma ini tidak didasarkan kepada perang modal dan
perjuangan  kelas,  seperti  yang  terdapat   sekarang   dalam
sosialisma  Barat, melainkan dasarnya ialah karakter dan moral
yang tinggi yang  akan  menjamin  adanya  persaudaraan  kelas,
adanya  kerja-sama  dan  saling  bantu atas dasar kebaikan dan
kebaktian, bukan kejahatan dan saling permusuhan. Tidak  sulit
orang akan melihat landasan sosialisma atas dasar persaudaraan
ini, seperti yang sudah ditentukan oleh Qur'an mengenai  zakat
dan sedekah misalnya. Orang  dapat menilai, bahwa ini bukanlah
sosialisma dengan dominasi suatu kelas atas kelas  yang  lain,
atau   kekuasaan  suatu  golongan  atas  golongan  yang  lain.
Kebudayaan yang dilukiskan oleh Qur'an tidak  mengenal  adanya
dominasi   atau   sikap   berkuasa,   melainkan   atas   dasar
persaudaraan yang sungguh-sungguh yang didorong oleh keyakinan
yang  kuat akan persaudaraan itu; suatu keyakinan yang membuat
orang dengan mengingat karunia Tuhan itu mau memberi untuk  si
miskin,  orang melarat, orany yang membutuhkan dan segala yang
diperlukannya  akan  makanan,  tempat  tinggal,   obat-obatan,
pengajaran  dan  pendidikan.  Mereka memberikan itu atas dasar
keikhlasan dan kejujuran. Dengan  demikian  penderitaan  dapat
dihilangkan, karunia Tuhan dan kebahagiaan dapat merata kepada
umat manusia.
 
Sosialisma Islam  ini  tidak  sampai  menghapuskan  hak  milik
secara   mutlak,   seperti  halnya  dengan  sosialisma  Barat.
Kenyataan  sudah  membuktikan  -  bolsyevisma  di  Rusia   dan
negara-negara  sosialis lainnya - bahwa menghapuskan hak milik
itu suatu hal yang tidak  mungkin.  Sungguhpun  begitu,  namun
perusahaan-perusahaan negara harus tetap menjadi milik bersama
untuk   kepentingan   semua    orang.    Mengenai    ketentuan
perusahaan-perusahaan  negara itu terserah kepada negara. Oleh
karena itu mengenai ketentuan ini  sejak  abad-abad  permulaan
dalam  sejarah  Islam  sudah terdapat perbedaan pendapat. Dari
kalangan sahabat-sahabat Nabi sendiri ada yang terlampau keras
menjalankan  ketentuan  sosialisma  ini,  sehingga segala yang
diciptakan Tuhan dijadikan milik bersama dan untuk kepentingan
umum.  Mereka memandang tanah dan segala yang terkandung, sama
dengan air dan udara, tidak boleh menjadi milik pribadi.  Yang
boleh  dimiliki  hanya hasilnya, yang disesuaikan dengan usaha
dan perjuangan masing-masing. Ada juga yang tidak  berpendapat
demikian.  Mereka  menyatakan  bahwa  tanah boleh dimiliki dan
dianggap sebagai barang-barang yang boleh dipertukarkan.
 
Akan tetapi persetujuan yang sudah dicapai di kalangan  mereka
ialah  sama  dengan  yang  berlaku  di  Eropa  sekarang, yaitu
menentukan  bahwa  setiap  orang  harus   mencurahkan   segala
kemampuannya  untuk  kepentingan  masyarakat,  dan  masyarakat
harus pula berusaha, untuk kepentingan pribadi dalam mengatasi
segala    keperluannya.    Setiap   Muslim   berhak   menerima
kebutuhannya serta kebutuhan orang yang menjadi  tanggungannya
dari  baitulmal  (perbendaharaan  negara)  Muslimin, selama ia
belum  mendapat  pekerjaan  yang   akan   menjamin   keperluan
hidupnya,  atau  selama  pekerjaan  yang dipegangnya itu tidak
mencukupi keperluannya dan keperluan keluarganya.
 
Selama norma-norma etik di dalam Qur'an  seperti  yang  sudah
kita  sebutkan  itu dijalankan, maka tidak akan ada orang yang
mau berdusta; tidak akan ada orang yang mau mengatakan,  bahwa
ia  penganggur, padahal yang sebenarnya dia tidak mau bekerja,
tidak akan ada orang yang mau  menyatakan,  bahwa  penghasilan
dari  pekerjaannya  tidak  mencukupi, padahal sebenarnya sudah
lebih dari cukup. Khalifah-khalifah pada masa permulaan  Islam
dahulu  sudah mewajibkan diri menyelidiki sendiri keadaan umat
Islam untuk kemudian dapat mengatasi  segala  keperluan  orang
yang memang berada dalam kebutuhan.

Dari  sini  dapat  kita  lihat  bahwa  sosialisma  dalam Islam
bukanlah  sosialisma  harta  serta   pembagiannya,   melainkan
sosialisma  yang  menyeluruh, yang dasarnya persaudaraan dalam
kehidupan rohani dan  moral  serta  dalam  kehidupan  ekonomi.
Kalau  seseorang  belum  sempurna imannya sebelum ia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, maka imannya itu
pun memang tidak sempurna kalau tidak dapat ia turut mendukung
orang memberantas kemiskinan dan memberikan  derma  atau  dana
untuk  kemakmuran bersama, membagikan kekayaan sebagai karunia
Tuhan itu, baik dengan diketahui, atau tidak diketahui  orang.
Makin  besar cintanya kepada orang lain, makin dekat ia kepada
Tuhan. Dia sedikit pun merasa  lebih  gembira.  Apabila  Tuhan
telah   membuat  manusia  itu  bertingkat-tingkat,  memberikan
rejeki kepada siapa saja yang dikehendakiNya serta  menentukan
pula,  maka manusia takkan lebih baik keadaannya kalau tak ada
rasa saling hormat, yang kecil menghormati yang  lebih  besar,
yang  besar  mencintai  yang  lebih kecil, si kaya mau memberi
untuk si miskin demi Allah semata, karena rasa syukur.
 
Rasanya tidak perlu  kita  menyebutkan  lagi  apa  yang  sudah
disebutkan  Qur'an  tentang  sistem  ekonomi,  tentang  waris,
tentang  wasiat  (testamen),  tentang   perjanjian-perjanjian,
perdagangan  dan  sebagainya.  Dalam  memberikan  isyarat yang
singkat  sekalipun   mengenai   masalah-masalah   hukum   atau
soal-soal  kemasyarakatan, akan memerlukan ruangan sekian kali
lebih banyak dari pasal ini. Cukup kalau kita  sebutkan  saja,
bahwa apa yang sudah disebutkan dalam Qur'an sehubungan dengan
masalah-masalah tersebut kiranya  sampai  sekarang  belum  ada
suatu  undang-undang  yang  lebih  baik dari itu. Bahkan orang
akan  terkejut  sekali  bila  ia   melihat   adanya   beberapa
penjelasan  seperti perjanjian tertulis mengenai utang-piutang
sampai pada waktu tertentu  kecuali  dalam  perdagangan,  atau
seperti   dalam  mengirimkan  dua  orang  juru  pendamai  jika
dikuatirkan akan terjadi perceraian antara suami isteri,  atau
terhadap  dua  golongan  yang  sedang berperang dan pihak yang
menyerang dengan sewenang-wenang dan tidak  mau  diajak  damai
itu  harus  diperangi  sampai  ia  mau kembali kepada perintah
Tuhan - sungguh orang akan kagum  sekali  melihat  semua  ini.
Apalagi    akan   membandingkannya   dengan   berbagai   macam
undang-undang yang pernah ada,  kalau  pun  perundang-undangan
yang  sesuai  dengan ketentuan-ketentuan yang telah diletakkan
Qur'an itu sudah memang cukup baik.
 
Jadi tidak mengherankan  sekali  -  seperti  yang  sudah  kita
sebutkan  tentang  riba  dan  tentang sosialisma Islam sebagai
dasar sistem ekonomi, yang dilukiskan di dalam  Qur'an  dengan
penjelasan  hukum  sebagai suatu penyusunan undang-undang yang
terbaik yang pernah ada dalam sejarah - kalau kebudayaan Islam
itu  juga yang menjadi kebudayaan yang layak buat umat manusia
dan yang benar-benar akan memberikan hidup bahagia.
 
Setelah melihat apa yang sudah kita kemukakan mengenai lukisan
Qur'an  tentang  kebudayaan  serta  landasannya,  mungkin  ada
beberapa penulis Barat yang berpendapat  bahwa  sifat  manusia
tidak  sesuai  dengan sistem yang hendak memaksanya ke tingkat
yang lebih tinggi  diatas  kemampuan  kodratnya  sendiri,  dan
bahwa  sistem  demikian  ini  tidak akan mampu hidup atau akan
bertahan lama. Manusia menurut  tanggapan  mereka,  digerakkan
oleh  rasa  harap  dan  cemas,  oleh keinginan dan nafsu, sama
halnya dengan makhluk hewan, hanya saja dia  makhluk  berpikir
homo   sapiens.  Bahwa  manusia  akan  menganut  suatu  sistem
kebudayaan seperti yang digambarkan  oleh  Islam  itu,  adalah
suatu  hal yang tidak mungkin, sekurang-kurangnya tidak mudah.
Paling jauh yang dapat kita lakukan dalam  menyusun  kehidupan
masyarakat   manusia   ini   ialah   memperbaiki   nafsu  itu,
mengarahkan pikiran tentang harap dan cemas itu sebaik-baiknya
dari segi materialisma ekonomi semata. Sedang yang di luar itu
masyarakat tidak  akan  mampu  melaksanakannya.  Mungkin  yang
menjadi  alasan mereka ialah karena sistem Islam itu - seperti
yang digambarkan Qur'an dan  sudah  saya  coba  menguraikannya
disini   secara  ringkas  -  belum  dapat  diharapkan  didalam
masyarakat Islam sendiri kecuali pada masa Nabi dan pada  masa
permulaan sejarah Islam. Kalau sistem ini memang sesuai dengan
struktur kehidupan,  tentu  didalam  lingkungan  Islam  dahulu
sudah  dapat  dijalankan  dan dari sana akan sudah tersebar ke
seluruh dunia. Akan tetapi bilamana  hal  ini  tidak  terjadi,
bahkan sebaliknya yang terjadi, maka anggapan bahwa sistem ini
sangat layak, dan dapat  menjamin  kebahagiaan  umat  manusia,
adalah anggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
 
Atas  keberatan  ini  kiranya  pengakuan  mereka sendiri sudah
cukup untuk menggugurkannya,  yaitu  bahwa  sistem  Islam  itu
berjalan  dan  dipraktekkan  pada masa Nabi dan pada permulaan
sejarah Islam. Dan Muhammad sendiri teladan yang  paling  baik
dalam   pelaksanaan   itu.  Kemudian  teladan  yang  baik  itu
diteruskan oleh para khalifah  yang  mula-mula.  Mereka  terus
berjalan   dengan  sistem  itu  sampai  mencapai  tujuan  yang
sempurna   sebagaimana   mestinya.   Akan    tetapi,    adanya
intrik-intrik  dan  ambisi-ambisi  yang timbul kemudian kadang
dengan jalan Israiliat, kadang pula dengan  jalan  rasialisma,
itulah  yang  sedikit demi sedikit telah mengancam dasar-dasar
Islam yang sebenarnya.
 
Akibat  daripada  semua  itu  orang  berangsur-angsur  kembali
mengganti  kehidupan  rohani  dengan materi, sifat kemanusiaan
dengan kebinatangan. Dan  berhenti  hanya  sampai  pada  batas
lingkaran  peradaban dewasa ini berada, yang hakekatnya hendak
menjerumuskan umat manusia kedalam penderitaan.
 
Muhammad sendiri teladan yang baik sekali  dalam  melaksanakan
kebudayaan  seperti  dilukiskan  Qur'an  itu.  Dalam  buku ini
contoh itu sudah kita lihat,  bagaimana  rasa  persaudaraannya
terhadap  seluruh  umat manusia dengan cara yang sangat tinggi
dan sungguh-sungguh itu  dilaksanakan.  Saudara-saudaranya  di
Mekah  semua sama dengan dia sendiri dalam menanggung duka dan
sengsara. Bahkan dia sendiri yang lebih banyak  menanggungnya.
Sesudah  hijrah  ke  Medinah,  dipersaudarakannya  orang-orang
Muhajirin dengan Anshar demikian rupa, sehingga mereka  berada
dalam  status saudara sedarah. Persaudaraan sesama orang-orang
beriman secara umum itu adalah persaudaraan kasih-sayang untuk
membangun  suatu  sendi  kebudayaan yang masih muda waktu itu.
Yang  memperkuat  persaudaraan   ini   ialah   keimanan   yang
sungguh-sungguh  kepada Allah dengan demikian kuatnya sehingga
dibawanya Muhammad kedalam komunikasi dengan Tuhan,  Zat  Yang
Maha  Agung.  Sikapnya  dalam perang Badr, bagaimana ia berdoa
kepada  Tuhan   mengharapkan   pertolongan   yang   dijanjikan
kepadanya.  Ia  minta  pertolongan  itu  dilaksanakan,  dengan
menyebutkan bahwa bilamana angkatan Badr ini hancur,  tak  ada
lagi  ibadat.  Ini merupakan suatu manifestasi yang kuat dalam
komunikasi.
 
Begitu  juga  tindakan-tindakannya  yang  lain   diluar   Badr
menunjukkan,  bahwa  dia selalu dalam komunikasi dengan Tuhan,
diluar saat-saat tertentu sewaktu wahyu  turun.  Komunikasinya
ini ialah melalui keimanannya dengan sungguh-sungguh, keimanan
yang sampai membuat mati  itu  tiada  arti  lagi.  Maut  malah
dihadapinya  dan  diharapkannya.  Orang  yang  sungguh-sungguh
dalam imannya tidak pernah takut mati, bahkan  mengharapkannya
selalu. Ajal sudah ditentukan. Dimana pun manusia berada, maut
akan mencapainya selalu, sekalipun  di  dalam  benteng-benteng
yang  kukuh.  Iman  inilah  yang  membuat Muhammad tetap tabah
ketika  melihat  kaum  Muslimin  lari  tunggang-langgang  pada
permulaan  pecah  perang  Hunain. Dipanggilnya orang-orang itu
tanpa  menghiraukan  maut  yang  sedang  mengepungnya,  dengan
sejuinlah  kecil  orang-orang yang masih bertahan bersama-sama
dia. Iman inilah yang membuat dia memberikan apa saja yang ada
padanya  tanpa  ia sendiri takut kekurangan. Ia telah mencapai
puncak  nilai-nilai  kebaikan  seperti  yang  diserukan   oleh
Kitabullah.
 
Dengan  teladan  baik  yang  diberikannya  itu dalam permulaan
sejarah Islam kaum Muslimin telah mengikuti jejaknya.
 
Semua itu, dengan Muslimin pada permulaan sejarah Islam,  yang
telah  mengikuti teladan baik yang diberikannya, telah membuat
Islam begitu pesat berkembang  pada  dasawarsa  pertama,  yang
kemudian  disusul  dengan  berpulangnya  Nabi  ke rahmatullah.
Islam tersebar ke seluruh kawasan, panji-panji Islam  berkibar
tinggi   sesuai   dengan   kebudayaan   yang   berlaku.   Dari
bangsa-bangsa yang tadinya sangat lemah dan berantakan,  telah
dapat  pula  dibangun  menjadi bangsa-bangsa dan negara-negara
yang kuat, dan menjadi pelopor ilmu pengetahuan. Dengan  jalan
ini  telah  banyak  sekali  rahasia-rahasia  alam  yang  dapat
diketahuinya. Karena itu diciptakannya pula karya-karya  besar
yang  menjadi  kebanggaan  zaman sekarang, yang sudah dianggap
sebagai zaman keemasan dan ilmu, tanpa memperkosa  kebahagiaan
umat  manusia  karena  pengabdiannya kepada materi dan imannya
kepada Tuhan yang masih lemah itu.
 
Seperti dalam kebudayaan lain, kebudayaan  Islam  juga  banyak
dimasuki  oleh ambisi-ambisi rasialisma dan Israiliat. Soalnya
ialah karena ada  segolongan  ulama  yang  seharusnya  menjadi
pewaris  para  nabi  malah mereka ini lebih menyukai kekuasaan
daripada kebenaran, daripada nilai moral. Ilmu yang  ada  pada
mereka  dipakai  alat  untuk  menyesatkan orang-orang awam dan
generasi mudanya, sama halnya  dengan  kebanyakan  ulama-ulama
sekarang  yang  juga  mau menyesatkan orang-orang awam beserta
angkatan  mudanya  itu.   Ulama-ulama   demikian   ini   ialah
pembela-pembela   setan,   yang   akan   lebih  berat  memikul
tanggungjõawab dihadapan Tuhan.
 
Maka kewajiban pertama  buat  setiap  ulama  yang  benar-benar
ikhlas  demi  ilmu  dan  demi  Tuhan, ialah harus siap melawan
mereka dan memberantas semua bibit yang  merusak  itu.  Mereka
hendak  membelokkan  orang  dari kebenaran, hendak menyesatkan
orang   dari   jalan   yang   lurus.    Apabila    ulama-ulama
(pendeta-pendeta)  yang  menyesatkan  di  Barat itu telah ikut
memegang peranan dalam  melibatkan  gereja  dan  ilmu  kedalam
kancah  saling berperang dalam merebut kekuasaan, maka peranan
demikian tidak ada buat mereka di negeri-negeri  Islam,  sebab
dalam  kebudayaan  Islam agama dan ilmu saling terjalin, sebab
agama tanpa ilmu suatu  kekufuran,  ilmu  tanpa  agama  sesat.
Sekiranya  dunia  ini sampai bernaung dibawah kebudayaan Islam
seperti yang  dilukiskan  Qur'an,  dan  tidak  diperkosa  oleh
adanya penaklukan-penaklukan Mongolia dan yang semacamnya yang
telah masuk Islam tapi tidak menjalankan prinsip-prinsip Islam
atau  berusaha  menyebarkannya, malah Islam dipakainya sebagai
alat untuk menguasai orang-orang  awam  di  kalangan  Muslimin
dengan   prinsip   yang   sama   sekali   bertentangan  dengan
prinsip-prinsip persaudaraan Islam - tentu keadaan  dunia  ini
tidak  akan  seperti  ini,  umat  manusia  akan  selamat  dari
beberapa hal yang kini  menjerumuskan  mereka  kedalam  jurang
penderitaan.
 
Saya  yakin,  bahwa kebudayaan yang dilukiskan oleh Qur'an itu
akan tersebar ke dunia luas kalau saja  korps  ulama  ini  mau
tampil  ke depan dengan suatu ajakan yang ilmiah caranya, jauh
dari segala cara berpikir yang beku  dan  fanatik.  Kebudayaan
ini  akan  berdialog  dengan  hati, juga akan berdialog dengan
pikiran, dan dapat dijamin manusia  dari  segala  bangsa  akan
menerimanya  dengan  hati  terbuka  tanpa  dapat  dicegah oleh
ambisi-ambisi  pribadi.  Untuk  ini   yang   diperlukan   oleh
ulama-ulama  itu  tidak lebih dari hanya supaya mereka menjadi
orang-orang yang benar-benar beriman,  mengajak  orang  kepada
ajaran  Tuhan  yang  sebenarnya  dan  kepada  kebudayaan  yang
demikian ini dengan hati yang ikhlas demi agama. Ketika itulah
orang   merasa  bahagia  dengan  persaudaraannya  dalam  Tuhan
seperti pada zaman Nabi, mereka merasa bahagia.
 
Apa yang terjadi pada masa Nabi  dan  pada  permulaan  sejarah
Islam  sudah tidak memerlukan pembuktian lagi; dengan apa yang
sudah saya sebutkan dalam pengantar buku ini,  bahwa  revolusi
rohani  yang  sinarnya  sudah  dipancarkan  oleh  Muhammad  ke
seluruh dunia ini sudah seharusnya akan membukakan jalan  umat
manusia  kepada kebudayaan baru yang selama ini dicarinya. Dan
saya tidak pernah ragu sekejap pun mengenai hal ini.
 
Akan  tetapi  ada  beberapa  sarjana  Barat  yang   menyatakan
beberapa  keberatan  dengan  menghubungkannya  pada  jiwa yang
menjadi sumber konsepsi kebudayaan Islam itu. Atas  dasar  itu
mereka mengambil kesimpulan, bahwa Islamlah yang menjadi sebab
mundurnya bangsa-bangsa yang menganut agama ini. Yang  penting
diantaranya  ialah  apa  yang  mereka  katakan, bahwa jabariah
Islam itulah yang membuat semangat  umat  Islam  jadi  kendor,
membuat  mereka  malas  menghadapi  perjuangan hidup, sehingga
mereka  menjadi  golongan  yang  hina-dina.  Dalam  menghadapi
tantangan  ini  dan  apa  yang sejalan dengan itu, inilah yang
akan menjadi pokok pembahasan kedua pada bagian  penutup  buku
ini.
 
Catatan kaki:
 
1 Lihat halaman xlvii (A).
 
2 Kata 'irfan dan ma'rifat yang kadang mempunyai arti
yang sama, disini kata ma'rifat tidak saya pergunakan
sebagai istilah ilmiah yang umum dalam tasauf dan ilmu
kalam, juga tidak saya salin dengan gnosis atau
connaissance, melainkan   mengingat persoalannya
secara konotatif saya pergunakan kata persepsi, yakni
pengamatan, pengenalan dan kesadaran batin (A).
 
3 Sudah tentu terjemahan ayat-ayat Qur'an di atas
begitu juga yang lain   tidak akan dapat mengungkapkan
keagungan dan keindahan yang terkandung dalam bahasa
aslinya, yang memang tidak mungkin dapat ditiru atau
diterjemahkan dengan gaya yang sama (A).
 
4 I'jaz, 'yang tak dapat ditiru,' ciri khas Qur'an yang
luar biasa, yang juga dari akar kata yang sama dengan
mujizat (A).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar