Selasa, 20 Maret 2012

# Sejarah Hidup Muhammad Saw (26) #


Sejarah Hidup Muhammad Saw

(26)

BAGIAN KEDUAPULUH ENAM: IBRAHIM DAN ISTERI ISTERI NABI

Kembali ke Madinah - Banat Su'ad - Zainab wafat - 
Ibrahim Lahir - Istri2 Nabi cemburu - 
Hafsha dan Aisyah memperlihatkan sikap 
- Cerita Maghafir - Mana dirumah Hafsha - 
Selama sebulan Nabi meninggalkan Istri'a  -  
Percakapan Umar dengan Nabi - Surah At-Tahrim.
 
MUHAMMAD kembali ke Medinah selesai ia membebaskan Mekah dan
setelah  mendapat  kemenangan di Hunain dan mengepung Ta'if.
Dalam hati orang Arab semua sudah nyata dan yakin, bahwa tak
ada  yang  akan dapat menandinginya di seluruh jazirah, juga
sudah  tak  ada  lagi  lidah  yang   mau   mengganggu   atau
mencelanya.  Pihak Anshar dan Muhajirin semua merasa gembira
sekali karena Tuhan  telah  membukakan  jalan  kepada  Nabi,
membebaskan negeri tempat Mesjid Suci. Mereka gembira karena
penduduk Mekah telah beroleh hidayah dengan menganut  Islam,
dan orang-orang Arab - dengan kabilahnya yang beraneka ragam
itu - telah tunduk dan taat kepada agama ini.
 
Untuk sekadar  menikmati  adanya  ketenangan  hidup,  mereka
semua kembali ke Medinah setelah Muhammad menunjuk 'Attab b.
Asid untuk Mekah di samping Mu'adh b.  Jabal  guna  mengajar
orang  memperdalam  agama dan mengajarkan Qur'an. Kemenangan
yang  belum  ada  taranya  dalam  sejarah  Arab  ini   telah
menimbulkan   kesan   yang   dalam   sekali  di  dalam  hati
orang-orang   Arab    itu    semua,    juga    dalam    hati
pembesar-pembesar  dan  bangsawan-bangsawan  yang samasekali
tidak membayangkan, bahwa pada suatu hari mereka akan tunduk
kepada  Muhammad  atau  akan menerima agamanya sebagai agama
mereka; dalam hati penyair-penyair, yang  bicara  atas  nama
bangsawan-bangsawan  dengan  sekedar mendapatkan simpati dan
dukungan sebagai imbalan, atau sekadar  mendapatkan  bantuan
dan  dukungan kabilah-kabilah; dalam hati kabilah-kabilah di
pedalaman, yang biasanya tidak mau  menukarkan  kebebasannya
dengan  apa pun, atau akan terbayang dalam pikirannya, bahwa
mereka akan tergabung dalam satu panji di luar panji  mereka
sendiri  yang khusus atau akan bersedia mati untuk semua itu
dalam suatu peperangan sampai habis samasekali. Para penyair
dengan     sajak-sajaknya,     kaum     bangsawan     dengan
kebangsawanannya dan kabilah-kabilah yang mau mempertahankan
kepribadiannya,  apa  artinya  semua  itu  dalam  berhadapan
dengan kekuatan yang berada di luar kodrat alam  itu,  tiada
dapat  dibendung  oleh suatu kekuatan, tiada suatu kekuasaan
dapat mengalanginya.
 
Begitu besarnya pengaruh itu dalam  hati  orang-orang  Arab,
sehingga  Bujair  ibn Zuhair menulis surat kepada saudaranya
Ka'b, setelah Nabi meninggalkan Ta'if. Ia mengatakan,  bahwa
Muhammad  di  Mekah  telah  menjatuhkan  hukuman mati kepada
orang-orang yang dulu pernah mengejek dan mengganggunya, dan
penyair-penyair  yang  masih  ada, mereka melarikan diri tak
tentu arahnya. Dinasehatinya saudaranya itu,  supaya  segera
datang  kepada  Nabi  di  Medinah. Ia tidak pernah menghukum
orang yang datang kepadanya menyatakan  penyesalannya;  atau
orang menyelamatkan diri dengan ke mana saja ia mau pergi.
 
Apa yang diceritakan Bujair itu memang benar. Tak ada  orang
yang  terbunuh di Mekah atas perintah Muhammad kecuali empat
orang  saja,  di  antaranya  seorang  penyair  yang   sangat
mengganggu  Nabi  dengan  ejekan-ejekannya,  dua  orang yang
telah  menyakiti  Zainab  puterinya,  ketika   dengan   ijin
suaminya ia pergi hijrah dari Mekah hendak menyusul ayahnya.
Ka'b yakin bahwa apa yang dikatakan  saudaranya  itu  benar,
dan kalau dia tidak mau menemui Muhammad ia akan hidup dalam
petualangan.  Oleh  karena  itu  cepat-cepat  ia  datang  ke
Medinah dan menumpang di rumah seorang kawan lama. Keesokan
harinya pagi-pagi ia datang  ke  mesjid,  ia  meminta  suaka
kepada Nabi kemudian ia membacakan sajak ini.1
 
Berpisah dengan Su'ad
Hatiku kini merana karena cinta
Tergila-gila mengikutinya, terpukau
Tiada lagi ada belenggu.
 
Nabi kemudian memaafkannya dan setelah itu dia menjadi orang
Islam yang baik.
 
Karena  pengaruh  itu  jugalah,  maka  kabilah-kabilah mulai
berdatangan kepada Nabi dan  menyatakan  kesetiaannya.  Dari
kabilah  Tayy  datang  pula  utusan  dipimpin  oleh ketuanya
sendiri, Zaid al-Khail. Setelah mereka ini  tiba,  Nabi  pun
menyambut   mereka   dengan   baik  sekali.  Ketika  terjadi
pembicaraan dengan Zaid, Nabi berkata:
 
"Setiap ada orang dari kalangan Arab yang digambarkan begitu
baik, kemudian orang itu datang kepadaku, ternyata ia kurang
daripada apa yang digambarkan orang, kecuali  Zaid  al-Khail
ini. Ia melebihi daripada apa yang digambarkan orang."
 
Lalu  ia  dinamainya 'Zaid al-Khair,' (Zaid yang baik) bukan
lagi, Zaid al-Khail, ('Zaid si kuda').2 Kabilah Tayy kemudian
masuk Islam termasuk Zaid sendiri sebagai pemimpinnya.
 
Kemudian  'Adi  b.  Hatim  at-Ta'iy. Ia seorang Nasrani, dan
sangat  benci  kepada  Muhammad.  Setelah  melihat   keadaan
Muhammad  dan  Muslimin  di  jazirah  Arab,  ia pergi dengan
untanya,  membawa  keluarga  dan  anaknya  hendak  bergabung
dengan  orang-orang  seagama  dari kalangan Nasrani di Syam.
Larinya 'Adi ini ialah ketika Nabi mengutus Ali b. Abi Talib
supaya  menghancurkan berhala Tayy. Setelah berhala itu oleh
Ali dihancurkan, ia membawa rampasan dan tawanan perang,  di
antaranya  puteri  Hatim  -saudara 'Adi - yang telah ditahan
dalam sebuah tempat berpagar di pintu masuk  mesjid,  tempat
tawanan-tawanan  perang  dikurung.  Tatkala  Nabi  lewat  di
tempat itu, ia menghampirinya dan berkata:
 
"Rasulullah, ayah saya sudah meninggal, sedang penopang saya
sudah  menghilang.  Bermurah hatilah kepadaku, mudah-mudahan
Tuhan akan memberi kurnia kepadamu."
 
Setelah diketahui bahwa penopangnya itu 'Adi b. Hatim,  yang
telah  melarikan diri dari Tuhan dan Rasul, Nabi memalingkan
muka dari dia.  Tetapi  perempuan  itu  memintanya  meninjau
kembali.  Lalu  teringat  oleh  Nabi, betapa pemurahnya ayah
mereka dulu pada zaman jahiliah  sehingga  dapat  mengangkat
nama  jazirah  itu.  Kemudian diperintahkannya supaya wanita
itu dibebaskan.  Ia  diberi  pakaian  yang  bagus-bagus  dan
diberinya pula belanja, lalu diberangkatkan dengan rombongan
pertama yang berangkat ke Syam.  Bila  kemudian  ia  bertemu
dengan  saudaranya ('Adi) dan diceritakannya betapa Muhammad
menghormatinya dan bermurah hati kepadanya, ia  pun  kembali
dan menerjunkan diri ke dalam barisan Muslimin.
 
Demikian  juga  pemuka-pemuka  kabilah yang lain berdatangan
kepada Muhammad - setelah pembebasan Mekah dan kemenangan di
Hunain  serta  pengepungan  Ta'if  -  mereka hendak mengakui
risalahnya dan  menerima  Islam,  sementara  ketika  itu  ia
tinggal  di  Medinah,  mereka lega dengan adanya pertolongan
Tuhan dan kehidupan yang agak tenteram itu
 
Akan tetapi ketenteraman  hidup  masa  itu  tampaknya  tidak
begitu  cerah.  Pada  waktu  itu  Zainab,  puterinya  sedang
menderita sakit yang sangat menguatirkan  sekali.  Sejak  ia
mendapat  gangguan Huwairith dan Habbar tatkala ia berangkat
dari Mekah yang sangat mencemaskan hatinya  dan  menyebabkan
ia  keguguran,  sejak  itu  kesehatannya mundur sekali, yang
sampai berakhir membawa kematiannya. Dengan kematiannya  itu
tak ada lagi dari keturunan Muhammad yang masih hidup selain
Fatimah, setelah Umm Kulthum dan Ruqayya  wafat  pula  lebih
dulu   sebelum   Zainab.  Dengan  kehilangan  puterinya  ini
Muhammad merasa  gundah  sekali.  Teringat  olehnya,  betapa
lembutnya  perasaan  Zainab,  betapa  indahnya  kesetiaannya
kepada suaminya  -  Abu'l-'Ash  bin'r-Rabi'  ketika  sebagai
orang  tawanan  di  Badr,  ditebusnya  ia  dari  ayahnya. Ia
menebusnya, padahal ia dalam  Islam  sedang  suaminya  masih
syirik,  di  samping begitu gigih ia memerangi ayahnya, yang
kalau  kemenangan  itu  berada  di  tangan  Quraisy,   pasti
Muhammad tidak akan dibiarkan hidup.
 
Semua   itu   teringat   oleh   Muhammad   betapa  lembutnya
perasaannya, betapa  indahnya  kesetiaannya.  Teringat  pula
olehnya  betapa  ia  menderita  sakit, sejak ia kembali dari
Mekah sampai ia wafat. Muhammad, yang dalam  kemalangan,  ia
pergi  ke pelosok-pelosok dan ke ujung kota, menengoki orang
yang sedang sakit, ia menghibur orang yang dalam  menderita,
dalam  kesakitan.  Maka  bilamana sampai pula takdir menimpa
puterinya ini, setelah lebih dulu menimpa  kedua  saudaranya
yang  laki-laki  tidak  salah  apabila ia akan sangat merasa
duka, akan sangat bertambah luka di  hati,  meskipun  dengan
adanya  rahmat  dan  kasih  sayang  Tuhan  kepadanya ia akan
merasa sudah terhibur.
 
Akan tetapi tidak lama ia mengalami  kesedihan  itu,  dengan
melalui  Maria  orang  Kopti  Tuhan  telah  memberi  karunia
seorang anak laki-laki yang diberi nama Ibrahim,  nama  yang
diambil  dari  Ibrahim  leluhur  para  nabi, para hunif yang
patuh kepada Tuhan.  Sejak  Maria  diberikan  oleh  Muqauqis
kepada  Nabi  sampai  pada  waktu  itu masih berstatus hamba
sahaja. Oleh karena itu tempatnya tidak  di  samping  mesjid
seperti  isteri-isteri  Nabi  Umm'l-Mukminin yang lain. Oleh
Muhammad ia  ditempatkan  di  'Alia,  di  bagian  luar  kota
Medinah,  di  tempat  yang sekarang diberi nama Masyraba Umm
Ibrahim, dalam sebuah rumah di tengah-tengah  kebun  anggur.
Ia   sering   berkunjung  ke  sana  seperti  biasanya  orang
mengunjungi hak-miliknya.  Ia  mengambilnya  sebagai  hadiah
dari Muqauqis bersama-sama saudaranya yang perempuan, Sirin,
dan Sirin ini diberikannya kepada Hassan b. Thabit.  Sesudah
Khadijah  wafat, dari semua isterinya, baik yang muda remaja
atau yang sudah setengah umur, yang dulu  pernah  memberikan
keturunan,  Muhammad  tidak  pernah  menantikan mereka masih
akan memberikan keturunan lagi, yang  selama  sepuluh  tahun
berturut-turut belum ada tanda-tanda kesuburan pada mereka.
 
Setelah ternyata Maria mengandung dan kemudian lahir Ibrahim
- ketika itu usianya sudah lampau enampuluh tahun  -  sangat
gembira sekali ia. Rasa sukacita telah memenuhi hati manusia
besar ini. Dengan kelahirannya  itu  kedudukan  Maria  dalam
pandangannya  tampak  lebih tinggi, dari tingkat bekas-bekas
budak ke derajat isteri. Ini menambah ia lebih disenangi dan
lebih dekat lagi.
 
Wajar sekali hal ini akan menambah rasa iri hati di kalangan
isteri-isterinya yang lain,  lebih-lebih  karena  Maria  ibu
Ibrahim,  sedang  mereka  semua  tidak  beroleh putera. Juga
pandangan Nabi  kepada  bayi  ini  sehari  ke  sehari  makin
memperbesar kecemburuan mereka. Ia sangat menghormati Salma,
isteri Abu Rafi', yang bertindak sebagai bidan Maria. Ketika
lahirnya  itu  ia memberikan sedekah uang dengan ukuran tiap
seutas  rambut  kepada  setiap  fakir  miskin,   dan   untuk
menyusukannya telah diserahkan pula kepada Umm Saif disertai
tujuh ekor kambing untuk dimanfaatkan air  susunya  buat  si
bayi.  Setiap  hari  ia singgah ke rumah Maria sekadar ingin
melihat Ibrahim, dan ia pun tambah  gembira  setiap  melihat
senyuman  bayi  yang masih suci dan bersih itu; makin senang
hatinya setiap melihat pertumbuhan bayi bertambah indah. Apa
lagikah   yang   akan  lebih  besar  dari  semua  ini,  akan
menimbulkan rasa iri  hati  dalam  diri  isteri-isteri  yang
tidak  mempunyai  anak itu? Dan sampai di mana pula pengaruh
iri hati itu pada mereka?
 
Dengan penuh perasaan gembira pada suatu  hari  Nabi  datang
dengan  memondong Ibrahim kepada Aisyah. Dipanggilnya Aisyah
supaya melihat  betapa  besarnya  persamaan  Ibrahim  dengan
dirinya  itu.  Aisyah  melihat  kepada  bayi  itu,  kemudian
katanya, bahwa  dia  tidak  melihat  adanya  persamaan  itu.
Setelah  dilihatnya  Nabi  begitu gembira karena pertumbuhan
bayi itu, ia tampak marah; semua  bayi  yang  mendapat  susu
seperti  Ibrahim,  akan  sama pertumbuhannya atau akan lebih
baik. Isteri-isteri Nabi telah marah  dan  tidak  suka  hati
karena  kelahiran Ibrahim itu, yang akibatnya tidak terbatas
hanya pada jawaban-jawaban yang kasar,  bahkan  sudah  lebih
dari  itu,  sampai-sampai  dalam  sejarah Muhammad dan dalam
sejarah  Islam   telah   meninggalkan   pengaruh,   sehingga
karenanya datang pula wahyu dan disebutkan dalam Kitabullah
 
Dan wajar sekali pengaruh demikian ini akan timbul, Muhammad
telah memberi tempat dan kedudukan  kepada  isteri-isterinya
demikian  rupa,  suatu  hal  yang  tidak  pernah  dikenal di
kalangan Arab. Dalam  suatu  keterangan  Umar  bin'l-Khattab
berkata,  "Sungguh,"  kata  Umar,  "kalau  kami  dalam zaman
jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah
Tuhan  memberikan  ketentuan  tentang  mereka dan memberikan
pula hak kepada mereka."

Dan katanya lagi, "Ketika saya  sedang  dalam  suatu  urusan
tiba-tiba isteri saya berkata: 'Coba kau berbuat begini atau
begitu. Jawab saya, 'Ada urusan  apa  engkau  di  sini,  dan
perlu  apa  engkau  dengan  urusan yang kuinginkan.' Dia pun
membalas,  'Aneh  sekali  engkau,  Umar.  Engkau  tidak  mau
ditentang,  padahal  puterimu  menentang  Rasulullah  s.a.w.
sehingga ia gusar sepanjang  hari.  Kata  Umar  selanjutnya:
"Kuambil  mantelku,  lalu  aku keluar, pergi menemui Hafsha.
'Anakku,' kataku  kepadanya.  'Engkau  menentang  Rasulullah
s.a.w.  sampai  ia  merasa  gusar  sepanjang  hari?!  Hafsha
menjawabnya:  'Memang  kami  menentangnya.'  'Engkau   harus
tahu,' kataku. 'Kuperingatkan engkau jangan teperdaya. Orang
telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dan mengira cinta
Rasulullah  s.a.w.  hanya  karenanya.'  Kemudian  saya pergi
menemui Umm Salama, karena kami masih  berkerabat.  Hal  ini
saya  bicarakan  dengan  dia. Lalu kata Umm Salama kepadaku:
'Aneh sekali engkau ini,  Umar!  Engkau  sudah  ikut  campur
dalam   segala  hal,  sampai-sampai  mau  mencampuri  urusan
Rasulullah s.a.w. dengan rumahtangganya!'  Kata  Umar  lagi:
'Kata-katanya  mempengaruhi  saya  sehingga  tidak jadi saya
melakukan apa yang sudah  saya  rencanakan.  Lalu  saya  pun
pergi."
 
Muslim  dalam  Shahih-nya  melaporkan, bahwa Abu Bakr pernah
meminta  ijin  kepada  Nabi  akan  menemuinya  dan   setelah
diijinkan iapun masuk, kemudian datang Umar meminta ijin dan
masuk pula setelah  diberi  ijin.  Dijumpainya  Nabi  sedang
duduk  dalam keadaan masygul di tengah-tengah para isterinya
yang juga sedang masygul dan diam. Ketika itu Umar  berkata:
"Saya  akan mengatakan sesuatu yang akan membuat Nabi s.a.w.
tertawa. Lalu katanya: 'Rasulullah, kalau tuan melihat  Bint
Kharija3  yang  meminta belanja kepada saya maka saya bangun
dan saya tinju lehernya. Maka Rasulullah pun tertawa  seraya
katanya:   'Mereka  itu  sekarang  di  sekelilingku  meminta
belanja! Ketika itu Abu Bakr  lalu  menghampiri  Aisyah  dan
ditinjunya  lehernya,  demikian  juga  Umar lalu menghampiri
Hafsha dan meninjunya, sambil masing-masing berkata: 'Kalian
minta  yang  tidak  ada  pada  Rasulullah s.a.w.! Mereka pun
menjawab: 'Demi Allah kami  samasekali  tidak  minta  kepada
Rasullullah s.a.w. sesuatu yang tidak dipunyainya."
 
Sebenarnya  Abu Bakr dan Umar waktu itu menemui Nabi, karena
Nabi a.s. tidak tampak keluar waktu sembahyang.  Karena  itu
kaum    Muslimin    bertanya-tanya    apa    gerangan   yang
mengalanginya. Dalam peristiwa  Abu  Bakr  dan  Umar  dengan
Aisyah dan Hafsha inilah datang firman Tuhan:
 
"Wahai  Nabi!  Katakan  kepada  isteri-isterimu: 'Kalau kamu
menghendaki kehidupan dan perhiasan dunia,  marilah  kemari,
akan  kuberikan  semua  itu  dan akan kuceraikan kamu dengan
cara yang baik. Tetapi  kalau  kamu  menghendaki  Allah  dan
Rasul  serta kehidupan akhirat, maka Allah telah menyediakan
pahala yang besar untuk orang-orang  yang  berbuat  kebaikan
dari kalangan kamu." (Qur'an, 33: 28-29)
 
Kemudian   isteri-isteri  Nabi  saling  mengadakan  sepakat.
Biasanya lepas salat asar Nabi mengunjungi isteri-isterinya.
Ketika  itu  ia sedang berkunjung kepada Hafsha menurut satu
sumber - atau kepada Zainab bt. Jahsy  menurut  sumber  yang
lain  -  dan lama tidak keluar, lebih dari biasanya. Hal ini
telah menimbulkan rasa iri hati pada  isteri-isterinya  yang
lain.  Aisyah  mengatakan:  'Lalu aku dan Hafsha bersepakat,
bahwa bilamana Nabi s.a.w. datang kepada salah seorang  dari
kami  hendaklah berkata bahwa aku mencium bau maghafir.4 Apa
kau makan maghafir?"  [Maghafir  ialah  sesuatu  yang  manis
rasanya,  berbau  tidak  sedap.  Sedang  Nabi tidak menyukai
segala yang berbau tidak enak]. Ketika ia  mendatangi  salah
seorang   dari   mereka  ini,  hal  itu  oleh  yang  seorang
ditanyakan kepadanya.
 
"Saya hanya minum madu di rumah Zainab bt. Jahsy, dan  tidak
akan saya ulang lagi," katanya.
 
Menurut   laporan   Sauda,   yang   juga   sudah  mengadakan
persepakatan yang serupa dengan Aisyah, menceritakan,  bahwa
setelah  Nabi  berada  di  dekatnya,  ditanyanya: "Kau makan
maghafir?"
 
"Tidak," jawabnya.
 
"Ini bau apa?"
 
"Hafsha menyugui aku minuman dari madu."
 
"Yang lebahnya mengisap 'urfut?"
 
Dan bila ia  mendatangi  Aisyah  dikatakannya  seperti  yang
dikatakan   oleh   Sauda.  Juga  Shafia  ketika  dijumpainya
mengatakan seperti apa yang dikatakan mereka juga. Sejak itu
ia lalu mengharamkan madu untuk dirinya.
 
Setelah  melihat  kenyataan  ini  Sauda  berkata: "Maha suci
Tuhan! Madu telah jadi haram buat kita!"
 
Ditatapnya ia oleh Aisyah dengan pandangan mata  penuh  arti
seraya katanya: Diam!
 
Nabi  yang  telah memberi kedudukan kepada isteri-isterinya,
sedang sebelum  itu,  seperti  wanita-wanita  Arab  lainnya,
mereka  tidak pernah mendapat penghargaan orang, sudah wajar
sekali apabila sikap mereka kini mau berlebih-lebihan  dalam
menggunakan  kebebasan,  suatu hal yang tidak pernah dialami
oleh sesama kaum wanita, sampai-sampai ada di antara  mereka
itu  yang  menentang  Nabi  dan membuat Nabi gusar sepanjang
hari. Ia  sudah  berusaha  hendak  menghindarkan  diri  dari
mereka,   meninggalkan  mereka,  supaya  sikap  kasih-sayang
kepada mereka itu tidak sampai membuat tingkah  laku  mereka
tambah  melampaui  batas,  dan  sampai  ada dari mereka yang
mengeluarkan rasa cemburunya dengan cara yang  tidak  layak.
Setelah   Maria  melahirkan  Ibrahim,  rasa  iri  hati  pada
isteri-isteri  Nabi  itu  sudah  melampaui   sopan   santun,
sehingga ketika terjadi percakapan antara dia dengan Aisyah,
Aisyah menolak  menyatakan  adanya  persamaan  rupa  Ibrahim
dengan  Nabi  itu, dan hampir-hampir pula menuduh Maria yang
bukan-bukan, yang oleh Nabi dikenal bersih.
 
Pernah  terjadi  ketika  pada  suatu   hari   Hafsha   pergi
mengunjungi ayahnya dan bercakap-cakap di sana, Maria datang
kepada Nabi tatkala ia sedang di rumah Hafsha dan agak lama.
Bila kemudian Hafsha kembali pulang dan mengetahui ada Maria
di rumahnya, ia menunggu keluarnya Maria dengan rasa cemburu
yang  sudah  meluap.  Makin lama ia menunggu, cemburunya pun
makin menjadi. Bilamana kemudian Maria keluar, Hafsha  masuk
menjumpai Nabi.
 
"Saya  sudah  melihat  siapa  yang  dengan  kau  tadi," kata
Hafsha. "Engkau sungguh telah menghinaku. Engkau tidak  akan
berbuat  begitu  kalau  tidak  kedudukanku yang rendah dalam
pandanganmu."
 
Muhammad segera menyadari bahwa rasa cemburulah  yang  telah
mendorong Hafsha menyatakan apa yang telah disaksikannya itu
serta   membicarakannya   kembali   dengan    Aisyah    atau
isteri-isterinya    yang    lain.   Dengan   maksud   hendak
menyenangkan perasaan Hafsha, ia bermaksud hendak  bersumpah
mengharamkan  Maria  buat  dirinya  kalau  Hafsha tidak akan
menceritakan  apa  yang  telah  disaksikannya  itu.   Hafsha
berjanji akan melaksanakan. Tetapi rasa cemburu sudah begitu
berkecamuk dalam  hati,  sehingga  dia  tidak  lagi  sanggup
menyimpan   apa   yang   ada   dalam  hatinya,  dan  ia  pun
menceritakan lagi hal  itu  kepada  Aisyah.  Aisyah  memberi
kesan  kepada  Nabi  bahwa Hafsha tidak lagi dapat menyimpan
rahasia. Barangkali masalahnya  tidak  hanya  terhenti  pada
Hafsha  dan  pada  Aisyah  saja  dari  kalangan isteri Nabi.
Barangkali mereka semua - yang sudah melihat bagaimana  Nabi
mengangkat kedudukan Maria - telah pula mengikuti Hafsha dan
Aisyah ketika kedua mereka ini berterang-terang kepada  Nabi
sehubungan   dengan  Maria  ini,  meskipun  cerita  demikian
sebenarnya tidak lebih daripada suatu kejadian biasa  antara
seorang   suami   dengan   isterinya,  atau  antara  seorang
laki-laki dengan hamba sahaya  yang  sudah  dihalalkan.  Dan
tidak  perlu  diributkan  seperti  yang dilakukan oleh kedua
puteri Abu Bakr dan Umar itu, yang dari pihak mereka sendiri
berusaha  hendak  membalas  karena kecenderungan Nabi kepada
Maria. Kita sudah melihat adanya  semacam  ketegangan  dalam
saat-saat  tertentu antara Nabi dengan para isterinya karena
soal  belanja,  karena  soal  madu   Zainab,   atau   karena
sebab-sebab lain, yang menunjukkan bahwa mereka melihat Nabi
lebih mencintai Aisyah atau lebih mencintai Maria
 
Begitu memuncaknya keadaan mereka, sehingga pada suatu  hari
mereka mengutus Zainab bt. Jahsy kepada Nabi di rumah Aisyah
dan dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia berlaku tidak
adil  terhadap  para  isterinya,  dan karena cintanya kepada
Aisyah ia telah merugikan yang lain. Bukankah setiap  isteri
mendapat  bagian masing-masing sehari semalam? Kemudian juga
Sauda; karena melihat Nabi  menjauhinya  dan  tidak  bermuka
manis  kepadanya,  maka supaya Rasul merasa senang, ia telah
mengorbankan waktu siang  dan  malamnya  itu  untuk  Aisyah.
Dalam  berterusterang itu Zainab tidak hanya terbatas dengan
mengatakan Nabi bersikap tidak adil di antara  para  isteri,
bahkan  juga ia telah mencerca Aisyah yang ketika itu sedang
duduk-duduk,  sehingga   membuat   Aisyah   bersiap   hendak
membalasnya  kalau  tidak  karena  adanya isyarat dari Nabi,
yang membuat dia jadi tenang  kembali.  Akan  tetapi  Zainab
begitu bersikeras menyerangnya dan mencerca Aisyah melampaui
batas,  sehingga  tak  ada  jalan  lain  buat  Nabi  kecuali
membiarkan  Aisyah  membela diri. Ketika itu Aisyah membalas
bicara dan membuat Zainab jadi terdiam. Dengan demikian Nabi
merasa senang dan kagum sekali terhadap puteri Abu Bakr itu.
 
Pada  waktu-waktu  tertentu  pertentangan isteri-isteri Nabi
itu  sudah  begitu  memuncak,  sebab  dia   dianggap   lebih
mencintai   yang   seorang   daripada  yang  lain,  sehingga
karenanya  Nabi  bermaksud  hendak  menceraikan  mereka  itu
sebagian,   kalau   tidak   karena  mereka  lalu  memberikan
kebebasan  kepadanya  mengenai   siapa   saja   yang   lebih
disukainya.  Setelah Maria melahirkan Ibrahim, rasa iri hati
pada mereka makin  menjadi-jadi,  lebih-lebih  pada  Aisyah.
Dalam  menghadapi  kegigihan  sikap mereka yang iri hati ini
Muhammad -  yang  sudah  mengangkat  derajat  mereka  begitu
tinggi  -  masih  tetap  lemah-lembut.  Muhammad tidak punya
waktu yang senggang untuk melayani  sikap  kegigihan  serupa
itu  dan  membiarkan  dirinya dipermainkan oleh sang isteri.
Mereka harus mendapat pelajaran dengan sikap yang tegas  dan
keras.   Persoalan   pada   isteri-isteri  itu  harus  dapat
dikembalikan ke  tempat  semula.  Dia  harus  kembali  dalam
ketenangannya  berpikir, dalam menjalankan dakwah ajarannya,
seperti yang sudah ditentukan  Tuhan  kepadanya  itu.  Dapat
juga  pelajaran itu berupa tindakan meninggalkan mereka atau
mengancam mereka dengan perceraian. Kalau mereka mau kembali
sadar,   baiklah;  kalau  tidak,  berikanlah  bagiannya  dan
ceraikan mereka dengan cara yang baik.
 
Selama sebulan penuh  akhirnya  Nabi  memisahkan  diri  dari
mereka.  Tiada  orang yang diajaknya bicara mengenai mereka,
juga orang pun tak  ada  yang  berani  memulai  membicarakan
masalah  mereka  itu.  Dan  selama sebulan itu ia memusatkan
pikirannya pada apa yang harus dilakukannya, apa yang  harus
dilakukan oleh kaum Muslimin dalam menjalankan dakwah Islam,
serta menyebarkan agama itu keluar jazirah.
 
Dalam pada itu Abu Bakr dan Umar serta bapa-bapa mertua Nabi
yang lain merasa gelisah sekali melihat nasib Umm'l-Mukminin
(Ibu-ibu Orang-orang Beriman) serta apa  yang  akan  terjadi
karena  kemarahan Rasulullah, dan karena kemarahan Rasul itu
akan  berakibat  pula  adanya  kemurkaan  Tuhan   dan   para
malaikat.  Bahkan  sudah ada orang berkata, bahwa Nabi telah
menceraikan Hafsha puteri Umar setelah  ia  membocorkan  apa
yang   dijanjikannya   akan  dirahasiakan.  Desas-desus  pun
beredar di kalangan Muslimin bahwa  Nabi  sudah  menceraikan
isteri-isterinya.  Dalam  pada itu isteri-isteri pun gelisah
pula, menyesal, yang karena  terdorong  oleh  rasa  cemburu,
sampai  begitu jauh mereka menyakiti hati suami yang tadinya
sangat lemah-lembut kepada mereka. Bagi  mereka  dia  adalah
saudara,  bapa,  anak dan segala yang ada dalam hidup dan di
balik hidup ini.
 
Sekarang Muhammad sudah menghabiskan sebagian waktunya dalam
sebuah bilik kecil. Dan selama ia dalam bilik itu pelayannya
Rabah duduk menunggu di ambang pintu. Jalan masuk ke  tempat
itu melalui tangga dari batang kurma yang kasar sekali.
 
Sudah  sebulan  lamanya  ia  dalam  bilik  itu sesuai dengan
niatnya hendak meninggalkan para isterinya  itu  samasekali.
Ketika  itu  kaum  Muslimin sedang berada dalam mesjid dalam
keadaan menekur. Mereka  berkata:  Rasulullah  s.a.w.  telah
menceraikan  isteri-isterinya.  Jelas  sekali kesedihan yang
mendalam itu membayang pada wajah mereka.  Ketika  itu  Umar
yang  berada di tengah-tengah mereka lalu berdiri. Ia hendak
pergi ke tempat Nabi dalam biliknya itu. Dipanggilnya  Rabah
si   pelayan   supaya  dimintakan  ijin  ia  hendak  menemui
Rasulullah. Ia  melihat  kepada  Rabah  dengan  mengharapkan
jawaban.  Tapi  rupanya  Rabah  tidak  berkata apa-apa, yang
berarti bahwa  Nabi  belum  mengijinkan.  Sekali  lagi  Umar

mengulangi  permintaan  itu.  Juga  sekali  lagi Rabah tidak
memberikan jawaban. Sekali  ini  Umar  berkata  lagi  dengan
suara lebih keras.

"Rabah,  mintakan  aku  ijin kepada Rasulullah s.a.w. Kukira
dia sudah menduga kedatanganku ini ada  hubungannnya  dengan
Hafsha.  Sungguh,  kalau  dia  menyuruh  aku memenggal leher
Hafsha, akan kupenggal."
 
Sekali ini Nabi memberi ijin dan Umar  pun  masuk.  Bila  ia
sudah  duduk  dan membuang pandang ke sekeliling tempat itu,
ia menangis.
 
"Apa yang membuat  engkau  menangis,  Ibn'l-Khattab?"  tanya
Muhammad.
 
Yang  membuatnya  menangis  ialah  melihat tikar tempat Nabi
berbaring itu sampai membekas di rusuknya, dan bilik  sempit
yang   tiada   berisi   apa-apa   selain  segenggam  gandum,
kacang-kacangan dan kulit yang digantungkan.
 
Setelah oleh Umar disebutkan apa yang  telah  menyebabkannya
menangis  itu  dan  Nabi  mengatakan  perlunya  meninggalkan
kehidupan duniawi, ia pun mulai kembali tenang.
 
Kemudian kata Umar:
 
"Rasulullah, apa yang menyebabkan  tuan  tersinggung  karena
para  isteri  itu.  Kalau  mereka itu tuan ceraikan, niscaya
Tuhan di sampingmu, demikian juga para malaikat - Jibril dan
Mikail  - juga saya, Abu Bakr, dan semua orang-orang beriman
berada di pihakmu."
 
Kemudian ia  terus  bicara  dengan  Nabi  sehingga  bayangan
kemarahannya  berangsur  hilang  dari  wajahnya  dan  ia pun
tertawa. Setelah Umar melihat hal  ini  lalu  diceritakannya
keadaan  Muslimin  yang  di  mesjid  serta  apa  yang mereka
katakan,  bahwa  Nabi  telah  menceraikan  isteri-isterinya.
Dengan   adanya   keterangan   dari   Nabi  bahwa  ia  tidak
menceraikan mereka, ia minta ijin akan mengumumkan  hal  ini
kepada  orang-orang  yang  sekarang  masih tinggal di mesjid
menunggu.
 
Ia pergi ke mesjid, dan dengan suara keras ia berkata kepada
mereka: "Rasulullah - s.a.w. - tidak menceraikan isterinya."
Sehubungan dengan peristiwa inilah ayat-ayat suci ini turun:
 
"Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan sesuatu  yang  oleh
Tuhan dihalalkan untukmu; hanya karena engkau ingin memenuhi
segala yang disenangi para  isterimu?  Dan  Allah  jua  Maha
Pengampun   dan   Penyayang.  Tuhan  telah  mewajibkan  kamu
melepaskan sumpah kamu itu. Dan Tuhan jua  Pelindungmu,  Dia
mengetahui dan Bijaksana."
 
Tatkala  Nabi  membisikkan  cerita  itu kepada salah seorang
isterinya,  maka  bila  ia  (isteri)  itu  mengumumkan   hal
tersebut dan Tuhan mengungkapkan hal itu kepadanya, sebagian
diterangkannya dan yang sebagian lagi tidak.  Bila  hal  itu
kemudian  disampaikan  kepada isterinya, ia bertanya: "Siapa
yang mengatakan itu kepadamu?" Ia menjawab:
 
"Yang mengatakan itu kepadaku Allah  Yang  Maha  mengetahui.
Kalau  kamu  berdua  mau  bertaubat kepada Allah maka hatimu
sudah sudi menerima. Tetapi kalau kamu berdua bantu-membantu
menyusahkannya,  maka  Tuhanlah  Pelindungnya; demikian juga
Jibril dan setiap orang baik-baik  di  kalangan  orang-orang
beriman; di samping itu para malaikat juga jadi penolongnya.
Jika ia menceraikan kamu, boleh  jadi  Tuhan  memberi  ganti
kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu
- yang berserah diri, yang beriman, berbakti dan  bertaubat,
yang  rendah  hati  beribadat dan berpuasa, janda-janda atau
perawan." (Qur'an, 66: 1-5)
 
Dengan demikian peristiwa itu  selesai.  Isteri-isteri  Nabi
kembali  sadar,  dan  dia  pun kembali kepada mereka setelah
mereka benar-benar bertaubat, menjadi  manusia  yang  rendah
hati   beribadat   dan   beriman.  Kehidupan  rumahtangganya
sekarang kembali tenang,  yang  memang  demikian  diperlukan
oleh  setiap  manusia  yang  sedang melaksanakan suatu beban
besar yang ditugaskan kepadanya.
 
Apa yang sudah saya ceritakan tentang  Muhammad  yang  sudah
meninggalkan  isteri-isterinya  dan  menyuruh  mereka supaya
memilih,  peristiwa-peristiwa  yang  terjadi   sebelum   dan
sesudah  ditinggalkan  serta  beberapa kejadian yang sebelum
itu dan akibatnya, menurut hemat  saya  itulah  cerita  yang
sebenarnya  mengenai sejarah kejadian ini. Cerita ini saling
menguatkan  satu  sama  lain,   seperti   yang   ada   dalam
kitab-kitab  tafsir  dan  kitab-kitab  hadis.  Demikian juga
adanya  keterangan-keterangan  di  sana-sini  mengenai  diri
Muhammad  dan  isteri-isterinya dalam pelbagai buku biografi
itu. Sungguhpun begitu tiada sebuah juga  buku-buku  sejarah
itu   yang   membawa   peristiwa   ini   atau   mengemukakan
peristiwa-peristiwa sebelumnya  serta  kesimpulan-kesimpulan
yang  diambilnya seperti yang saya kemukakan dalam buku ini.
Dalam menghadapi kejadian seperti ini oleh buku-buku sejarah
Nabi  itu  kebanyakan  dilewati  begitu  saja tanpa ditelaah
lebih lanjut; seolah-olah ini dilihatnya sebagai barang yang
kesat  dipegang dan takut sekali mendekatinya. Ada lagi yang
menelaah soal madu dan maghafir,  tanpa  sepatah  kata  juga
menyebut-nyebut soal Hafsha dan Maria.
 
Sebaliknya  oleh  pihak  Orientalis - soal Hafsha dan Maria,
soal Hafsha yang membuka rahasia kepada Aisyah  -  hal  yang
dijanjikan  kepada  Nabi  akan  dirahasiakan  - dijadikannya
pangkal sebab semua kejadian  itu.  Dengan  demikian  mereka
berusaha  hendak  menambah  hal-hal  baru  untuk  meyakinkan
pembacanya tentang  diri  Nabi,  bahwa  dia  laki-laki  yang
senang  kepada wanita dengan cara yang tidak bersih. Menurut
hemat saya, penulis-penulis sejarah dari  kalangan  Muslimin
sendiri     tidak     punya    alasan    akan    mengabaikan
kejadian-kejadian ini  dengan  segala  artinya  yang  sangat
dalam  itu  seperti  sudah  sebagian kita kemukakan soalnya.
Sedang  pihak  Orientalis,  yang   dalam   hal   ini   sudah
terpengaruh   oleh   nafsu   ke-kristenannya,  mereka  sudah
menyalahi cara-cara penelitian sejarah. Terhadap  siapa  pun
lepas  dari  orang  besar  seperti Muhammad - kritik sejarah
yang murni tidak dapat menerima  bahwa  pengungkapan  Hafsha
kepada   Aisyah  karena  ia  telah  menemui  suaminya  dalam
rumahnya dengan hamba sahayanya yang  sudah  menjadi  haknya
itu  dan  dengan  demikian ia halal baginya - akan dijadikan
suatu sebab kenapa Muhammad sampai meninggalkan semua isteri
selama  sebulan  penuh,  serta  mengancam  mereka semua akan
diceraikan. Juga  kritik  sejarah  yang  murni  tidak  dapat
menerima  bahwa  cerita  madu itu telah juga dijadikan sebab
adanya perpisahan dan ancaman itu.
 
Apabila orang itu orang besar seperti Muhammad, lemah-lembut
seperti  Muhammad,  berlapang  dada,  tahan menderita, orang
berwatak dengan segala sifat-sifat yang ada  pada  Muhammad,
yang  sudah  sepakat  diakui pula oleh semua penulis sejarah
hidupnya, maka menggambarkan salah satu dari kedua peristiwa
itu  an  sich sebagai sebab ia memisahkan diri dan mengancam
hendak   menceraikan   isteri,   adalah   suatu   hal   yang
kebalikannya,  jauh  daripada  suatu  cara  kritik  sejarah.
Sebaliknya,  kritik  yang  akan  dapat  diterima  orang  dan
sejalan   pula   dengan   logika   sejarah   ialah   apabila
peristiwa-peristiwa itu  mengikuti  jejak  yang  sebenarnya,
yang  akan  membawa  kepada  kesimpulankesimpulan yang sudah
pasti tidak bisa lain akan ke sana. Maka dengan demikian  ia
akan  menjadi  masalah  biasa,  masuk akal dan secara ilmiah
dapat diterima. Dan apa yang sudah kita lakukan ini  menurut
hemat  saya  adalah  langkah yang wajar dalam peristiwa itu,
yakni yang  sesuai  dengan  kebijaksanaan  Muhammad,  dengan
segala  kebesarannya, keteguhan hati serta pandangannya yang
jauh.
 
Ada beberapa Orientalis yang juga bicara  tentang  ayat-ayat
yang  turun pada permulaan Surah At-Tahrim (66) seperti yang
sudah saya kutip itu. Disebutkannya bahwa semua  kitab-kitab
suci  di  Timur  tidak  ada  yang  menyebut-nyebut peristiwa
rumahtangga dengan cara semacam itu.
 
Rasanya tidak perlu kita mengatakan lagi apa  yang  tersebut
dalam  kitab-kitab  suci  itu  semua  -  termasuk  Qur'an di
antaranya tentang masyarakat Lut dengan segala cacat mereka,
di  samping  bagaimana mereka mendebat dua malaikat tamu Lut
itu serta tentang apa yang disebutkan dalam kitab-kitab suci
itu  tentang  isteri  Lut, dan bahwa dia termasuk orang yang
tertinggal di  belakang.  Bahkan  Taurat  (Perjanjian  Lama)
membawa  cerita  tentang  Lut dan dua anaknya yang perempuan
ketika  mereka  memberikan  minuman  anggur  kepada  bapanya
sehingga  dua  malam  berturut-turut ia mabuk, dengan maksud
supaya dapat berseketiduran dengan  anak  itu  masing-masing
dan   dengan   demikian  supaya  beroleh  keturunan,  karena
dikuatirkan keluarga Lut kelak  akan  punah,  setelah  Tuhan
menurunkan  bencana  kepada  mereka itu. Sebabnya maka semua
kitab suci membuat kisah-kisah para  rasul  serta  apa  yang
mereka  lakukan  dan  segala apa yang terjadi, ialah sebagai
suri teladan bagi umat manusia.
 
Banyak  sekali  kisah-kisah  demikian  dalam  Qur'an.  Tuhan
menyampaikan  kisah-kisah  yang  baik  sekali  kepada Rasul.
Sedang  Qur'an  bukan  hanya  diturunkan  kepada   Muhammad,
melainkan  kepada  seluruh  umat  manusia.  Muhammad  adalah
seorang nabi dan seorang rasul, sebelum dia pun telah banyak
rasul-rasul lain yang dibawakan kisahnya dalam Qur'an. Kalau
Qur'an  menyampaikan  berita-berita  tentang  Muhammad   dan
menyangkut  pula  kehidupan  pribadinya  yang  perlu menjadi
contoh buat kaum Muslimin dan teladan yang baik pula,  serta
memberi    isyarat   tentang   arti   dalam   tindakan   dan
kebijaksanaannya  itu,  maka  kisah-kisah  para  nabi   yang
terdapat  dalam  Qur'an  itu samasekali tidak berarti keluar
daripada apa yang  terdapat  dalam  kitab-kitab  suci  lain.
Apabila kita mengatakan, bahwa masalah Muhammad meninggalkan
isterinya itu bukan sebab yang berdiri  sendiri  di  samping
sebab-sebab  lain  yang  telah  menimbulkan cerita itu, juga
bukan  karena  Hafsha  bercerita  kepada  Aisyah  apa   yang
dilakukan  Muhammad  dengan  Maria  -  suatu hal yang memang
patut dilakukan oleh  setiap  laki-laki  terhadap  isterinya
atau  siapa saja yang menjadi miliknya yang sah - orang akan
melihat,  bahwa  tinjauan  yang  dikemukakan  oleh  beberapa
Orientalis  itu,  dari  segi kritik sejarah samasekali tidak
dapat dibenarkan, juga tidak pula sejalan  dengan  apa  yang
ada dalam kitab-kitab suci sehubungan dengan kisah-kisah dan
kehidupan para nabi itu.
 
Catatan kaki:
 
1.Ka'b ibn Zuhair seorang penyair kenamaan hidup dalam  masa
paganisma  dan  Islam.  Ayahnya,  Zuhair b. Abi Sulma, salah
seorang penyair Mu'allaqat (lihat halaman  63  jilid  satu).
Sajak  ini  panjang,  dan  terkenal  sekali,  dimulai dengan
melukiskan kekasihnya, Su'ad. Kemudian dilukiskannya  betapa
kagumnya  ia kepada Rasul, yang baru dijumpainya itu, karena
telah   memaafkannya.   Padahal    sebelum    itu,    dengan
sajak-sajaknya  ia  mengejek  dan memaki-makinya. Di samping
itu Rasul bahkan membuka mantelnya (burda)  dan  dibenkannya
kepada Ka'b. Serangkum puisi yang indah ini sebenarnya hidup
sampai  sekarang  dengan  beberapa  adaptasi,  antara   lain
melalui  Bushiri  (lihat  halaman  xxiii)  dan penyair Ahmad
Syauqi (1868-1932), penyair Mesir kenamaan,  dan  yang  juga
dijadikan   tema   dalam   beberapa  komposisi  musik  Mesir
kontemporer (A).
2.Diberi julukan demikian, konon karena dia terkenal sebagai
penunggang  kuda  yang  mahir.  Dia  juga  penyair,  orator,
pemberani dan pemurah (A).
3.Demikian menurut Muslim,  tapi  berlainan  dengan  Tabari,
yang   memaparkan   isteri-isteri  Umar  yang  bernama  Bint
Kharija, dan dalam (Ruh'l-Ma'ani: 'kalau tuan  melihat  Bint
Zaid É' dst. 
4. Maghafir  jamak mighfar, ialah getah yang dihasilkan dari
pohon 'urfut, rasanya manis dan baunya tidak  sedap.  'Urfut
sebangsa  pohon  paku  yang  mengeluarkan getah berbau tidak
sedap, yang bila diisap oleh lebah  menghasilkan  madu  yang
sama  baunya.  (LA)  TerJemahannya  yang  persis  dalam kata
Indonesia belum tersua. Mungkin  pohon  ini  termasuk  jenis
paku atau akasia (A). 
5. qaraz  kacang-kacangan  dari  sejenis  pohon paku (acacia
nilotica?) (A).
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar