Selasa, 20 Maret 2012

# Sejarah Hidup Muhammad Saw (12) #


Sejarah Hidup Muhammad Saw

(12)

BAGIAN KEDUABELAS: SATUAN-SATUAN1 DAN
BENTROKAN-BENTROKAN PERTAMA 
 
Politik Muslimin di Medinah dan satuan-satuan yang
pertama - Nabi berangkat sendiri - pendapat ahli-ahli
sejarah tentang ekspedisi pertama - Pendapat kami
tentang satuan-satuan (saraya) ini - Menyudutkan
perdagangan Quraisy - Anshar dan perang agresi - Watak
penduduk Medinah - Menakut-nakuti Yahudi - Islam dan
perang - Intrik-intrik Yahudi - Orang-orang suci dalam
Islam dan Kristen - Islam agama kodrat.
 
SESUDAH hijrah  beberapa  bulan  keadaan  kaum  Muslimin  yang
tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak
Muhajirin ke Mekah terasa  makin  bertambah  adanya.  Terpikir
oleh  mereka  siapa-siapa  dan apa saja yang mereka tinggalkan
itu, serta betapa pula pihak  Quraisy  menyiksa  mereka  dulu?
Tetapi  sungguhpun  begitu,  gerangan  apa  yang  harus mereka
lakukan?  Banyak  penulis-penulis  sejarah  yang  berpendapat,
bahwa  mereka  - dan terutama Muhammad - telah memikirkan akan
mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta  mulai  membuka
permusuhan   dan  akan  mengadakan  perang.  Bahkan  ada  yang
berpendapat,  bahwa  sejak  mereka  sampai  di  Medinah   niat
mengadakan  perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja,
yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah
karena  mereka  masih  sibuk  menyiapkan tempat-tempat tinggal
serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian  mereka

mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan
Ikrar Aqaba kedua yang justru untuk memerangi siapa saja.  Dan
sudah  wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan
Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah  membuat
pihak  Quraisy  segera menyadari akibat perjanjian 'Aqaba itu.
Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan  Aus  dan  Khazraj
tentang dia.
 
Mereka  memperkuat  pendapat ini dengan apa yang telah terjadi
delapan bulan sesudah Rasul  dan  para  Muhajirin  tinggal  di
Medinah,  yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah b.
Abd'l-Muttalib ke tepi  laut  (Laut  Merah)  di  sekitar  'Ish
dengan  membawa  30  orang  pasukan yang terdiri dari kalangan
Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di tempat ini  ia  bertemu
dengan  Abu  Jahl  b.  Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri
dari  penduduk  Mekah;  dan  bahwa  Hamzah  sudah  siap   akan
memerangi  Quraisy  tapi  lalu dilerai oleh Majdi b. 'Amr yang
bertindak sebagai pendamai kedua  belah  pihak.  Masing-masing
kelompok  itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran. Juga
ketika Muhammad mengirimkan  'Ubaida  bin'l-Harith  dengan  60
orang pasukan terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka
pergi menuju ke suatu tempat air di Hijaz, yang  disebut  Wadi
Rabigh.  Disini  mereka  bertemu  dengan kelompok Quraisy yang
terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka
bubar   juga   tanpa   suatu  pertempuran;  kecuali  apa  yang
diceritakan orang, bahwa Said b. Abi Waqqash ketika itu  telah
melepaskan  anak  panahnya, "dan itu adalah anak panah pertama
dilepaskan dalam  Islam."  Demikianlah  ketika  Said  bin  Abi
Waqqash  dikirim  ke  daerah  Hijaz  dengan  membawa  8  orang
Muhajirin menurut satu sumber atau  20  orang  menurut  sumber
yang  lain.  Kemudian  mereka  kembali  karena  tidak  bertemu
siapa-siapa.
 
Alasan mereka ini  mereka  perkuat  lagi  dengan  menyebutkan,
bahwa  Nabi  telah  berangkat  sendiri  sesudah duabelas bulan
tinggal di Medinah, dengan menyerahkan  pimpinan  kota  kepada
Sa'd  b.  'Ubada. Ia pergi ke Abwa',. Sesampainya di Waddan ia
bermaksud mencari Quraisy  dan  Banu  Dzamra;  tetapi  Quraisy
tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak
Banu  Dzamra;  bahwa  sebulan  sesudah  itu  ia   pergi   lagi
mengepalai  200 orang dari Muhajirin dan Anshar - menuju Buwat
dengan sasaran sebuah kafilah yang  dipimpin  o]eh  Umayya  b.
Khalaf  yang  terdiri  dari  2.500  ekor unta dikawal oleh 100
orang pasukan perang. Tapi  juga  sudah  tidak  bertemu  lagi,
sebab  mereka sudah mengambil haluan lain, bukan jalan kafilah
yang sudah diratakan; dan bahwa dua atau tiga bulan sesudah ia
kembali  dari  Buwat  di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota
Medinah  diserahkan  kepada  Abu  Salama  b.  Abd'l-Asad,   ia
berangkat  lagi  memimpin  kaum Muslimin yang terdiri dari dua
ratus orang lebih sampai di 'Usyaira di pedalaman Yanbu'.  Ia
tinggal  disana  selama  bulan Jumadil Awal dan beberapa malam
dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623  M.)
sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan
lewat.  Tetapi  ternyata  mereka  sudah   tidak   ada.   Dalam
perjalanan   ini   ia  berhasil  dapat  mengadakan  perjanjian
perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu
Dzamra;  dan  bahwa  begitu ia kembali dan akan tinggal selama
sepuluh  hari  lagi  di  Medinah,  tiba-tiba  Kurz  b.   Jabir
al-Fihri,  orang  yang punya hubungan dengan orang-orang Mekah
dan Quraisy, datang ke  Medinah  merampok  sejumlah  unta  dan
kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan
kepada Zaid b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai  ia
di  suatu  lembah  yang disebut Safawan di daerah Badr. Tetapi
Kurz sudah menghilang.
 
Inilah yang disebut  oleh  penulis-penulis  sejarah  Nabi  itu
dengan sebutan Perang Badr Pertama.
 
Bukankah  semua  peristiwa  ini  sudah  dapat dijadikan bukti,
bahwa kaum Muhajirin - dan terutama Muhammad  -  memang  sudah
memikirkan  akan  membalas dendam terhadap Quraisy dan memulai
mengadakan permusuhan dan melakukan perang? Setidak-tidaknya -
menurut pikiran ahli-ahli sejarah itu - ini membuktikan, bahwa
dengan  mengirimkan  satuan-satuan   dan   ekspedisi-ekspedisi
pendahuluan itu tujuan mereka adalah dua:
 
Pertama,   mengadakan   pencegatan   terhadap  kafilah-kafilah
Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari
sana  dalam  perjalanan  musim  panas,  dengan sedapat mungkin
merenggut harta yang dibawa pergi atau barang-barang  dagangan
yang akan dibawa pulang oleh kafilah-kafilah itu.
 
Kedua,  mengambil  jalur  kafilah Qusaisy dalam perjalannya ke
Syam  itu  dengan   jalan   mengadakan   perjanjian-perjanjian
perdamaian  serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang
jalan Medinah-Pantai Laut  Merah.  Hal  ini  akan  mempermudah
pihak  Muhajirin  melakukan  serangan terhadap kafilah-kafilah
Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan dapat  melindungi
mereka  dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga
kabilah-kabilah tersebut, yaitu suatu perlindungan  yang  akan
mencegah  kaum  Muslimin - selaku pihak yang berkuasa dan kuat
-bertindak terhadap orang-orang dan  harta-benda  mereka  itu.
Adanya   satuan-satuan   yang   oleh   Nabi  a.s.  pimpinannya
diserahkan masing-masing kepada Hamzah,  'Ubaida  bin'l-Harith
dan Sa'd b. Abi Waqqash, demikian juga persekutuan-persekutuan
yang telah diadakan  dengan  Banu  Dzamra,  Banu  Mudlij,  dan
lain-lain,  memperkuat  maksud  tujuan kedua tadi, begitu juga
pengambilan jalan penduduk  Mekah  ke  Syam  membuktikan  pula
sebagian tujuan kaum Muslimin itu.
 
Bahwa  dengan  adanya satuan-satuan (sariya) yang dimulai enam
bulan sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya diikuti
oleh  pihak  Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy
dan menyerbu kafilah-kafilah mereka, ini  akan  membuat  orang
jadi  sangsi  dan  harus  berpikir  lagi. Pasukan Hamzah tidak
lebih dari 30 orang  dari  Muhajirin,  pasukan  'Ubaida  tidak
lebih  dari  60 orang, demikian juga pasukan Sa'd yang menurut
suatu sumber 8 orang, dan menurut sumber yang lain  20  orang.
Sedang  petugas-petugas  yang mengawal kafilah-kafilah Quraisy
biasanya berlipat ganda jumlahnya. Sejak Muhammad  tinggal  di
Medinah    dan    mulai    mengadakan    persekutuan    dengan
kabilah-kabilah  setempat  dan   dengan   daerah-daerah   yang
berdekatan,  pihak Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan
perlengkapannya. Baik Hamzah, 'Ubaida ataupun Sa'd,  betapapun
keberanian  mereka itu sebagai kepala satuan-satuan Muhajirin,
namun persiapan yang  ada  pada  mereka  tidak  cukup  memberi
semangat  untuk  melakukan  perang.  Bagi  mereka  ini  semua,
kiranya  cukup  dengan  menakut-nakuti  Quraisy  saja,   tanpa
mengadakan  perang;  kecuali  apa yang dilakukan orang tentang
anak panah, yang pernah dilepaskan Sa'd itu.
 
Disamping  itu  kafilah-kafilah  Quraisy  ini   dikawal   oleh
penduduk  Mekah  yang  mempunyai  hubungan darah dan pertalian
kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah
bagi  mereka  itu  mau  saling  bunuh, atau satu sama lain mau
melakukan balas dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah
bersama-sama  ke  dalam  suatu  perang saudara, suatu hal yang
selama tiga belas tahun terus-menerus,  dari  mulai  kerasulan
Muhammad  sampai  pada  waktu  hijrahnya,  kaum  Muslimin  dan
orang-orang  pagan  di  Mekah  sudah   mampu   menghindarinya.
Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar 'Aqaba dulu
itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan  Khazraj
sama-sama  berjanji  akan  melindungi  Muhammad.  Mereka tidak
pernah memberikan janji kepadanya atau  kepada  siapapun  dari
sahabat-sahabatnya   bahwa   mereka  akan  melakukan  tindakan
permusuhan (agresi).
 
Sungguhpun  sudah  begitu,  memang  tidak  mudah  orang   akan
menyerah  begitu  saja  kepada  ahli-ahli  sejarah, yang dalam
penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad
kemudian  sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan
dan perjalanan-perualanan yang mula-mula itu tujuannya  memang
sengaja  hendak  melakukan  perang. Oleh karena itu, dalam hal
ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat  diterima
akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode
mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula  dengan
kebijaksanaan   Rasul  yang  pada  masa  itu  didasarkan  pada
prinsip-prinsip  persetujuan  dan  saling  pengertian   dengan
pelbagai  macam  kabilah;  di  satu pihak guna menjamin adanya
kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna  menjamin
adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.
 
Menurut  hemat  saya  adanya  satuan-satuan yang mula-mula ini
tidak lain maksudnya  supaya  pihak  Quraisy  mengerti,  bahwa
kepentingan  mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling
pengertian dengan  pihak  Muslimin  yang  juga  dari  keluarga
mereka,   yang   telah  terpaksa  keluar  dari  Mekah,  karena
mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa  kedua
belah  pihak  harus  menghindari adanya bencana permusuhan dan
kebencian serta menjamin bagi  pihak  Islam  adanya  kebebasan
menjalankan   dakwah   agama,  dan  bagi  pihak  Mekah  adanya
keselamatan   dan   keamanan    perdagangan    mereka    dalam
perjalanannya ke Syam.
 
Sebenarnya  perdagangan  yang  dikirimkan dari Mekah dan Ta'if
dan yang didatangkan ke  Mekah  dari  bagian  Selatan,  adalah
perdagangan   yang  cukup  besar.  Sebuah  kafilah  adakalanya
berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan  seharga  lebih  dan
50.000  dinar.  Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap
tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira  160.000
pounsterling.  Apabila  bagi  pihak  Quraisy sudah pasti bahwa
bahaya yang mengancam  perdagangan  ini  datangnya  dari  anak
negeri  sendiri  yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini
telah membuatnya berpikir-pikir dalam  hal  mengadakan  saling
pengertian  dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang
diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan
melakukan  dakwah  agama  serta  kebebasan  memasuki Mekah dan
melakukan tawaf di Ka'bah. Tetapi saling  pengertian  demikian
ini  takkan  ada  kalau  Quraisy  tidak  dapat memperhitungkan
kekuatan pihak Muhajirin dari anak negerinya sendiri itu, yang
kini    akan    mencegat   dan   menutup   jalan   lalu-lintas
perdagangannya.
 
Inilah yang menurut penafsiran saya  yang  menyebabkan  Hamzah
dan  rombongannya  dari  kalangan  Muhajirin  kembali, setelah
berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu
keduanya  dilerai  oleh  Majdi  b. 'Amr. Selanjutnya seringnya
satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah
dengan  suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa
mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian.  Juga
ini  pula  yang  mengartikan  betapa  besarnya  hasrat  Nabi -
setelah  melihat  kecongkakan  Quraisy  dan   sikapnya   dalam
menghadapi  kekuatan  Muhajirin  - ingin mengadakan perdamaian
dengan  kabilah-kabilah  yang  tinggal   di   sepanjang   rute
perdagangan  itu  serta  mengadakan  persekutuan dengan mereka
yang beritanya tentu akan sampai juga kepada  Quraisy.  Dengan
itu  kalau-kalau  mereka  mau  insaf  dan  kembali  memikirkan
perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.
 
Pendapat  ini  kuat  sekali  landasannya,  yakni  bahwa  dalam
perjalanan  Nabi  a.s. ke Buwat dan 'Usyaira itu tidak sedikit
kalangan  Anshar  dari  penduduk  Medinah  yang  menyertainya.
Padahal  Anshar  itu  hanya  berikrar untuk mempertahankannya,
bukan untuk melakukan  serangan  bersama-sama.  Hal  ini  akan
jelas  terlihat  dalam  Perang  Besar  Badr,  tatkala Muhammad
kemudian  kembali  tanpa  melakukan  pertempuran,  yang   juga
disetujui  oleh  orang-orang  Medinah.  Apabila  pihak  Anshar
memang tidak melihat adanya suatu pelanggaran  terhadap  ikrar
mereka  jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan pihak lain,
ini tidak berarti  bahwa  mereka  juga  harus  ikut  memerangi
penduduk  Mekah.  Bagi  ke  duanya  alasan berperang yang akan
dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka  satu
sama  lain,  tidak  ada.  Meskipun dalam perjanjian-perjanjian
perdamaian yang diadakan Muhammad  guna  memperkuat  kedudukan
Medinah  di  samping  melemahkan  tujuan  dagang  Quraisy  itu
merupakan suatu  proteksi,  namun  hal  ini  samasekali  tidak
berarti sama dengan suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha
lain kearah itu.
 
Jadi   pendapat   yang    mengatakan    bahwa    keberangkatan
satuan-satuan  Hamzah,  'Ubaida  bin'l-Harith dan Sa'd bin Abi
Waqqash  hanya  untuk  memerangi  Quraisy,  dan   menamakannya
sebagai  suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga
adanya pendapat bahwa kepergian Muhammad ke Abwa',  Buwat  dan
'Usyaira  tidak  lain  dan  suatu  penyerbuan,  adalah  sangat
dibuat-buat,  yang   pada   dasarnya   sudah   tertolak   oleh
keberatan-keberatan  yang kami kemukakan tadi. Penulis-penulis
riwayat hidup Muhammad  yang  telah  mengambil  alih  pendapat
tersebut  tidak  lain memperlihatkan bahwa mereka menulis peri
hidup Muhammad itu baru pada akhir-akhir  abad  kedua  Hijrah,
dan    bahwa    mereka    sangat   terpengaruh   oleh   adanya
peperangan-peperangan yang  terjadi  kemudian  sesudah  Perang
Besar  Badr.  Segala  bentrokan-bentrokan yang terjadi sebelum
itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka  anggap
sebagai     peperangan,     yang     dikaitkan    pula    pada
peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa Nabi.
 
Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis  yang  memang  sudah
mengetahui  adanya  sanggahan  demikian  ini,  meskipun  tidak
mereka  sebutkan  dalam  buku-buku  mereka  itu.  Adapun  yang
membuat  kita  menduga  mereka  sudah  mengetahui  hal  ini  -
disamping usaha  mereka  menyesuaikan  diri  dengan  ahli-ahli
sejarah  dari  kalangan  Islam  mengenai  tujuan Muhajirin dan
terutama Muhammad dalam menghadapi pihak Mekah sejak mula-mula
mereka   tinggal  di  Medinah  -  ialah  karena  mereka  sudah
menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini  tujuannya
tidak  lain  ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan
bahwa  kebiasaan  merampok  sudah  menjadi  watak  orang-orang
pedalaman  dan  bahwa  penduduk  Medinah  hanya  tertarik pada
barang rampasan  dalam  mengikuti  Muhammad  dengan  melanggar
janji mereka di 'Aqaba.
 
Ini  adalah  pendapat  yang terbalik, sebab penduduk Medinah -
seperti juga penduduk Mekah - bukanlah  orang-orang  pedalaman
yang hidupnya dari menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai
dengan watak orang yang hidup dari hasil pertanian,  merekapun
lebih   suka  tinggal  menetap  dan  samasekali  mereka  tidak
tertarik  melakukan  perang  kecuali  jika  ada  alasan   yang
luarbiasa
 
Sebaliknya   kaum   Muhajirin,   mereka   berhak   membebaskan
harta-benda mereka  dari  tangan  Quraisy.  Tetapi  sungguhpun
begitu  mereka  bukan pihak yang mendahului sebelum terjadinya
peristiwa Badr. Juga  bukan  itu  pula  yang  telah  mendorong
dikirimnya    satuan-satuan   dan   ekspedisi-ekspedisi   yang
mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang  ini  memang  belum
diundangkan     dalam     Islam,     sedang    Muhammad    dan
sahabat-sahabatnya  bertindak  bukanlah  dengan   tujuan   ala
pedalaman   (badui)   seperti  diduga  oleh  kaum  Orientalis,
melainkan  apa  yang  sudah  berlaku  dan  dilaksanakan   oleh
Muhammad  dan sahabat-sahabatnya ialah jangan sampai ada orang
yang mau diperdayakan dari agamanya dan supaya  ada  kebebasan
berdakwah   sebagaimana   mestinya.   Nanti   penjelasan   dan
pembuktiannya akan kita lihat juga. Di situ akan tampak  lebih
jelas   di   depan   kita,   bahwa   tujuan   Muhammad  dengan
perjanjian-perjanjian  itu  ialah  guna  memperkuat   Medinah,
supaya  jangan  ada  jalan  bagi  pihak Quraisy dalam mengejar
kehendaknya itu, atau  mencoba  melakukan  kekerasan  terhadap
kaum  Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan dulu ketika
hendak mengembalikan orang-orang Islam  dari  Abisinia.  Dalam
pada  itu  ia pun tidak keberatan mengadakan perjanjian dengan
pihak Quraisy asalkan kebebasan berdakwah  untuk  agama  Allah
tetap  dijamin,  dan jangan ada lagi kebencian. Agama hanyalah
bagi Allah.
 
Dibalik satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi  bersenjata  ini
barangkali  masih ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad.
Barangkali maksudnya akan  menakut-nakuti  orang-orang  Yahudi
yang   tinggal   di   Medinah   dan   sekitarnya.  Kita  sudah
menyaksikan, bahwa ketika Muhammad  baru  sampai  di  Medinah,
pihak   Yahudi  berhasrat  hendak  merangkulnya.  Akan  tetapi
setelah   mereka   mengadakan   perjanjian   perdamaian    dan
persetujuan  akan  kebebasan  mengadakan  dakwah  agama  serta
melaksanakan  upacara  dan  kewajiban  agama,  begitu   mereka
melihat  keadaan  Muhammad  yang  stabil  dan panji Islam yang
megah dan menjulang tinggi,  mulai  mereka  membalik  memusuhi
Nabi  dan  berusaha  hendak  menjerumuskannya.  Kalaupun dalam
melakukan permusuhan ini mereka tidak  berterus-terang  karena
dikuatirkan  kepentingan  perdagangan  mereka  akan jadi kacau
bila sampai terjadi perang saudara  antara  penduduk  Medinah,
atau  karena  masih  memelihara  perjanjian  perdamaian dengan
mereka itu, maka mereka telah menempuh segala macam cara  guna
menyebarkan   fitnah   di  kalangan  orang-orang  Islam  serta
membangkitkan   kebencian   antara   Muhajirin   dan   Anshar,
membangunkan  kembali  kedengkian  lama antara Aus dan Khazraj
dengan menyebut-nyebut sejarah Bu'ath dan cerita yang terdapat
dalam persajakan.
 
Kaum  Muslimin  sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka
serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai  mereka
dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih
berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari  mesjid  secara
paksa.  Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka.
Dan akhirnya Nabi a.s. menolak  mereka  sesudah  diusahakannya
meyakinkan  mereka  dengan  alasan dan bukti. Sudah tentu pula
apabila   orang-orang   Yahudi   Medinah   dibiarkan   berbuat
sekehendak  hati,  mereka  akan  terus  menjadi-jadi dan terus
berusaha mengobarkan  fitnah.  Dari  segi  istilah  kecermatan
diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta kewaspadaan
terhadap kelicikan mereka itu saja,  tapi  harus  pula  supaya
mereka  berasa  bahwa  Muslimin  juga punya kekuatan yang akan
dapat   menumpas   setiap   fitnah    yang    ada,    membasmi
jaringan-jaringan    fitnah    serta    mengikis   sampai   ke
akar-akarnya. Cara  yang  paling  baik  untuk  membuat  mereka
merasakan hal ini ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta
menghadapkannya  pada   benterokan-benterokan   senjata   pada
beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan Muslimin itu jadi
hancur, yang oleh pihak Yahudi  memang  diinginkan,  dan  juga
diinginkan oleh pihak Quraisy.

Tipu-daya  inilah  yang  sudah  terjadi.  Dan  terjadinya  ini
terhadap orang semacam Hamzah, orang yang cepat  marah.  Untuk
menghentikan  pertempuran tidak cukup hanya dengan perantaraan
seorang pemisah yang mengajak berdamai padahal  belum  terjadi
suatu  kontak senjata. Kemudian berhentinya pertempuran itupun
dengan terhormat, dengan  suatu  siasat  yang  sudah  teratur,
dengan  taktik  yang  jelas  bermaksud  mencapai tujuan-tujuan
tertentu, yakni seperti yang sudah kita sebutkan -  dari  satu
segi  guna  menakut-nakuti  pihak  Yahudi,  dan dari segi lain
suatu usaha ke arah persetujuan  dengan  pihak  Quraisy  untuk
memberikan kebebasan yang penuh dalam menjalankan dakwah agama
serta upacara-upacara keagamaan, yang sebenarnya memang  tidak
perlu sampai terjadi perang.
 
Akan  tetapi  ini  tidak  berarti,  bahwa Islam menolak perang
dalam hal membela diri dan membela  keyakinan  terhadap  siapa
saja  yang  hendak  memperdayanya.  Sekali-kali  tidak. Bahkan
Islam mewajibkan pembelaan demikian ini. Tetapi artinya, Islam
masa  itu,  juga  sekarang  dan  demikian  pula seterusnya, ia
menolak perang permusuhan.
 
"Dan janganlah kamu melakukan pelanggaran (agresi) sebab Allah
tidak  menyukai  orang-orang yang melakukan pelanggaran." (Qur
an, 2: 190)
 
Apabila kepada Muhajirin pada waktu  itu  dibenarkan  menuntut
harta-benda  mereka  yang  telah  ditahan  oleh Quraisy ketika
mereka hijrah,  maka  membela  orang-orang  beriman  yang  mau
diperdaya dari agama mereka lebih-lebih lagi dibenarkan. Untuk
maksud inilah pertama sekali hukum perang itu diundangkan.
 
Bukti terhadap hal ini ialah adanya ayat-ayat yang  diturunkan
sehubungan dengan satuan Abdullah ibn Jahsy. Dalam bulan Rajab
tahun itu ia dikirimkan oleh Rasulullah bersama-sama  beberapa
orang  Muhajirin, dan sepucuk surat diberikan kepadanya dengan
perintah  untuk  tidak  dibuka  sebelum  mencapai   dua   hari
perjalanan. Ia menjalankan perintah itu. Kawan-kawannyapun tak
ada yang dipaksanya. Dua hari kemudian Abdullah membuka  surat
itu,  yang  berbunyi: "Kalau sudah kaubaca surat ini, teruskan
perjalananmu sampai ke Nakhla (antara  Mekah  dan  Ta'if)  dan
awasi keadaan mereka. Kemudian beritahukan kepada kami."
 
Disampaikannya  hal  ini  kepada  kawan-kawannya dan bahwa dia
tidak  memaksa  siapapun.  Kemudian  mereka  semua   berangkat
meneruskan  perjalanan,  kecuali  Said  b.  Abi  Waqqash (Banu
Zuhra) dan 'Utba b.  Ghazwan  yang  ketika  itu  sedang  pergi
mencari untanya yang sesat tapi oleh pihak Quraisy mereka lalu
ditawan.
 
Sekarang  Abdullah  dan  rombongannya  meneruskan   perjalanan
sampai  ke  Nakhla.  Di  tempat  inilah  mereka bertemu dengan
kafilah Quraisy yang dipimpin oleh 'Amr bin'l-Hadzrami  dengan
membawa   barang-barang   dagangan.  Waktu  itu  akhir  Rajab.
Teringat oleh Abdullah b. Jahsy dan rombongannya dari kalangan
Muhajirin  akan  perbuatan  Quraisy  dahulu  serta harta-benda
mereka yang telah  dirampas.  Mereka  berunding.  "Kalau  kita
biarkan  mereka  malam  ini mereka akan sampai di Mekah dengan
bersenang-senang. Tapi kalau mereka kita gempur, berarti  kita
menyerang dalam bulan suci,2" kata mereka.
 
Mereka   maju-mundur,  masih  takut-takut  akan  maju.  Tetapi
kemudian mereka memberanikan diri dan sepakat akan  bertempur,
siapa  saja  yang  mampu  dan mengambil apa saja yang ada pada
mereka.  Salah  seorang  anggota  rombongan   itu   melepaskan
panahnya dan mengenai 'Amr bin'l-Hadzrami yang kemudian tewas.
Kaum Muslimin menawan dua orang dari Quraisy.
 
Sesampainya di Medinah Abdullah b. Jahsy membawa  kafilah  dan
kedua  orang  tawanannya  itu  kepada Rasul, dan kelima barang
rampasan itu diserahkan mereka kepada Muhammad. Tetapi setelah
melihat  mereka  ini ia berkata, "Aku tidak memerintahkan kamu
berperang dalam bulan suci."
 
Kafilah dan kedua tawanan itu ditolaknya. Samasekali ia  tidak
mau  menerima.  Abdullah  b.  Jahsy  dan teman-temannya merasa
kebingungan sekali. Teman-teman sejawat mereka  dari  kalangan
Musliminpun sangat menyalahkan tindakan mereka itu.
 
Kesempatan    ini    oleh   Quraisy   sekarang   dipergunakan.
Disebarkannya provokasi kesegenap penjuru, bahwa Muhammad  dan
kawan-kawannya  telah melanggar bulan suci, menumpahkan darah,
merampas harta-benda dan menawan orang. Karena itu orang-orang
Islam   yang   berada   di   Mekahpun   lalu  menjawab,  bahwa
saudara-saudara mereka seagama yang  kini  hijrah  ke  Medinah
melakukan  itu  dalam  bulan  Sya'ban. Lalu datang orang-orang
Yahudi turut mengobarkan  api  fitnah.  Ketika  itulah  datang
firman Tuhan:
 
"Mereka  bertanya  kepadamu  tentang  perang dalam bulan suci.
Katakanlah:  "Perang  selama  itu  adalah  soal  (pelanggaran)
besar.   Tetapi   menghalangi   orang  dari  jalan  Allah  dan
mengingkari-Nya, menghalangi orang memasuki  Mesjid  Suci  dan
mengusir   orang   dari   sana,   bagi   Allah   lebih   besar
(pelanggarannya). Fitnah itu lebih besar dan  pembunuhan.  Dan
mereka  akan  tetap  memerangi  kamu,  sampai  mereka berhasil
memalingkan kamu dari agamamu, kalau mereka sanggup." (Qur'an,
2: 217)
 
Dengan  adanya  keterangan  Qur'an  dalam  soal  ini hati kaum
Muslimin merasa lega kembali. Penyelesaian kafilah  dan  kedua
orang  tawanan  itu  kini  di  tangan Nabi, yang kemudian oleh
Quraisy akan ditebus kembali. Tetapi kata Nabi:
 
"Kami takkan menerima penebusan kamu,  sebelum  kedua  sahabat
kami  kembali  -  yakni  Sa'd  b.  Abi  Waqqash  dan 'Utba ibn
Ghazwan. Kami kuatirkan mereka  di  tangan  kamu.  Kalau  kamu
bunuh mereka, kawan-kawanmu inipun akan kami bunuh."
 
Setelah  Said  dan  'Utba  kembali,  Nabi mau menerima tebusan
kedua tawanan itu.  Tapi  salah  seorang  dari  mereka,  yaitu
Al-Hakam  b. Kaisan masuk Islam dan tinggal di Medinah, sedang
yang seorang lagi kembali kepada kepercayaan nenek-moyangnya.
 
Pasukan Abdullah b. Jahsy ini dan ayat  suci  yang  diturunkan
karenanya itu, patut sekali kita pelajari. Menurut hemat kami,
ini adalah  suatu  persimpangan  jalan  dalam  politik  Islam.
Kejadian  ini  merupakan  peristiwa  baru, yang memperlihatkan
adanya jiwa yang kuat dan luhur, suatu kekuatan yang  bersifat
insani,  meliputi  seluk-beluk  kehidupan  material, moral dan
spiritual. Ia begitu kuat dan  luhur  dalam  tujuannya  hendak
mencapai  kesempurnaan. Quran memberikan jawaban kepada mereka
yang ikut bertanya tentang perang dalam bulan suci: adalah itu
termasuk pelanggaran-pelanggaran besar, yang diiakan bahwa itu
memang masalah besar. Tetapi ada yang lebih  besar  dari  itu.
Menghalangi  orang  dari  jalan  Allah  serta  mengingkari-Nya
adalah lebih besar dari  perang  dan  pembunuhan  dalam  bulan
suci,  dan memaksa orang meninggalkan agamanya dengan ancaman,
dengan bujukan atau  kekerasan  adalah  lebih  besar  daripada
membunuh  orang  dalam bulan suci atau bukan dalam bulan suci.
Orang-orang musyrik dan Quraisy yang  telah  menyalahkan  kaum
Muslimin  karena  mereka  melakukan  perang  dalam  bulan suci
mereka akan selalu memerangi umat Islam supaya berpaling  dari
agamanya  bila  mereka  sanggup.  Apabila  pihak  Quraisy  dan
orang-orang      musyrik       itu       semua       melakukan
pelanggaran-pelanggaran  ini,  menghalangi  orang  dari  jalan
Allah dan mengingkariNya,  apabila  mereka  ternyata  mengusir
orang  dari  Mesjid  Suci,  memperdayakan orang dari agamanya,
maka jangan disalahkan orang yang  menjadi  korban  penindasan
dan  pelanggaran itu bila ia juga memerangi mereka dalam bulan
suci. Tetapi bagi orang yang tidak mengalami beban penderitaan
ini,   melakukan   perang   dalam   bulan  suci  memang  suatu
pelanggaran.
 
Fitnah itu lebih besar dari pembunuhan. Memang  benar.  Bahkan
barangsiapa melihat orang lain mencoba membujuk atau memfitnah
orang dari agamanya atau mengalangi dari jalan Allah ia  harus
berjuang  demi  Allah  melawan  fitnah  itu sampai agama dapat
diselamatkan. Di sinilah  kalangan  Orientalis  dan  misi-misi
penginjil   itu   mengangkat   suara   keras-keras:   Lihatlah
tuan-tuan!  Muhammad  dan  agamanya  itu  menganjurkan   orang
berperang dan berjuang demi Allah (aljihad fi sabilillah) atau
memaksa orang masuk Islam dengan  pedang.  Bukankah  ini  yang
namanya  fanatik?  Sedang  agama Kristen tidak mengenal adanya
peperangan dan membenci perang. Sebaliknya malah  menganjurkan
toleransi, memperkuat tali persaudaraan antara sesama manusia,
untuk Tuhan dan untuk Jesus.
 
Sebenarnya saya tidak ingin berdebat dengan mereka, kalau saya
mengutip sebuah kalimat saja dalam Injil: "Bukannya Aku datang
membawa keamanan, melainkan pedang" dan seterusnya juga  tidak
tentang  arti  yang  terkandung  dalam  kalimat tersebut. Umat
Islam mengakui agama Isa itu seperti  sudah  disebutkan  dalam
Qur'an.  Tetapi  yang  terutama  perlu  saya  sampaikan  ialah
menjawab kata-kata mereka: Muhammad dan agamanya  menganjurkan
perang dan memaksa orang masuk Islam dengan pedang. Ini adalah
suatu kebohongan yang ditolak oleh Qur'an:
 
"Tak ada pemaksaan dalam agama. Sudah jelas  mana  jalan  yang
benar, mana yang salah." (Qur'an, 2: 256)
 
"Berjuanglah  kamu  untuk  Allah melawan mereka yang memerangi
kamu. Tetapi janganlah  kamu  melakukan  pelanggaran  (agresi)
sebab   Allah   tidak   menyukai  orang-orang  yang  melakukan
pelanggaran ." (Qur'an, 2: 190)
 
Dan masih banyak ayat-ayat lain selain dari  kedua  ayat  suci
tersebut.
 
Dalam arti yang sebenarnya, berjuang demi Allah, ialah seperti
disebutkan dalam ayat-ayat yang kita kutip tadi dan yang turun
sehubungan  dengan  pasukan Abdullah b. Jahsy, yaitu memerangi
mereka  yang  membuat  fitnah  dan  membujuk  si  Muslim  dari
agamanya  atau  mengalanginya  dari  jalan Allah. Perang dalam
arti untuk kebebasan berdakwah agama. Atau  dengan  kata  lain
menurut  bahasa  sekarang:  Mempertahankan idea dengan senjata
yang dipergunakan oleh pihak yang memerangi idea itu.  Apabila
ada  seseorang  yang  hendak  membujuk orang lain dengan jalan
propaganda dan  logika  tanpa  memaksanya  dengan  atau  tanpa
kekerasan   melalui  cara-cara  suap-menyuap  atau  penyiksaan
dengan maksud supaya orang itu meninggalkan ideanya  -    maka
sudah   tentu  ia  akan  menghadapi  orang  itu  dengan  jalan
menggugurkan argumen dan logikanya tadi.
 
Tetapi, apabila dalam usahanya menghadapi  orang  dan  ideanya
itu  ia  menggunakan  kekerasan senjata maka kekerasan senjata
itupun harus  dilawan  dengan  kekerasan  senjata  pula,  bila
memang  mampu  ia  berbuat  begitu. Tidak lain sebabnya ialah,
karena harga diri manusia itu tersimpul  hanya  dalam  sepatah
kata  saja, yaitu: akidahnya. Akidah itu lebih berharga - bagi
orang  yang  mengenal  arti  kemanusiaan  -  daripada   harta,
daripada  kekayaan,  kekuasaan  dan daripada hidupnya sendiri;
hidup materi yang sama-sama dimiliki oleh manusia  dan  hewan,
sama-sama  makan  dan  minum,  mengalami pertumbuhan tubuh dan
enersi. Akidah adalah suatu komunikasi  moral  antara  manusia
dengan  manusia,  dan  komunikasi rohani antara manusia dengan
Tuhan. Nasib inilah yang  telah  memberikan  kelebihan  kepada
manusia di atas makhluk lain dalam hidup ini, yang membuat dia
mencintai sesamanya  seperti  mencintai  dirinya  sendiri.  Ia
mengutamakan orang yang hidup sengsara, hidup miskin dan tidak
punya, daripada keluarganya sendiri, meskipun keluarganya  itu
sedang  dalam kekurangan. Ia mengadakan komunikasi dengan alam
semesta   supaya   bekerja   secara   tekun,   supaya    dapat
mengantarkannya  kepada  kesempurnaan hidup seperti yang sudah
diberikan Tuhan kepadanya
 
Apabila akidah yang semacam ini yang ada  pada  manusia,  lalu
ada  orang  lain  yang mau membuat fitnah, mau menceraikannya,
sedang dia tak dapat membela diri, ia  harus  berbuat  seperti
dilakukan  orang-orang  Islam  dulu  sebelum  mereka hijrah ke
Medinah.  Dideritanya  segala  perbuatan   kejam   dan   serba
kekerasan    itu,    dihadapinya    segala    penghinaan   dan
ketidakadilan, dengan hati yang tabah. Rasa  lapar  dan  serba
kekurangan  yang  bagaimanapun  juga  tidak sampai menghalangi
semangatnya berperang terus pada akidahnya.
 
Inilah yang telah dilakukan oleh orang-orang Islam dahulu, dan
ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen dahulu.
 
Akan  tetapi  mereka  yang  tabah  mempertahankan  akidah  itu
bukanlah   orang-orang   kebanyakan.   Mereka   terdiri   dari
manusia-manusia terpilih, yang telah diberi kekuatan iman oleh
Tuhan, sehingga karenanya akan terasa kecil segala siksaan dan
kekejaman   yang   dialaminya,  sehingga  dapat  ia  meratakan
gunung-gunung, dan apa yang dikatakannya kepada gunung  supaya
pindah  dari  tempatnya, gunung itu akan pindah - seperti kata
Injil juga. Tetapi jika orang menangkis fitnah dengan  senjata
yang  dipakai  membuat fitnah itu dan dapat menolak pihak yang
akan  menghalanginya  dari  jalan  Allah  dengan   cara   yang
dipakainya  itu pula, maka orang itu harus melakukannya. Kalau
tidak ini berarti, akidahnya  masih  goyah,  imannyapun  masih
lemah.
 
Inilah    yang    telah    dilakukan    oleh    Muhammad   dan
sahabat-sahabatnya setelah keadaannya di Medinah mulai stabil.
Dan  ini  pula  yang  telah dilakukan oleh orang-orang Kristen
setelah kekuasaan mereka di  Rumawi  dan  Rumawi  Timur  mulai
stabil,  dan  sesudah  hati maharaja-maharaja Rumawi itu mulai
pula lunak terhadap agama Kristen.
 
Misi-misi penginjil  itu  berkata:  Tetapi  jiwa  Kristen  itu
secara  mutlak  menjauhkan  diri dari peperangan. Di sini saya
tidak bermaksud membahas benar tidaknya  kata-kata  itu.  Akan
tetapi  di  hadapan  kita  sejarah  Kristen  adalah saksi yang
jujur, juga di hadapan kita sejarah Islam  adalah  saksi  yang
jujur  pula.  Sejak  masa  permulaan agama Kristen hingga masa
kita sekarang ini seluruh penjuru bumi telah berlumuran  darah
atas  nama  Almasih. Telah dilumuri oleh Rumawi, dilumuri oleh
bangsa-bangsa Eropa semua. Perang-perang Salib terjadi  karena
dikobarkan  oleh  orang-orang Kristen, bukan oleh orang Islam.
Mengalirnya pasukanpasukan tentara sejak  ratusan  tahun  dari
Eropa  menuju  daerah-daerah  Islam di Timur, adalah atas nama
Salib: peperangan, pembunuhan, pertumpahan darah.  Dan  setiap
kali,  paus-paus  sebagai  pengganti Jesus, memberi berkah dan
restu kepada pasukan-pasukan tentara itu, yang  bergerak  maju
hendak  menguasai  Bait'l-Maqdis (Yerusalem) dan tempat-tempat
suci Kristen lainnya.
 
Adakah barangkali paus-paus itu semua orang-orang  yang  sudah
menyimpang  dari agamanya (heretik) ataukah kekristenan mereka
itu yang palsu? Ataukah juga karena mereka itu pembual-pembual
yang bodoh, tidak mengetahui bahwa agama Kristen secara mutlak
menjauhkan diri dari perang? Atau  akan  berkata:  Itu  adalah
Abad Pertengahan, abad kegelapan; janganlah agama Kristen juga
yang diprotes. Kalau itu juga yang kadang mereka katakan, maka
abad  keduapuluh  ini,  masa  kita hidup sekarang inipun, yang
biasa disebut abad kemajuan dan humanisma  -  toh  dunia  juga
telah  mengalami  nasib  seperti  yang  dialami oleh Abad-abad
Pertengahan yang gelap itu. Sebagai wakil Sekutu  -  Inggeris,
Perancis,  Itali,  Rumania dan Amerika Lord Allenby berkata di
Yerusalem, pada penutup Perang Dunia Pertama, ketika kota  itu
didudukinya  dalam  tahun  1918:  "Sekarang Perang Salib sudah
selesai."
 
Apabila di kalangan orang-orang Kristen ada  orang-orang  suci
yang dalam berbagai zaman menolak adanya perang dan dalam arti
persaudaraan insani mereka telah  mencapai  puncaknya,  bahkan
persaudaraannya  dengan  unsur-unsur  alam  semesta,  maka  di
kalangan kaum Muslimin juga ada orang-orang suci, yang jiwanya
sudah  begitu  luhur.  Mereka mengadakan komunikasi dalam arti
persaudaraan, kasih-sayang dan  emanasi  dengan  alam  semesta
ini,  dengan  jiwa  yang  sudah sarat oleh pengertian kesatuan
wujud. Tetapi  orang-orang  suci  itu  -  baik  dari  kalangan
Kristen  atau  Islam  -  kalaupun  mereka  sudah  mencerminkan
cita-cita  yang  luhur,  namun  mereka  tidak   menterjemahkan
kehidupan  insani  dalam  perkembangannya  yang  terus-menerus
serta  dalam  perjuangannya   mencapai   kesempurnaan,   yakni
kesempurnaan  yang  hendak  kita  coba  mencerminkannya.  Lalu
pikiran kita terhenti, imajinasi kita  terhenti,  tanpa  dapat
kita  pahami  seteliti-telitinya, meskipun dalam menggambarkan
itu kita sudah  cukup  mengambil  risiko  sebagai  pendahuluan
usaha kita kearah itu.
 
Dan  kini  sudah lampau masa seribu tiga ratus limapuluh tujuh
tahun sejak hijrahnya Nabi dari Mekah ke Yathrib  itu.  Tetapi
meskipun  begitu dalam berbagai zaman manusia makin hebat juga
berlumba-lumba  melakukan  perang,   membuat   senjata-senjata
jahanam  dan  fatal.  Kata-kata  mencegah  perang, penghapusan
persenjataan dan menunjuk badan arbitrasi,  tidak  lebih  dari
kata-kata  yang  biasa  diucapkan  pada setiap selesai perang,
waktu bangsa-bangsa  sedang  mengalami  kehancuran.  Atau  ini
hanya  serangkaian propaganda yang dilontarkan ketengah-tengah
kehidupan oleh orang-orang yang sampai sekarang belum mampu  -
dan siapa tahu barangkali takkan pernah mampu - mewujudkan hal
ini, mewujudkan perdamaian yang sebenarnya, perdamaian  dengan
rasa  persaudaraan dan rasa keadilan, sebagai ganti perdamaian
bersenjata, sebagai lambang perang yang akan mengantarkan kita
kepada kehancuran.
 
Islam  bukan  agama  ilusi  dan  khayal, juga bukan agama yang
terbatas mengajak individu saja  mencapai  kesempurnaan,  tapi
Islam  adalah  agama  kodrat (fitrah), yang dengan itu seluruh
umat manusia, dalam arti individu dan masyarakat, dikodratkan.
Ia  adalah agama yang didasarkan pada kebenaran, kebebasan dan
tata-tertib. Dan oleh  karena  perang  adalah  kodrat  manusia
juga, maka membersihkan atau mengoreksi pikiran tentang perang
dalam  jiwa  kita  lalu  menempatkannya  kedalam   batas-batas
kemampuan  manusia  yang  maksimal,  adalah  cara yang mungkin
dapat  dicapai  oleh  kodrat  manusia  itu,  dan   yang   akan
melahirkan  kelangsungan  evolusi  hidup  umat  manusia  dalam
mencapai kebaikan dan kesempurnaannya.
 
Koreksi atas  konsepsi  perang  ini  yang  paling  baik  ialah
hendaknya  jangan  sampai terjadi perang kecuali untuk membela
diri, membela keyakinan dan kebebasan berpikir serta  berusaha
kearah  itu.  Hendaknya  rasa  harga  diri umat manusia secara
integral benar-benar dipelihara.
 
Inilah yang sudah. menjadi ketentuan Islam seperti yang  sudah
kita  lihat  dan  yang akan kita lihat nanti. Ini pulalah yang
digariskan oleh Qur'an seperti yang sudah dan yang  akan  kita
kemukakan  kepada  pembaca  mengenai peristiwa-peristiwa serta
hubungannya maka Qur'an itu diturunkan.
 
Catatan kaki:
 
1 sariya suatu pasukan pilihan dalam satuan tentara,
paling banyak 400 orang.
 
2 Harfiah, asy-syahr'l-haram, bulan terlarang, bulan
suci, yakni dilarang mengadakan peperangan menurut
adat Arab, yang berlaku selama bulan-bulan Zulkaidah,
Zulhijah, dan Muharam, juga dalam bulan Rajab (A).
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar