Selasa, 20 Maret 2012

# Sejarah Hidup Muhammad Saw (16) #


Sejarah Hidup Muhammad Saw

(16)

BAGIAN KEENAMBELAS: PENGARUH UHUD
 
Kabilah-kabilah berkomplot terhadap Muslimin - Serbuan
Banu Asad   Khalid al-Hudhali - Terbunuhnya Khubaib
dan teman-temannya di Raji' - Terbunuhnya Muslimin di
Bi'ir Ma'una - Pengosongan Banu Nadzir dari Medinah -
Ekspedisi Badr yang terakhir - Ekspedisi
Dumat'l-Jandal.
 
ABU SUFYAN telah kembali dari  Uhud  ke  Mekah.  Berita-berita
kemenangannya  sudah lebih dulu sampai, yang disambut penduduk
dengan rasa gembira, karena  dianggap  sudah  dapat  menghapus
cemar yang dialami Quraisy selama di Badr. Begitu sampai ia ke
Mekah, langsung menuju Ka'bah  sebelum  ia  pulang  ke  rumah.
Kepada  Hubal  dewa  terbesar  ia  menyatakan puji dan syukur.
Dicukurnya lebih dulu rambut yang di bawah telinganya, lalu ia
pulang  ke rumah sebagai orang yang sudah memenuhi janji bahwa
ia  takkan  mendekati  isterinya  sebelum  dapat   mengalahkan
Muhammad.
 
Sebaliknya  kalangan  Muslimin,  mereka  melihat  kota Medinah
sudah  banyak  terasa  aneh  sekali,  meskipun   musuh   tetap
mengejar-ngejar  mereka. Selama tiga hari terus-menerus mereka
tetap  tabah  menghadapi  musuh  yang  masih  tidak  mempunyai
keberanian   menghadapi   mereka  itu.  Padahal  belum  selang
duapuluh empat jam yang lalu musuh telah merasa sebagai  pihak
yang menang.
 
Pihak Muslimin melihat keadaan Medinah itu sudah terasa banyak
sekali mengalami perubahan,  meskipun  kekuasaan  Muhammad  di
kota  itu tetap di atas. Dalam pada itu Nabi as. merasa, bahwa
keadaan memang sudah sangat genting dan  gawat  sekali,  bukan
hanya  dalam  kota  Medinah  saja, bahkan juga sudah melampaui
sampai kepada kabilah-kabilah Arab lainnya, yang memang  sudah
merasa  ketakutan. Peristiwa Uhud membawa perasaan lega kepada
mereka, sehingga terpikir oleh mereka itu hendak  menentangnya
lagi  dan  mengadakan  perlawanan.  Oleh  karena  itu ia ingin
sekali mengikuti berita-berita sekitar  penduduk  Medinah  dan
kalangan  Arab  umumnya,  yang  kiranya  akan memberikan suatu
kemungkinan  menempatkan  kembali  kedudukan,   kekuatan   dan
kewibawaan Muslimin kedalam hati mereka.
 
Berita  pertama  yang sampai kepadanya sesudah peristiwa Uhud,
ialah bahwa Tulaiha dan Salama bin Khuailid dua  bersaudara  -
dan  keduanya  waktu  itu  yang  memimpin  Banu  Asad - sedang
mengerahkan masyarakatnya dan  mereka  yang  mau  mentaatinya,
untuk  menyerang Medinah dan menyerbu Muhammad sampai ke dalam
rumahnya  sendiri  dengan  maksud  memperoleh  keuntungan  dan
merampas  ternak  Muslimin  yang  dipelihara  di ladang-ladang
sekeliling kota itu. Yang menyebabkan  mereka  berani  berbuat
begitu ialah karena anggapan bahwa Muhammad dan teman-temannya
masih menderita karena telah mengalami pukulan hebat selama di
Uhud.
 
Berita  itu  terbetik  juga oleh Nabi. Ia segera memanggil Abu
Salama b. Abd'l-Asad yang lalu diserahi pimpinan pasukan  yang
terdiri  dari  150  orang,  termasuk Abu 'Ubaida bin'l-Jarrah,
Sa'd b. Abi Waqqash dan Usaid b. Hudzair. Mereka diperintahkan
supaya  berjalan  pada  malam  hari  dan  siangnya bersembunyi
dengan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui  orang,  supaya
jangan  ada  orang yang mengenal jejak mereka. Dengan demikian
mereka akan dapat menyergap musuh dengan cara  yang  tiba-tiba
sekali. Perintah ini oleh Abu Salama dilaksanakan. Ia berhasil
menyerbu musuh dalam  keadaan  tidak  siap.  Dalam  pagi  buta
mereka  sudah  terkepung.  Dikalahkannya  anak  buahnya  dalam
menghadapi perjuangan itu.  Tetapi  pihak  musyrik  sudah  tak
dapat  bertahan  lagi.  Dua  pasukan  segera  dikirim mengejar
mereka dan merebut rampasan  perang  yang  ada.  Ia  dan  anak
buahnya  menunggu  di  tempat  itu  sambil  menantikan pasukan
pengejar itu kembali membawa rampasan perang.
 
Setelah seperlima rampasan itu dikeluarkan untuk Tuhan,  untuk
Rasul,   orang   miskin   dan  orang  yang  dalam  perjalanan,
selebihnya mereka bagi sesama mereka, lalu mereka  kembali  ke
Medinah  dengan  sudah  membawa  kemenangan.  Kewibawaan  yang
karena peristiwa Uhud itu terasa sudah  agak  berkuramg,  kini
mulai  kembali lagi. Hanya saja Abu Salama sendiri hidup tidak
lama lagi sesudah ekspedisi itu. Ia menderita luka-luka akibat
perang  Uhud  dan  luka-lukanya itu belum sembuh benar kecuali
yang tampak dari luar saja. Tetapi sesudah  ia  bekerja  keras
lukanya  itu  terbuka  dan  kembali  mengucurkan  darah,  yang
diderita terus sampai meninggalnya.
 
Sesudah itu kemudian sampai pula berita kepada Muhammad  bahwa
Khalid  b.  Sufyan b. Nubaih al-Hudhali yang tinggal di Nakhla
atau  di  'Urana  telah   mengumpulkan   orang   pula   hendak
menyerangnya.  Mendengar ini Muhammad segera mengutus Abdullah
b.  Unais  meneliti  dan  mencek  kebenaran  berita  tersebut.
Abdullah  berjalan  menuju  ke  tempat Khalid, yang ketika itu
dijumpainya  ia  sedang  berada  di   rumah   bersama   dengan
isteri-isterinya.
 
"Siapa kamu," tanya Khalid setelah Abdullah sampai.
 
"Saya  dari  golongan  Arab  juga,"  jawabnya. "Mendengar tuan
mengumpulkan orang hendak menyerang Muhammad maka saya  datang
kemari."
 
Khalid  berterus-terang,  bahwa  ia memang sedang mengumpulkan
orang  hendak  menyerang  Medinah.  Setelah  Abdullah  melihat
sekarang  ia  seorang  diri  jauh  dari anak-buahnya - kecuali
isteri-isterinya - dicarinya  jalan  supaya  ia  mau  berjalan
bersama-sama.  Begitu ia mendapat kesempatan dihantamnya orang
itu dengan pedangnya dan dia pun menemui ajalnya. Dibiarkannya
dia  di  tangan isteri-isterinya yang berkerumun menangisinya.
Sekembalinya  ke  Medinah  disampaikannya  berita  itu  kepada
Rasul.
 
Setelah  kematian  pemimpinnya itu, Banu Lihyan sebagai cabang
Hudhail  yang  selama  beberapa  waktu   tenang-tenang   saja,
sekarang  mulai  terpikir  akan  mengadakan  pembalasan dengan
suatu tipu-muslihat.
 
Pada  waktu  itulah  kabilah  yang  berdekatan  itu   mengutus
rombongan  kepada Muhammad dengan mengatakan: Di kalangan kami
ada beberapa orang Islam. Kirimkanlah beberapa  orang  sahabat
tuan  bersama  kami,  yang  akan dapat kelak mengajarkan hukum
agama dan Qur'an kepada kami.
 
Untuk menunaikan tugas agama yang mulia itu, setiap diperlukan
pada    waktu    itu    Muhammad    selalu    siap    mengutus
sahabat-sahabatnya untuk  memberikan  bimbingan  kepada  orang
dalam mengenal Tuhan dan agama yang benar, serta untuk menjadi
pengikut Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya  menghadapi  lawan,
seperti  yang  sudah  kita lihat, ketika mereka dulu diutus ke
Medinah sesudah Ikrar 'Aqaba kedua. Oleh karena itu enam orang
sahabat besar kemudian diutusnya berangkat bersama-sama dengan
rombongan utusan itu. Tetapi sesampainya  di  suatu  pangkalan
air  kepunyaan Hudhail di bilangan Hijaz, di suatu daerah yang
disebut ar-Raji', ternyata  mereka  telah  dikhianati,  dengan
tindakan rombongan itu yang sudah tentu dengan meminta bantuan
Hudhail. Tetapi ini tidak membuat keenam  orang  Muslimin  itu
jadi  gugup  ketakutan,  yang dalam perlengkapannya itu mereka
hanya membawa pedang. Kaum Muslimin itu segera mencabut pedang
hendak  mempertahankan  diri.  Tetapi  pihak  Hudhail  berkata
kepada mereka:
 
"Demi Allah, kami tidak ingin membunuh kamu. Tapi dengan  kamu
ini kami ingin memperoleh keuntungan dari penduduk Mekah. Kami
berjanji atas nama Tuhan bahwa kami tidak  bermaksud  membunuh
kamu."
 
Keenam  orang  Muslim  itu  berpandang-pandangan. Mereka sadar
sudah bahwa dibawanya mereka satu-satu ke  Mekah  itu  berarti
suatu  penghinaan yang sebenarnya lebih jahat dari pembunuhan.
Mereka menolak  janji  Hudhail  itu,  dan  mereka  tetap  akan
mengadakan  perlawanan, meskipun mereka sudah menyadari, bahwa
dalam jumlah yang sekecil itu mereka tidak berdaya. Tiga orang
dari  mereka  ini  dibunuh  oleh Hudhail, sedang sisanya sudah
makin tak berdaya. Mereka semua ditangkap dan  dibawa  sebagai
tawanan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Abdullah b.
Tariq, salah seorang dari ketiga orang  Islam  itu  di  tengah
jalan  berhasil  melepaskan  belenggu  dari  tangannya lalu ia
mencabut pedang. Oleh karena rombongan  yang  lain  berada  di
belakangnya,  dihujaninya  ia  dengan  batu  dan  ia  puntewas
karenanya.
 
Kedua orang tawanan lainnya  sempat  dibawa  oleh  Hudhail  ke
Mekah,  lalu dijual. Zaid bin'd-Dathinna dijual kepada Shafwan
b. Umayya yang sengaja membelinya untuk dibunuh. Ia diserahkan
kepada  Nastas,  budaknya  supaya  membunuhnya sebagai balasan
atas kematian ayahnya Umayya b. Khalaf.  Ketika  dibawa,  oleh
Abu Sufyan ia ditanya:
 
"Zaid,   sangat   kuharapkan   sekali.   Bersediakah   engkau
memberikan tempatmu itu kepada Muhammad?  Dialah  yang  harus
dipenggal   lehernya,   sedang  engkau  dapat  kembali  kepada
keluargamu."
 
"Tidak," jawab Zaid. "Sekiranya Muhammad ditempatnya  sekarang
ini  akan  menderita karena tusukan duri sekalipun, sedang aku
di tempat keluarga, aku tidak sudi."
 
Abu Sufyan kagum sekali, seraya katanya:
 
"Belum  pernah  aku  melihat  seseorang   mencintai   kawannya
demikian   rupa  seperti  sahabat-sahabat  Muhammad  mencintai
Muhammad."
 
Zaid lalu dibunuh oleh  Nastas.  Maka  ia  pun  gugur  sebagai
syahid yang memegang teguh agama dan amanat Nabi.
 
Adapun  Khubaib  waktu itu dalam penjara, yang kemudian dibawa
keluar untuk disalib. Tapi ia berkata kepada mereka:
 
"Dapatkah kamu membiarkan  aku  sekadar  melakukan  salat  dua
raka'at?"
 
Permintaan  demikian  itu  dikabulkan.  Iapun  sembahyang  dua
raka'at dengan baik dan sempurna. Kemudian ia menghadap mereka
lagi:
 
"Kalau   tidak   karena   kamu  akan  menyangka  saya  sengaja
memperlambat karena takut dibunuh,  niscaya  saya  masih  akan
sembahyang lebih banyak lagi."
 
Setelah   ia  dinaikkan  dan  diikat  di  atas  tonggak  kayu,
dipandangnya mereka itu dengan mata sayu seraya katanya:
 
"Ya Allah, hitungkan bilangan  mereka  itu,  binasakan  mereka
dalam keadaan cerai-berai dan jangan dibiarkan seorangpun dari
mereka itu."
 
Mendengar  suara  yang  keras  itu  mereka   gemetar,   mereka
merebahkan  diri  takut terkena kutukannya. Sesudah itu ia pun
dibunuh. Seperti Zaid yang telah gugur sebagai syahid, Khubaib
juga  kemudian gugur pula sebagai syahid untuk agama dan untuk
Nabi. Dua ruh yang suci itu pun kini melayang  pula.  Padahal,
sebenarnya   mereka   akan   dapat   menyelamatkan  diri  dari
pembunuhan itu kalau saja mereka mau jadi murtad  meninggalkan
agamanya.  Tetapi  demi  keyakinan mereka kepada Tuhan, kepada
keluhuran rohani dan hari kemudian - tatkala setiap jiwa hanya
akan  mendapat  balasan sesuai dengan perbuatannya dan tak ada
orang yang akan memikul beban orang lain - mereka melihat maut
itu  -  sebagai  tujuan hidup - adalah tujuan yang paling baik
dalam hidupnya demi akidah,  demi  iman  dan  demi  kebenaran.
Mereka  pun yakin bahwa darah mereka, yang kini ditumpahkan di
atas  bumi  Mekah,  akan  memanggil  saudara-saudaranya   kaum
Muslimin  supaya  memasuki kota itu sebagai pihak yang menang,
yang akan  menghancurkan  berhala-berhala,  akan  membersihkan
segala  noda  paganisma  dan  kehidupan  syirik.  Dan kesucian
Ka'bah sebagai Baitullah akan  dikembalikan  juga  sebagaimana
mestinya,  bersih  dari  segala  sebutan nama-nama selain asma
Allah.
 
Dalam menghadapi peristiwa ini pihak Orientalis  tidak  bicara
apa-apa  seperti ketika menghadapi peristiwa tawanan Badr yang
dibunuh pihak Muslimin. Mereka tidak berusaha untuk  memandang
jijik  perbuatan  khianat yang diiakukan Banu Hudhail terhadap
dua orang yang tidak berdosa  itu,  yang  bukan  ditawan  dari
medan  perang,  tapi  diambil  dengan cara tipu-muslihat, yang
berangkat  karena  perintah   Rasul   dengan   maksud   supaya
mengajarkan  agama kepada orang-orang yang mengkhianati mereka
itu,  orang-orang  yang  menyerahkan  mereka  kepada  Quraisy,
setelah  kawan-kawannya yang lain pun dibunuh secara gelap dan
licik.  Kaum  Orientalis  tidak  menganggap  jijik   perbuatan
Quraisy  terhadap  dua  orang yang tak bersenjata itu, padahal
apa yang mereka lakukan adalah suatu  perbuatan  pengecut  dan
tindakan  permusuhan yang rendah sekali. Pada dasarnya prinsip
kejujuran yang harus menjadi pegangan  kaum  Orientalis,  yang
merasa  tidak  dapat menerima apa yang dilakukan kaum Muslimin
terhadap dua tawanan perang Badr itu, ialah akan merasa  jijik
sekali terhadap pengkhianatan Quraisy yang menerima penyerahan
dua orang untuk dibunuh itu, sesudah empat orang lainnya  yang
didatangkan  atas  permintaan  mereka untuk mengajarkan agama,
telah lebih dulu pula mereka bunuh.
 
Semua Muslimin merasa sedih, Muhammad juga merasa sedih sekali
atas  malapetaka  yang  telah  menimpa keenam orang yang gugur
sebagai syahid di jalan  Tuhan  karena  pengkhianatan  Hudhail
itu. Ketika itulah Hassan b. Thabit mengirimkan sajak-sajaknya
sebagai elegi yang mendalam sekali buat Khubaib dan Zaid.
 
Dalam pada itu lebih banyak lagi Muhammad  memikirkan  keadaan
umat Muslimin. Kuatir sekali ia kalau hal semacam itu terulang
lagi. Masyarakat Arab akan sangat merendahkan mereka.
 
Sementara ia  sedang  berpikir-pikir  demikian  itu  tiba-tiba
datang Abu Bara' 'Amir b. Malik. Muhammad menawarkan kepadanya
supaya ia sudi masuk Islam, tapi ia menolak. Sungguhpun begitu
juga  ia tidak menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Islam.
Bahkan katanya: "Muhammad, kalau  ada  sahabat-sahabatmu  yang
dapat diutus ke Najd dan mengajak mereka itu menerima ajaranmu
saya harap mereka itu akan menerima."
 
Tetapi    Muhammad    masih     kuatir     akan     melepaskan
sahabat-sahabatnya  itu  ke  Najd dan takut ia penduduk daerah
itu nanti akan mengkhianati mereka  seperti  pernah  dilakukan
Hudhail  terhadap  Khubaib dan kawan-kawan. Ia tidak yakin dan
tidak dapat mengabulkan permintaan Abu Bara'.
 
"Saya menjamin  mereka,"  katanya  lagi.  "Kirimkanlah  utusan
kesana untuk mengajak mereka menerima ajaranmu."
 
Abu  Bara' adalah orang yang ditaati di kalangan masyarakatnya
dan  didengar  orang  perkataannya.  Barangsiapa  yang   sudah
diberinya  perlindungan ia tidak kuatir akan mendapat serangan
pihak lain.
 
Dengan demikian Muhammad mengutus al-Mundhir b. 'Amr dari Banu
Sa'ida  dengan  memimpin 40 orang Muslimin pilihan. Mereka pun
berangkat. Sampai di Bi'ir Masuna - antara daerah  Banu  'Amir
dan  Banu  Sulaim - mereka berhenti. Dari sana mereka mengutus
Haram  b.  Milhan  membawa   surat   Muhammad   kepada   'Amir
bin't-Tufail.  Tetapi  oleh  'Amir  surat itu tidak dibacanya,
malah orang yang membawanya dibunuh,  dan  dia  minta  bantuan
Banu  'Amir  supaya  membunuhi  kaum  Muslimin. Tetapi setelah
mereka    menolak    untuk    melakukan    pelanggaran    atas
pertanggung-jawaban dan perlindungan yang telah diberikan oleh
Abu  Bara'  'Amir  meminta   bantuan   kabilah-kabilah   lain.
Permintaan  ini oleh mereka dipenuhi dan kemudian bersama-sama
dia mereka  berangkat  dan  mengepung  rombongan  Muslimin  di
tempat  itu.  Melihat  keadaan  ini  pihak Muslimin pun segera
mencabut  pedang.  Mereka  mengadakan  perlawanan  mati-matian
sampai akhirnya mereka terbunuh semua.
 
Hanya  Ka'b  b. Zaid yang masih selamat, yang dibiarkan begitu
saja oleh Ibn't-Tufail. Ternyata ia belum  mati.  Kemudian  ia
pun  pergi  pulang  ke  Madinah. Demikian juga 'Amr b. Umayya,
yang oleh 'Amir bin't-Tufail dimerdekakan karena dikiranya  ia
masih  terikat  dengan  suatu  niat  ibunya.  Dalam perjalanan
pulang di tengah jalan 'Amr  bertemu  dengan  dua  orang  yang
dikiranya  turut  menyerang kawan-kawannya. Dibiarkannya kedua
orang itu sampai tidur lebih dulu,  kemudian  diserangnya  dan
dibunuhnya.  Sesudah  itu  ia  melanjutkan lagi perjalanannya.
Sesampainya  di  Medinah  diberitahukannya  perbuatannya   itu
kepada  Rasul  a.s.  Ternyata kedua orang itu dari Banu 'Amir,
dari golongan Abu Bara'  dan  yang  juga  terikat  oleh  suatu
perjanjian Jiwar (bertetangga baik) dengan Rasulullah, dan ini
berarti harus diselesaikan dengan diat.
 
Bukan main Muhammad menahan perasaan pilu karena pembunuhan di
Bi'ir  Ma'una itu. Sungguh berat hatinya menahan dukacita atas
sahabat-sahabatnya itu. Ia berkata: "Ini adalah perbuatan  Abu
Bara'. Sejak semula saya sudah berat hati dan kuatir sekali."
 
Abu Bara' juga merasa sangat terpukul karena pelanggaran 'Amir
bin't-Tufail atas dirinya itu. Karena itu, Rabi'a anaknya lalu
bertindak  menghantam 'Amir dengan tombak sebagai balasan atas
perbuatannya terhadap ayahnya. Begitu dalamnya  rasa  dukacita
Muhammad  sehingga sebulan penuh setiap selesai salat Subuh ia
berdoa semoga Tuhan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang
telah  membunuh  sahabat-sahabatnya itu. Demikian juga seluruh
umat Muslimin turut merasa pilu karena malapetaka  yang  telah
menimpa  saudara-saudaranya seagama itu, meskipun sudah dengan
penuh iman bahwa  mereka  semua  gugur  sebagai  syuhada,  dan
mereka semua akan mendapat surga.
 
Malapetaka  yang  telah  menimpa kaum Muslimin di Raji' dan di
Bi'ir Ma'una mengingatkan kaum munafik dan Yahudi Medinah akan
kemenangan  Quraisy  di  Uhud,  dan  membuat  mereka lupa akan
kemenangan Muslimin atas Banu Asad, juga mengurangi  pandangan
mereka  terhadap  kewibawaan  Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
Dalam menghadapi hal ini sekarang Nabi  a.s.  berpikir  dengan
suatu  pemikiran  politik  yang  cermat sekali serta pandangan
yang jauh. Ketika itu bahaya yang paling besar mengancam  kaum
Muslimin  ialah  sikap  penduduk  Medinah  yang  kiranya  akan
merendahkan  kewibawaan  mereka.  Begitu  juga   yang   sangat
diharapkan   oleh  kabilah-kabilah  Arab,  mereka  akan  dapat
menanamkan  perpecahan  didalam,  yang  berarti   akan   dapat
menimbulkan  perang  saudara jika nanti ada saja tetangga yang
menyerbu Medinah. Disamping itu pihak Yahudi  dan  orang-orang
munafik seolah-olah memang sedang menantikan bencana yang akan
menimpa itu. Karena itu dilihatnya tak  ada  jalan  lain  yang
lebih  baik  daripada  membiarkan  mereka,  supaya  nanti niat
mereka terbongkar.
 
Oleh karena Yahudi Banu Nadzir itu  sekutu  Banu  'Amir,  maka
Nabi berangkat  sendiri  ke  tempat  mereka -  yang tidak jauh
dari Quba'[  -    dengan  membawa   sepuluh   orang   Muslimin
terkemuka,  diantaranya  Abu  Bakr,  Umar  dan  Ali.  Ia minta
bantuan Banu Nadzir dalam membayar diat dua orang  yang  telah
dibunuh  tidak  sengaja  oleh  'Amr  b.  Umayya  itu dan tidak
diketahuinya pula bahwa  Nabi  telah  memberikan  perlindungan
kepada mereka.

Setelah dijelaskan maksud kedatangannya, mereka memperlihatkan
sikap gembira dan dengan  senang  hati  bersedia  mengabulkan.
Akan   tetapi,   sementara   sebagian   mereka   sedang  asyik
bercakap-cakap  dengan  dia,  dilihatnya  yang   lain   sedang
berkomplot.  Salah seorang dari mereka pergi menyisih ke suatu
tempat dan tampaknya mereka sedang mengingatkan kematian  Ka'b
b.  Asyraf.  Salah  seorang dari mereka itu ('Amr b. Jihasy b.
Ka'b) tampak memasuki rumah tempat Muhammad sedang duduk-duduk
bersandar  di  dinding. Ketika itulah ia merasa curiga sekali,
lebih-lebih lagi karena persekongkolan mereka  dan  percakapan
mereka itu telah didengarnya.
 
Dengan  demikian,  diam-diam  ia  menarik diri dari tempat itu
dengan  meninggalkan  sahabat-sahabatnya.  Mereka  menduga  ia
pergi untuk suatu urusan.
 
Sebaliknya  pihak  Yahudi, mereka jadi kebingungan. Tidak tahu
lagi mereka; apa yang harus mereka katakan, dan apa pula  yang
harus  mereka perbuat terhadap sahabat-sahabat Muhammad. Kalau
mereka ini yang akan mereka jerumuskan niscaya  Muhammad  akan
mengadakan   pembalasan   keras.  Jika  mereka  biarkan  saja,
kalau-kalau  persekongkolan  mereka  terhadap   Muhammad   dan
sahabat-sahabatnya  tetap tak akan terbongkar. Dengan demikian
perjanjian mereka dengan pihak Muslimin  tetap  berlaku.  Jadi
sekarang  mereka  berusaha  meyakinkan  tamu-tamu Muslimin itu
yang mungkin akan dapat menghilangkan rasa  kecurigaan  mereka
tanpa samasekali menyebut-nyebut hal tersebut.
 
Tetapi  sahabat-sahabat  Muhammad  setelah  lama  menunggunya,
mereka pun pergi  pula  mencarinya.  Tatkala  ada  orang  yang
datang  dari  Medinah  dijumpai, tahulah mereka bahwa Muhammad
sudah sampai di kota itu dan langsung menuju ke mesjid. Mereka
pun juga pergi ke sana. Ia menceritakan kepada mereka mengenai
apa yang telah menimbulkan kecurigaan dari sikap orang  Yahudi
itu  serta  maksud mereka yang hendak mengkhianatinya. Barulah
mereka menyadari apa  yang  telah  mereka  lihat  itu.  Mereka
percaya  akan  ketajaman  pandangan  Rasul serta akan apa yang
telah diwahyukan kepadanya.
 
Kemudian Nabi memanggil Muhammad b. Maslama, dan katanya:
 
"Pergilah kepada Yahudi Banu Nadzir dan katakan kepada mereka,
bahwa Rasulullah mengutus aku kepada kamu sekalian supaya kamu
keluar dari negeri ini. Kamu telah melanggar  perjanjian  yang
sudah  kubuat  dengan kamu dengan maksudmu hendak mengkhianati
aku.  Aku  memberikan  waktu   sepuluh   hari   kepada   kamu.
Barangsiapa  yang  masih  terlihat  sesudah itu akan dipenggal
lehernya."
 
Yahudi Banu Nadzir sekarang merasa putus asa dan  kebingungan.
Atas  keterangan  itu  mereka  tidak  dapat membela diri lagi,
mereka tidak menjawab apa-apa lagi; kecuali katanya kepada Ibn
Maslama:
 
"Muhammad,  kami  tidak menduga hal ini akan datang dari orang
golongan Aus." Ini adalah suatu  isyarat  tentang  persekutuan
mereka  dengan  pihak  Aus dahulu dalam perang dengan Khazraj,
tetapi Ibn Maslama hanya menjawab:
 
"Hati orang sudah berubah."
 
Selama beberapa hari golongan ini sudah  bersiap-siap.  Tetapi
dalam  pada  itu  tiba-tiba  datang  pula  dua  orang  suruhan
Abdullah b. Ubayy dengan mengatakan: "Jangan  ada  orang  yang
mau  meninggalkan  rumah-rumah  kamu  dan  harta  benda  kamu.
Tetaplah bertahan dalam benteng kamu sekalian. Dari golonganku
sendiri  ada  dua ribu orang dan selebihnya dari golongan Arab
yang akan bergabung dengan kita dalam benteng dan mereka  akan
bertahan  sampai  titik  darah  penghabisan, sebelum ada pihak
lain menyentuh kamu."
 
Banu Nadzir mengadakan perundingan atas keterangan  Ibn  Ubayy
itu.  Mereka tambah bingung. Ada yang samasekali tidak percaya
kepada Ibn Ubayy. Bukankah dulu  pernah  ia  menjanjikan  Banu
Qainuqa'   seperti   yang  dijanjikannya  kepada  Banu  Nadzir
sekarang, tetapi tiba waktunya ia cuci tangan  dan  menghilang
meninggalkan   mereka?  Juga  mereka  mengetahui,  bahwa  Banu
Quraidza takkan dapat membela mereka  mengingat  adanya  suatu
perjanjian  dengan pihak Muhammad. Disamping itu, kalau mereka
keluar dari kampung mereka itu ke Khaibar atau ke tempat  lain
yang  berdekatan  mereka  masih  akan dapat kembali ke Yathrib
bila kurma mereka nanti sudah  berbuah;  mereka  akan  memetik
buah  kurma  itu  lalu kembali ke tempat mereka semula. Mereka
tidak akan mengalami banyak kerugian
 
"Tidak," kata Huyayy b. Akhtab pemimpin  mereka.  "Malah  kita
yang  harus  mengirim  pesan kepada Muhammad: bahwa kita tidak
akan meninggalkan kampung kita dan harta-benda kita.  Terserah
apa  yang  akan diperbuat. Kita hanya tinggal memperbaiki kubu
kita; kita akan memasuki tempat ini  sesuka  hati  kita.  Kita
akan  membiasakan  memakai  jalan-jalan  kita,  kita pindahkan
batu-batu ke tempat itu. Persediaan makanan  kita  cukup  buat
setahun,  air  pun  tidak pernah terputus. Muhammad tidak akan
mengepung kita setahun penuh."
 
Tetapi sepuluh hari sudah lampau.  Mereka  tidak  juga  keluar
dari perkampungan itu.
 
Dengan  membawa  senjata  pihak Muslimin selama duabelas malam
bertempur  melawan  mereka.  Ketika  itu  bila  sudah   tampak
Muslimin  di jalan-jalan atau di rumah-rumah, mereka mundur ke
rumah berikutnya  sesudah  rumah-rumah  itu  mereka  robohkan.
Kemudian  Muhammad  memerintahkan sahabat-sahabatnya menebangi
pohon-pohon  kurma  kepunyaan  orangorang  Yahudi  itu,   lalu
membakarnya. Dengan demikian orang-orang Yahudi itu tidak akan
terlalu  terikat  pada  harta-bendanya  lagi  dan  tidak  akan
terlalu bersemangat mau berperang
 
Dengan tidak sabar orang-orang Yahudi itu berteriak:
 
"Muhammad!  Tuan  melarang  orang berbuat kerusakan. Tuan cela
orang yang berbuat begitu.  Tetapi  kenapa  pohon-pohon  kurma
ditebangi dan dibakar?!"
 
Dalam hal ini firman Tuhan turun:
 
"Mana  pun  pohon  kurma  yang  kamu  tebang atau kamu biarkan
berdiri dengan batangnya, adalah dengan ijin Allah  juga,  dan
karena  Ia  hendak  mencemoohkan  mereka  yang melanggar hukum
itu."(Qur'an, 59: 5)
 
Sia-sia saja rupanya pihak Yahudi itu menunggu adanya  bantuan
dari  Abdullah  b.  Ubayy atau pertolongan yang mungkin datang
dan salah satu golongan Arab.  Sekarang  mereka  yakin,  bahwa
mereka  hanya  akan  beroleh  nasib  buruk  saja apabila terus
bersitegang hendak berperang. Setelah  ternyata  mereka  dalam
putus-asa dan ketakutan, mereka meminta damai kepada Muhammad,
meminta  jaminan  keamanan  atas  harta-benda,   darah   serta
anak-anak keturunan mereka; sampai mereka keluar dari Medinah.
Muhammad pun mengabulkan permintaan mereka; asal mereka keluar
dari  kota  itu:  Setiap  tiga orang diberi seekor unta dengan
muatan harta-benda; persediaan makanan dan minuman sesuka hati
mereka.  Di  luar itu tidak ada. Pihak Yahudi menerima. Mereka
dipimpin oleh Huyayy b. Akhtab.
 
Dalam perjalanan itu mereka ada yang berhenti di Khaibar, yang
lain  meneruskan  perjalanan  sampai  ke  Adhri'at di bilangan
Syam.  Harta-benda  yang  mereka  tinggalkan  menjadi   barang
rampasan Muslimin yang terdiri dari hasil bumi, senjata berupa
50 buah baju besi, 340 bilah pedang, di  samping  tanah  milik
orang-orang  Yahudi itu. Tetapi tanah ini tidak dapat dianggap
sebagai   rampasan   perang;   oleh   karenanya   tak    dapat
dibagi-bagikan  kepada  kaum  Muslimin,  melainkan  khusus  di
tangan  Rasulullah  yang  nantinya  akan  ditentukan   sendiri
menurut    kebijaksanaannya.    Dan    tanah    itu   kemudian
dibagi-bagikan kepada golongan Muhajirin yang pertama di  luar
golongan   Anshar,  setelah  dikeluarkan  bagian  khusus  yang
hasilnya akan menjadi hak fakir-miskin. Dengan  demikian  kaum
Muhajirin  itu  tidak  perlu  lagi harus menerima bantuan kaum
Anshar dan inipun sudah menjadi harta  kekayaan  mereka.  Dari
pihak  Anshar  yang turut mendapat bagian hanya Abu Dujana dan
Sahl b. Hunaif, yang sudah terdaftar sebagai orang miskin.
 
Muhammad memberikan bagian kepada mereka  ini  seperti  kepada
kaum Muhajirin.
 
Dari  golongan  Yahudi  Banu Nadzir sendiri tak ada yang masuk
Islam kecuali dua  orang.  Mereka  masuk  Islam  karena  harta
mereka, yang kemudian mereka peroleh kembali.
 
Tidak begitu sulit orang akan menilai arti kemenangan Muslimin
serta pengosongan Banu Nadzir dari Medinah itu,  setelah  kita
kemukakan  betapa  Rasul  .a.s.  memperhitungkan, bahwa adanya
mereka  di  tempat  itu   akan   memberikan   semangat   dalam
menimbulkan  bibit-bibit  fitnah,  akan  mengajak  orang-orang
munafik itu mengangkat  kepala  setiap  mereka  melihat  pihak
Muslimin  mendapat  bencana  dan  mengancam  timbulnya  perang

saudara bila saja ada musuh menyerang kaum Muslimin.
 
Tentang perginya Banu Nadzir itu Surah Hasyr (59) ini turun:
 
"Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang bersikap munafik,
yang  berkata  kepada saudara-saudaranya yang tak beriman dari
kalangan Ahli Kitab: Kalau kamu diusir  keluar,  niscaya  kami
pun  akan keluar bersama kamu, dan tidak sekali-kali kami akan
dipengaruhi oleh siapa pun  menghadapi  persoalanmu  ini;  dan
kalau kamu dipengaruhi niscaya kami pun akan membelamu. Tetapi
Tuhan  mengetahui,  bahwa  mereka  adalah   pendusta   belaka.
Kalaupun  mereka ini diusir keluar, mereka pun tidak akan ikut
bersama-sama keluar, juga kalau mereka ini  diperangi,  mereka
pun  tidak  akan  turut  membantu.  dan kalaupun mereka sampai
membantu, niscaya mereka akan  lari  mengundurkan  diri;  lalu
mereka  ini  tidak  mendapat  pertolongan.  Sungguh dalam hati
mereka kamu sangat ditakuti lebih dari Allah. Demikian itulah,
sebab  mereka  adalah  golongan yang tidak mengerti." (Qur'an,
59: 11-13)
 
Kemudian  Surah  itu  dilanjutkan  dengan  memberi  keterangan
tentang   iman  dan  kekuasaannya.  Iman  hanya  kepada  Allah
semata-mata. Bagi jiwa  manusia,  yang  tahu  harga  diri  dan
kehormatan dirinya, yang dikenalnya hanyalah kekuasaan Tuhan.
 
"Dialah  Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha mengetahui segala
yang gaib dan yang nyata. Dia Pengasih dan  Penyayang.  Dialah
Allah.  Tiada tuhan selain Dia. Maha Raja, Maha Kudus. Pembawa
Keselamatan, Keamanan, Penjaga  segalanya,  Maha  Kuasa,  Maha
Perkasa,  Maha  Agung. Maha Suci Allah dari segala yang mereka
persekutukan.  Dialah  Allah.  Pencipta,  Pengatur,  Pembentuk
rupa,  PadaNyalah  ada  Asma  Yang  Indah.  Segala yang ada di
langit dan di bumi berbakti kepadaNya.  Dan  Dia  Maha  Kuasa,
Maha Bijaksana." (Qur'an, 59: 22 - 24)
 
Sampai  pada  waktu  dikosongkannya  Medinah dari Banu Nadzir,
yang menjadi sekretaris Nabi ketika itu  ialah  orang  Yahudi.
Hal  ini  dimaksudkan  untuk memudahkan pengiriman surat-surat
dalam bahasa Ibrani dan  Asiria.  Tetapi  setelah  orang-orang
Yahudi  keluar,  Nabi  jadi kuatir kalau jabatan yang memegang
rahasianya itu bukan di  tangan  orang  Islam.  Dari  kalangan
pemuda  Islam  di  Medinah  dimintanya  Zaid  b. Thabit supaya
mempelajari kedua bahasa tersebut, yang  dalam  segala  urusan
kemudian  ia  akan menjadi sekretaris Nabi. Dan Zaid b. Thabit
inilah yang telah mengumpulkan Qur'an pada masa  khilafat  Abu
Bakr,  dan  dia  pula  yang  kembali dan mengawasi pengumpulan
Qur'an  tatkala  terjadi  perbedaan  cara  membaca  pada  masa
pemerintahan  Usman.  Lalu  yang  dipakai hanya Mushhaf Usman,
yang lain dibakar.
 
Suasana Medinah  jadi  tenteram  setelah  Yahudi  Banu  Nadzir
keluar.  Pihak  Muslimin  tidak  lagi  merasa  takut  terhadap
orang-orang  munafik.  Bahkan  kaum  Muhajirin  bersuka   hati
memperoleh  tanah  bekas orang-orang Yahudi itu. Juga kalangan
Anshar  turut  gembira  karena  Muhajirin  sudah  tidak   lagi
bergantung pada bantuan mereka. Hati mereka semua merasa lega.
Dalam suasana yang begitu  tenang,  aman  dan  tenteram,  baik
Muhajirin  maupun  Anshar,  semua  mereka merasa senang. Dalam
pada mereka dalam  keadaan  demikian,  setelah  berlalu  waktu
setahun   sejak   peristiwa   Uhud,   teringat  oleh  Muhammad
'alaihi'sh  shalatu  was-salam  -  ucapan  Abu  Sufyan:  "Yang
sekarang  ini  untuk peristiwa perang Badr. Sampai jumpa tahun
depan!"  serta  ajakannya  kepada  Muhammad  untuk  mengadakan
perang Badr lagi. Tetapi tahun itu sedang terjadi musim kering
(paceklik). Harapan Abu  Sufyan  ialah  sekiranya  perang  itu
diadakan dalam waktu lain saja.
 
Untuk  itu  diutusnya  Nusaim  (b.  Mas'ud)  ke Medinah dengan
mengatakan  kepada  pihak  Muslimin,   bahwa   Quraisy   telah
mengerahkan  tentaranya  begitu  besar  yang belum ada taranya
dalam sejarah Arab; sudah siap  akan  memerangi  mereka,  akan
menghancur-luluhkan  mereka  sehingga tidak akan tersisa lagi.
Tampaknya kaum Muslimin pun mau menghindari bahaya itu. Banyak
diantara  mereka yang memperlihatkan keengganan pergi ke Badr.
Tetapi Muhammad jadi marah karena sikap lemah  dan  mau  surut
itu.  Ia  bersumpah  mengatakan  kepada  mereka, bahwa ia akan
pergi juga ke Badr walaupun seorang diri.
 
Melihat kejengkelan yang luar  biasa  itu  segala  sikap  maju
mundur  dan  perasaan takut-takut segera lenyap. Kaum Muslimin
sekarang siap memanggul senjata dan berangkat ke  Badr.  Dalam
hal  ini  pimpinan  kota  Medinah  oleh Nabi diserahkan kepada
Abdullah b. Abdullah b. Ubayy b. Salul.
 
Muslimin  yang  sudah  sampai  di  Badr,  sekarang  menantikan
kedatangan Quraisy. Mereka sudah siap bertempur. Demikian juga
pihak Quraisy dengan pimpinan Abu Sufyan sudah pula  berangkat
dari Mekah dengan kekuatan 2000 orang. Tetapi sesudah dua hari
perjalanan  tampaknya  Abu  Sufyan  mau  kembali  pulang.   Ia
memanggil-manggil teman-temannya sambil katanya:
 
"Saudara-saudara dari Quraisy, sebenarnya yang cocok buat kita
hanyalah dalam musim subur, sedang sekarang kita  dalam  musim
kering.  Saya  sendiri mau kembali pulang. Maka pulang sajalah
kamu sekalian."
 
Mereka itu kembali pulang.
 
Tinggal lagi Muhammad dengan tentara Muslimin  selama  delapan
hari  terus-menerus menantikan mereka, yang selama di Badr itu
pula waktu  mereka  pergunakan  sambil  berdagang.  Dan  dalam
perdagangan  itu  mereka  mendapat  laba.  Mereka  kembali  ke
Medinah pun kemudian dengan gembira,  telah  mendapat  karunia
dari Tuhan. Dalam Badr Terakhir itulah firman Tuhan ini turun:
 
"Mereka yang berkata kepada teman-temannya, dan mereka sendiri
tinggal di belakang:  'Sekiranya  mereka  itu  mengikut  kita,
niscaya  mereka  takkan  mati  terbunuh.'  Katakanlah: Cobalah
hindarkan dirimu dari kematian, kalau memang kamu  orang-orang
yang  benar.  Jangan  kamu  kira  orang-orang yang terbunuh di
jalan Allah itu sudah mati. Tidak!  Mereka  itu  hidup  dengan
mendapat  bagian  dari  Tuhan.  Mereka  dalam  suasana gembira
karena karunia yang diberikan Tuhan juga; mereka girang sekali
terhadap mereka yang tidak ikut dan tinggal di belakang, bahwa
mereka tidak merasa takut dan tidak pula  berdukacita.  Mereka
girang  karena  karunia  dan nikmat Tuhan dan Tuhan tidak akan
menghilangkan jasa orang-orang beriman, orang-orang yang telah
memenuhi  panggilan,  Tuhan  dan  Rasul  meskipun mereka sudah
mengalami malapetaka, orang-orang yang berbuat baik dan  dapat
memelihara  diri  dari  kejahatan;  mereka  itulah  yang  akan
mendapat pahala besar. Orang yang sudah berkata kepada mereka:
'Sebenarnya  orang-orang  sudah berkumpul hendak melawan kamu.
Karena itu hendaklah kamu takut kepada mereka. Tetapi hal  ini
bahkan  menambah  kuat  iman  mereka,  dan jawab mereka: Cukup
Tuhan bersama  kami  dan  Ia  Pelindung  yang  sebaik-baiknya.
Mereka  kembali  mendapatkan  nikmat  dan  karunia dari Tuhan.
Mereka tidak mengalami bencana, dan mereka mengikut  perkenaan
Allah.  Dan  Allah  Maha  Pemberi  karunia  yang  besar.  Yang
demikian    itu    hanyalah    setan    yang    menakut-nakuti
pengikut-pengikutnya.  Jangan  kamu  takut kepada mereka, tapi
takutlah  kepadaKu,   kalau   benar-benar   kamu   orang-orang
beriman." (Qura'an, 3: 168 - 175)
 
Dengan  demikian  perang  Badr yang terakhir benar-benar telah
menghapus pengaruh perang Uhud samasekali. Buat Quraisy  hanya
tinggal  lagi  menunggu  kesempatan  lain, dengan tetap mereka
bergelimang dalam  kecemaran  karena  sifat  pengecutnya  yang
tidak  kurang cemarnya dari kekalahan yang mereka derita dalam
perang Badr pertama.
 
Dengan pertolongan Tuhan itu Muhammad merasa lega  tinggal  di
Medinah,  merasa  tenteram  hatinya karena kewibawaan Muslimin
kini  telah  kembali.  Sungguhpun  begitu  ia  selalu  waspada
terhadap  segala  tipu-muslihat  musuh,  selalu  awas-awas  ke
segenap jurusan.
 
Sementara  dalam  keadaan  demikian  itu,  tiba-tiba  terbetik
berita,  bahwa  ada sebuah kelompok dari Ghatafan di Najd yang
sedang bersepakat hendak memeranginya.  Dan  taktiknya  selalu
dalam  hal  ini ialah menyergap musuh secara tiba-tiba sebelum
musuh itu sempat  mengadakan  persiapan  mempertahankan  diri.
Oleh  karena  itulah,  dengan  kekuatan  empat  ratus orang ia
berangkat  menuju  Dhat'r-Riqa'.  Di  tempat  ini  pihak  Banu
Muharib  dan  Banu  Tha'laba  dari  Ghatafan  sudah berkumpul.
Begitu  ia  dilihat  oleh  mereka,   ia   langsung   melakukan
penyerbuan  ke  tempat-tempat  mereka itu. Dengan meninggalkan
kaum wanita dan harta, mereka lari tunggang-langgang. Apa yang
dapat  dibawa  oleh  Muslimin  dibawanya,  dan  mereka kembali
pulang ke Medinah.
 
Akan tetapi,  karena  dikuatirkan  pihak  musuh  akan  kembali
menyerang  mereka,  siang  malam  mereka pun secara bergantian
mengadakan penjagaan. Dalam pada itu dalam memimpin sembahyang
juga  oleh  Muhammad  dilakukan dengan salat khauf.1 Dalam hal
ini  sebagian  mereka  menghadap  ke  jurusan  musuh,   karena
dikuatirkan kalau-kalau pihak musuh menyusul menyerang mereka,
sementara mereka sedang bersembahyang dua raka'at bersama-sama
Muhammad  itu. Akan tetapi selama itu tidak ada bayangan musuh
yang tampak. Kemudian  Nabi  dan  sahabat-sahabat  kembali  ke
Medinah  setelah  15 hari meninggalkan kota itu. Dengan sukses
demikian ini mereka kembali dengan gembira sekali.
 
Tidak lama sesudah itu Nabi pun  berangkat  lagi  dalam  suatu
ekspedisi,  yakni ekspedisi Dumat'l-Jandal. Dumat'l-Jandal ini
adalah sebuah wahah (oasis) pada perbatasan  Hijaz-Syam,  yang
terletak pada pertengahan jalan antara Laut Merah dengan Teluk
Persia.  Muhammad  sendiri   tidak   sampai   bertemu   dengan
kabilah-kabilah  yang  ingin  dihadapinya  itu  dan  yang suka
menyerang kafilah-kafilah di sana; sebab baru mereka mendengar
namanya  saja,  mereka  sudah  ketakutan dan sudah kabur lebih
dulu, dengan meninggalkan harta  benda  yang  kemudian  dibawa
Muslimin sebagai barang ghanima (rampasan perang). Berdasarkan
batas Dumat'l-Jandal secara geografis kita sudah dapat melihat
betapa  luasnya  pengaruh Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu,
betapa  jauhnya  kekuasaan  mereka  dan  betapa  pula  seluruh
jazirah  itu  merasa takut. Begitu juga kita melihat bagaimana
Muslimin   itu   menanggung   segala   macam    beban    dalam
ekspedisi-ekspedisi  itu,  dengan  tidak pedulikan panas terik
yang rnembakar, tanah yang kering dan gersang, air yang  sukar
diperoleh, bahkan maut sendiri pun tidak lagi mereka hiraukan.
Hanya satu yang menggerakkan mereka sampai mencapai kemenangan
dan  sukses  itu,  yang telah memberikan kekuatan moril kepada
mereka, yaitu: keteguhan iman, iman yang  hanya  kepada  Allah
semata-mata.
 
Sekarang  tiba  waktunya buat Muhammad beristirahat di Medinah
untuk selama beberapa bulan berikutnya,  sementara  menantikan
Quraisy  sampai  tahun  depan  -  tahun  kelima  Hijrah  - dan
menjalankan  perintah  Tuhan   menyelesaikan   suatu   susunan
masyarakat  bagi  umat  Islam  yang  baru  tumbuh  itu,  suatu
organisasi yang pada waktu itu meliputi  beberapa  ribu  orang
dan  yang  kemudian  akan  meliputi jutaan bahkan ratusan juta
umat  Islam.  Dalam  membuat  struktur  masyarakat   itu,   ia
bertindak  dengan  cara  yang  begitu  cermat dan baik sekali,
sejalan dengan  wahyu  Tuhan  yang  diberikan  kepadanya,  dan
ditentukannya   sendiri  pula  mana-mana  yang  sesuai  dengan
perintah dan  ajaran  wahyu  itu,  dengan  ketentuan-ketentuan
terperinci  yang  oleh  sahabat-sahabat  pada waktu itu diberi
tempat yang suci, dan  yang  selanjutnya  akan  tetap  berlaku
begitu  sepanjang masa dan generasi; wahyu yang tiada dimasuki
kepalsuan dari manapun juga, baik dari semula  maupun  sesudah
itu.
 
Catatan kaki:
 
1 Shalat'l-khauf, harfiah salat ketakutan, yakni
sembahyang darurat dalam keadaan bahaya. Syarat-syarat
dan ketentuan-ketentuannya terdapat dalam buku-buku
fikih (A).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar