Selasa, 20 Maret 2012

# Sejarah Hidup Muhammad Saw (27) #


Sejarah Hidup Muhammad Saw

(27)

BAGIAN KEDUAPULUH TUJUH: TABUK DAN KEMATIAN IBRAHIM

Ketentuan Zakat dan Kharaj - Berita Romawi bersiap-siap  -
Seruan Muhammad menghadapi Romawi  -  Muslimin  menyambut
seruan  Rasul  -  Mereka  yang  tinggal  dibelakang  dan
Orang-orang Munafik  -  Muhammad bersikap tegas - Tentara
Romawi - Jalan ke Syam yang panas membakar - Rumawi  menarik
diri  ketakutan  -  Perjanjian dengan Yohanna dan para amir
perbatasan - Kembali ke Medinah - Ibrahim sakit -  Muhammad
meratapi kematian Ibrahim.
 
PERISTIWA rumah-tangga serta ketegangan dan kegelisahan yang
timbul antara  Nabi  dengan  isteri-isterinya  tidak  sampai
mengubah   segala  sesuatu  mengenai  masalah-masalah  umum.
Setelah Mekah dibebaskan  dan  penduduk  kota  itu  menerima
Islam,  sekarang masalah-masalah umum itu sudah terasa makin
penting  sekali.  Seluruh  masyarakat   Arab   sudah   mulai
merasakan  betapa  pentingnya  hal itu. Rumah Suci itu sudah
merupakan  tempat  suci  buat  orang  Arab,  tempat   mereka
berziarah  sejak  berabad-abad  lamanya.  Rumah Suci ini dan
segala sesuatunya yang berhubungan dengan itu  -  penjagaan,
penyediaan  makanan  dan  air serta hal-hal yang berhubungan
dengan masalah haji dari pelbagai macam upacara  -  sekarang
berada  di  tangan Muhammad dan di bawah undang-undang agama
baru ini. Sudah  tentu  sekali  dengan  dibebaskannya  Mekah
masalah-masalah   umum   di   kalangan  Muslimin  akan  jadi
bertambah,  dan  kaum  Muslimin  pun  akan  bertambah   pula
merasakan  akan  adanya  pengaruh  mereka  di segala pelosok
jazirah. Dengan bertambahnya masalah-masalah umum ini dengan
sendirinya   akan   bertambah  pula  pengeluaran-pengeluaran
masyarakat umum itu.
 
Oleh karena  itu  kaum  Muslimin  harus  mengeluarkan  zakat
'usyr1  dan  orang-orang  Arab  yang  masih  bertahan dengan
jahiliahnya diharuskan pula membayar kharaj  (pajak  tanah).
Hal  ini  menimbulkan kegelisahan di kalangan mereka; kadang
mereka  menggerutu,  bahkan   lebih   dari   hanya   sekadar
menggerutu.  Akan  tetapi,  peraturan  baru yang berhubungan
dengan agama baru ini, soal pemungutan 'usyr dan  kharaj  di
seluruh  jazirah  belum merupakan suatu jalan ke luar. Untuk
maksud itu Muhammad kemudian mengutus  sahabat-sahabatnya  -
tak  lama  setelah  ia  kembali  dari Mekah - untuk memungut
'usyr dari penghasilan  para  kabilah  yang  sudah  beragama
Islam  tanpa  mengusik-usik  modal  pokok.  Mereka semua itu
berangkat menuju tujuannya masing-masing, dan  para  kabilah
itu pun menyambut mereka dengan ramah sekali dan zakat 'usyr
itu pun dibayarnya dengan segala senang hati. Tak ada  pihak
yang  mau  mengelak  dari itu selain daripada anak-suku dari
Banu Tamim dan Banu'l-Mushtaliq. Sementara zakat  'usyr  itu
dikenakan  kepada  kabilah-kabilah  dekat kabilah Banu Tamim
yang mereka laksanakan berupa ternak  dan  harta,  tiba-tiba
Banu'l-'Anbar  [anak  suku  Banu  Tamim], sebelum mereka itu
dimintai zakat, mereka sudah siap membawa tombak dan  pedang
mengusir petugas itu dari daerahnya.
 
Setelah  berita  ini  disampaikan kepada Muhammad, ia segera
menugaskan  'Uyaina  b.  Hishn  memimpin  lima  puluh  orang
anggota  pasukan berkuda. Mereka diserbu dengan tiada setahu
mereka dan mereka pun lari tunggang-langgang.    Lebih  dari
limapuluh orang terdiri dari laki-laki, wanita dan anak-anak
menjadi tawanan, dan mereka ini dibawa  pulang  ke  Medinah.
Tawanan  itu  oleh Nabi dipenjarakan. Di kalangan Banu Tamim
ini sudah  ada  sejumlah  kaum  Muslimin  yang  pernah  ikut
berperang  di  samping  Nabi  dalam membebaskan Mekah dan di
Hunain. Yang sebagian lagi masih tetap dalam jahiliah.
 
Setelah mengetahui apa  yang  terjadi  terhadap  kawan-kawan
mereka  dari Banu'l-'Anbar itu, mereka mengirimkan utusan ke
Medinah, terdiri dari  pemuka-pemuka  mereka  sendiri.  Bila
mereka sudah sampai di mesjid, mereka memanggil-manggil Nabi
dari luar kamar:  Muhammad,  keluarlah  ke  mari.  Panggilan
mereka  ini sangat mengganggu Nabi. Sebenarnya ia tidak akan
keluar menemui mereka, kalau tidak  karena  terdengar  suara
azan  sembahyang  lohor.  Begitu mereka melihat Nabi, segera
mereka melaporkan apa yang telah dilakukan 'Uyaina  terhadap
golongan mereka itu. Juga mereka melaporkan tentang beberapa
orang  yang  sudah  masuk  Islam  dan  pernah  berjuang   di
sampingnya,  selanjutnya  dikatakan  betapa kedudukan mereka
itu di tengah-tengah masyarakat Arab.
 
"Kami kemari hendak berlumba," kata  mereka  lagi.  "Berilah
ijin kepada penyair dan orator kami."
 
Kemudian  juru  pidato  mereka,  'Utarid b. Hajib berpidato.
Setelah selesai, Rasulullah memanggil Thabit b.  Qais  untuk
membalasnya.  Seterusnya penyair mereka, Az-Zabriqan b. Badr
membacakan sajak-sajak yang kemudian dibalas oleh Hassan  b.
Thabit.  Setelah  selesai  perlombaan  itu,  'Afra' b. Habis
berkata: Orang ini  memang  tepat  sekali.  Oratornya  lebih
ulung  dari  orator  kita, penyairnya juga lebih pandai dari
penyair kita dan suara mereka lebih nyaring dari suara kita.
Dan  rombongan  itu  pun menerima Islam. Tawanan-tawanan itu
oleh Nabi dibebaskan dan dikembalikan kepada mereka.
 
Ada pun Banu Mushtaliq, begitu mereka melihat pemungut zakat
dan  pajak,  mereka lari ketakutan. Kemudian mereka mengutus
orang kepada Nabi melaporkan, bahwa adanya  kekuatiran  yang
tidak  pada  tempatnya  itu  telah  menimbulkan adanya salah
paham.
 
Pengaruh  Muhammad  kini  sudah  mulai  terasa   sampai   ke
pelosok-pelosok  jazirah.  Setiap  ada golongan atau kabilah
yang mencoba-coba hendak melawan pengaruh  itu,  Nabi  sudah
siap  pula  mengirimkan  kekuatan  ke  sana dan mengharuskan
mereka tunduk membayar kharaj dengan tetap dalam kepercayaan
mereka, atau sebagai orang Islam dengan membayar zakat.
 
Sementara  perhatiannya  sedang diarahkan ke seluruh jazirah
Arab  supaya  jangan  lagi  ada  pihak   yang   akan   dapat
menggoyahkan,   dan   keamanan   di   seluruh   wilayah  itu
benar-benar aman sampai ke  pelosok-pelosok,  tiba-tiba  ada
berita  sampai kepadanya dari pihak Rumawi, bahwa negara itu
sedang  menyiapkan  sebuah  pasukan  tentara   yang   hendak
menyerang  perbatasan tanah Arab sebelah utara, dengan suatu
serangan yang akan membuat orang lupa akan penarikan  mundur
yang  secara  cerdik dilakukan pihak Arab di Mu'ta dulu itu.
Juga akan membuat orang lupa  akan  pengaruh  Muslimin  yang
deras   maju  ke  segenap  penjuru  yang  hendak  membendung
kekuasaan Rumawi di  Syam  dan  kekuasaan  Persia  di  Hira.
Berita   itu  tiba  sudah  begitu  konkrit.  Ia  tidak  lagi
ragu-ragu  dalam  mengambil  kesempatan   ini.   Ia   hendak
menghadapi  sendiri  kekuatan  itu dan akan menghancurkannya
sekali dengan  mengikis  habis  setiap  harapan  dalam  hati
pemimpin-pemimpin mereka yang bermaksud hendak menyerang dan
mengganggu kawasan itu.
 
Ketika itu musim panas belum berakhir. Suhu panas musim pada
awal  musim rontok yang sampai pada titik yang sangat tinggi
itu merupakan musim maut yang  sangat  mencekam  di  wilayah
padang  pasir. Di samping itu memang perjalanan dari Medinah
ke Syam, selain perjalanan yang panjang  juga  sangat  sukar
sekali   ditempuh.  Perlu  ada  keuletan,  persediaan  bahan
makanan dan air. Jadi, tidak ada jalan lain  Muhammad  harus
memberitahukan  niatnya  hendak  berangkat menghadapi Rumawi
itu kepada umum; supaya mereka juga bersiap-siap. Tidak  ada
jalan  lain  juga  harus  menyimpang  pula dari kebiasaannya
dalam ekspedisi-ekspedisinya yang  sudah-sudah,  yang  dalam
memimpin   pasukannya  sering  ia  menuju  ke  jurusan  lain
daripada yang sebenarnya  dituju,  untuk  menyesatkan  pihak
musuh supaya berita perjalanannya itu tidak diketahui.
 
Kemudian    Muhammad   menyerukan   kepada   semua   kabilah
bersiap-siap   dengan   pasukan   yang   sebesar    mungkin.
Orang-orang  kaya  dari  kalangan  Muslimin  juga dimintanya
supaya ikut serta dalam menyiapkan pasukan itu dengan  harta
yang   ada   pada  mereka  serta  mengerahkan  orang  supaya
sama-sama menggabungkan diri ke dalam  pasukan  itu.  Dengan
demikian,  itu  akan  berarti  sekali sehingga dapat membawa
rasa cemas kedalam jiwa pihak Rumawi,  yang  sudah  terkenal
oleh banyaknya jumlah orang dan besarnya perlengkapan.
 
Bagaimana  gerangan kaum Muslimin menyambut seruan ini, yang
berarti harus meninggalkan  isteri,  anak  dan  harta-benda,
dalam  panas  musim  yang  begitu  dahsyat, dalam mengarungi
lautan tandus padang sahara, kering, air pun  tak  seberapa,
kemudian  harus pula menghadapi musuh yang sudah mengalahkan
Persia, dan belum dapat dikalahkan oleh kaum Muslimin?  Akan
tetapi  iman  mereka,  kecintaan  mereka kepada Rasul, serta
kemesraan kepada agama, mereka pun terjun  menyambut  seruan
itu,  berangkat  dalam  satu  arak-arakan yang rasanya dapat
menyempitkan ruang padang  sahara  itu,  sambil  mengerahkan
semua harta dan ternak mereka, siap dengan senjata ditangan,
dengan  debu  yang  sudah  mengepul,  yang   begitu   sampai
beritanya  kepada musuh, mereka akan lari tunggang-langgang.
Ataukah barangkali perjalanan  yang  begitu  sulit  itu,  di
bawah  lecutan  udara panas, dibawah ancaman lapar dan haus,
mereka akan jadi enggan dan kembali surut?
 
Dua perasaan itu di kalangan Muslimin ada  pada  waktu  itu.
Ada  yang  menyambut  agama  ini dengan hati yang bersemarak
cahaya dan  bimbingan  Tuhan,  hati  yang  sudah  berkilauan
cahaya iman, dan ia sudah tidak mengenal yang lain. Ada yang
masuk agama dengan suatu harapan, dan  dengan  rasa  gentar.
Mereka    mengharapkan   harta   rampasan   perang,   karena
kabilah-kabilah  itu  sudah  tak  berdaya  menahan   serbuan
Muslimin,  lalu mereka menyerah dan bersedia membayar jizya2
dengan taat dan patuh. Yang merasa  gentar  karena  kekuatan
ini  dapat  menghantam kekuatan lain yang merintanginya, dan
ditakuti kekuasaannya oleh setiap  raja.  Golongan  pertama,
dengan segera mereka itu berbondong-bondong menyambut seruan
Rasulullah. Ada orang miskin  dari  mereka  itu,  tidak  ada
binatang beban yang akan ditungganginya, ada pula orang yang
kaya  raya,  menyerahkan   semua   harta   kepadanya   untuk
diserahkan  kepada  perjuangan  di  jalan Allah, dengan hati
ikhlas, dengan harapan akan gugur  pula  sebagai  syahid  di
sisi  Tuhan.  Sedang yang lain masih berat-berat langkah dan
mulai mereka itu mencari-cari alasan, sambil  berbisik-bisik
sesama  mereka  dan  mencemooh ajakan Muhammad kepada mereka
untuk menghadapi suatu peperangan  yang  jauh,  dalam  udara
yang begitu panas membakar.
 
Itulah  mereka  orang-orang  munafik,  yang  karenanya Surah
At-Taubah turun, yang berisi ajakan perjuangan  yang  paling
besar  dan  tegas-tegas  menyampaikan  ancaman  Tuhan kepada
mereka yang membelakangi ajakan Rasulullah.
 
Ada sekelompok orang-orang munafik yang  berkata  satu  sama
lain: Jangan kalian berangkat perang dalam udara panas. Maka
firman Tuhan ini turun:
 
"É dan mereka berkata: "Jangan kamu berangkat  perang  dalam
udara  panas  begini.'  Tapi  katakanlah:  'Api neraka lebih
panas lagi, kalau  kamu  mengerti!  Biarlah  mereka  tertawa
sedikit dan menangis lebih banyak sebagai balasan atas hasil
perbuatan mereka." (Qur'an, 9: 81-82)
 
Kata Muhamnmad kepada Jadd b.  Qais  -  salah  seorang  Banu
Salima:
 
"Hai    Jadd,   engkau   bersedia   tahun   ini   menghadapi
Banu'l Ashfar?"
 
"Rasulullah," kata  Jadd.    "Ijinkanlah  saya  untuk  tidak
dibawa  ke  dalam  ujian  serupa  ini. Masyarakat saya sudah
cukup mengenal,  bahwa  tak  ada  orang  yang  lebih  berahi
terhadap  wanita  seperti saya ini. Kuatir saya, bahwa kalau
saya melihat wanita-wanita Banu'l-Ashfar, saya takkan  dapat
menahan diri." [Banu'lAshfar ialah bangsa Rumawi].
 
Oleh  Rasulullah  ia  ditinggalkan.  Dalam hubungan ini ayat
berikut ini turun:
 
"Ada pula di antara mereka yang  berkata:  'Ijinkanlah  saya
(tidak  ikut  serta)  dan jangan kaubawa saya ke dalam ujian
ini.' Ya, ketahuilah, mereka kini sudah  terjatuh  ke  dalam
ujian  itu,  dan  bahwa  neraka  itu melingkungi orang-orang
kafir." (Qur'an, 9:49)
 
Orang-orang yang memang sudah membawa bibit-bibit  kebencian
dalam  hatinya  kepada Muhammad, mereka mengambil kesempatan
dalam peristiwa ini supaya orang-orang  munafik  itu  tambah
munafik dan menghasut orang supaya tinggal di belakang medan
perang. Muhammad melihat bahwa mereka itu tak  dapat  diberi
hati,  kuatir  nanti  akan  merajalela.  Ia berpendapat akan
mengambil tindakan terhadap mereka dengan  tangan  besi.  Ia
mengetahui,  bahwa  banyak  orang  berkumpul di rumah Sulaim
orang Yahudi itu. Mereka  mau  mengalang-alangi  orang,  mau
menanamkan  rasa  enggan  dalam hati orang dan supaya mereka
tinggal saja di garis  belakang.  Didampingi  oleh  beberapa
orang sahabat ia mengutus Talha b. 'Ubaidillah kepada mereka
dan rumah Sulaim itu  dibakar.  Salah  seorang  dari  mereka
patah kakinya ketika ia melarikan diri dari dalam rumah itu.
Yang  lain-lain  langsung  menerobos  api  itu   dan   dapat
meloloskan diri.
 
Tetapi  mereka sudah tidak lagi mengulangi perbuatan semacam
itu. Bahkan itu menjadi contoh buat yang lain.  Sesudah  itu
tak ada lagi orang berani melakukan perbuatan demikian.
 
Tindakan  tegas  terhadap  orang-orang  munafik itu ada juga
bekasnya. Dalam mempersiapkan pasukan itu  orang-orang  kaya
dan  orang-orang  berada  telah  pula  datang  menyumbangkan
hartanya dalam jumlah yang cukup besar. Usman b. 'Affan saja
sendiri  menyumbang seribu dinar, dan banyak lagi yang lain,
masing-masing menurut kemampuannya. Setiap orang yang  mampu
tampil   dengan   perlengkapan   dan   biaya  sendiri  pula.
Orang-orang yang tidak punya juga banyak yang  datang  ingin
dibawa  serta oleh Nabi. Mereka yang mampu oleh Nabi dibawa,
sedang kepada yang lain ia  berkata:  "Dalam  hal  ini  saya
tidak mendapat kendaraan yang akan dapat membawa kamu."

Dengan   demikian   mereka   pun   kembali,  kembali  dengan
bercucuran airmata. Mereka sedih, karena tak ada  pula  yang
dapat  mereka  sumbangkan. Karena tangisan mereka itu mereka
diberi nama Al-Bakka'un (orang-orang yang menangis). Pasukan
yang sudah berkumpul mendampingi Muhammad ini - yang disebut
Pasukan 'Usra karena  kesukaran  yang  dialami  sejak  mulai
dibangun  - sebanyak tigapuluh ribu Muslimin. Dalam menunggu
Muhammad kembali dari mengurus beberapa masalah di  Medinah,
sementara dia tidak ada, di tengah-tengah pasukan yang sudah
berkumpul  itu  Abu  Bakrlah  yang  bertindak  sebagai  imam
sembahyang.
 
Sekarang,  setelah  masalah-masalah  dalam  kota  diserahkan
kepada Muhammad b. Maslama; dan Ali b.  Abi  Talib  diserahi
urusan  keluarga  dan  disuruhnya  ia tinggal dengan mereka.
Setelah segala  sesuatunya  sudah  dianggap  beres,  ia  pun
kembali  ke  tempat  semula  memimpin  pasukan.  Ketika  itu
Abdullah b. Ubayy juga  sudah  siap  dengan  sebuah  pasukan
terdiri  dari  golongannya sendiri, akan berangkat disamping
pasukan Muhammad. Akan tetapi  menurut  Nabi,  Abdullah  dan
pasukannya  itu  supaya  tetap di Medinah saja karena selain
kurang dapat dipercaya imannya juga ia tidak kuat.
 
Setelah mendapat perintah, pasukan itu pun  berangkat,  debu
dan  pasir  halus  mengepul-ngepul  ke  udara diselingi oleh
ringkik kuda.  Wanita-wanita  Medinah  pergi  naik  ke  atas
loteng  hendak menyaksikan pasukan tentara yang dahsyat ini,
berangkat hendak menerobos  padang  sahara  menuju  ke  arah
Syam;  yang demi di jalan Allah, tidak mereka pedulikan lagi
udara panas, rasa  dahaga  dan  lapar,  dengan  meninggalkan
mereka   yang  mau  duduk-duduk  dan  tinggal  di  belakang,
orang-orang yang lebih suka tinggal di tempat yang teduh dan
bersenang-senang  daripada  suatu  ujian iman dan perkenanan
Tuhan. Pasukan tentara yang  telah  didahului  oleh  sepuluh
ribu pasukan berkuda serta kaum wanita yang begitu terpesona
menyaksikan segala kebesaran dan  kekuatan  itu,  suasananya
telah  dapat  menggerakkan  hati beberapa orang yang tadinya
surut dalam  menerima  ajakan  Rasul  dan  tidak  mau  ikut.
Demikian  juga Abu Khaithama, setelah melihat suasana itu ia
kembali   pulang.   Kedua   orang   isterinya    dijumpainya
masing-masing sedang menyirami tempat ia berteduh dan sedang
mendinginkan air minum dan  menyediakan  makanan  buat  dia.
Setelah dilihatnya apa yang dilakukan wanita itu ia berkata:
 
"Rasulullah  dalam  terik  matahari,  angin dan udara panas,
sedang Abu Khaithama di  tempat  yang  teduh,  sejuk  dengan
makanan   dan   wanita   cantik   diam  di  rumah.  Sediakan
perbekalanku, aku akan menyusul."
 
Setelah bekal  yang  diperlukan  disediakan,  ia  pun  pergi
menyusul  pasukan tentara. Mungkin masih ada juga sekelompok
orang yang tinggal di belakang telah  pula  mengikuti  jejak
Abu  Khaithama,  setelah  mereka  menyadari  bahwa  tindakan
mereka  yang  hendak  mengelak  dan  takut-takut  itu  suatu
tindakan tercela dan hina.
 
Dalam  perjalanannya  tentara  itu  sudah sampai di Hijr. Di
tempat ini terdapat pula puing-puing bekas rumah-rumah  kaum
Thamud  yang  terukir  pada batu besar. Di tempat itu mereka
oleh  Rasulullah  diperintahkan  berhenti.  Orang-orang  pun
mulai  mengambil air dari sumur. Setelah selesai, kata Rasul
kepada mereka:
 
"Jangan ada yang minum air sumur ini,  juga  jangan  dipakai
berwudu  untuk  sembahyang.  Bila sudah ada adonan yang kamu
buat dengan air itu berikanlah kepada ternak dan  samasekali
jangan  kamu  makan.  Juga  jangan ada yang keluar malam ini
kalau tidak disertai seorang teman."
 
Soalnya tempat itu tiada pernah  dilalui  orang  dan  kadang
timbul  angin badai berupa pasir yang dapat menimbun manusia
atau binatang. Malam itu ada dua orang  yang  keluar  diluar
perintah  Rasul.  Salah seorang daripada mereka dibawa angin
dan yang seorang  lagi  tertimbun  pasir.  Keesokan  harinya
orang  melihat  pasir itu telah menimbuni sumur sehingga air
tidak ada lagi. Orang jadi takut akan kehausan  lebih  ngeri
lagi karena perjalanan masih panjang. Akan tetapi, sementara
mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba datang awan membawa
hujan  dan  mereka  pun  kini mendapat air berlimpah-limpah.
Perasaan takut  hilang  dan  mereka  semua  bergembira.  Ada
mereka yang berkata satu sama lain, bahwa itu suatu mujizat.
Sedang yang lain mengatakan itu hanya awan lalu.
 
Setelah itu pasukan tentara  itu  meneruskan  perjalanan  ke
Tabuk.   Sebenarnya  tentang  pasukan  ini  dan  kekuatannya
beritanya sudah sampai kepada pihak Rumawi. Oleh karena  itu
ia  lebih  suka menarik mundur pasukannya yang tadinya sudah
ditujukan ke  perbatasan  dengan  maksud  hendak  melindungi
daerah  Syam  dengan  benteng-bentengnya  itu. Setelah pihak
Muslimin sampai  di  Tabuk  dan  Muhammad  mengetahui  pihak
Rumawi menarik diri dan berada dalam ketakutan, dirasa sudah
tidak pada tempatnya akan mengejar mereka  terus  sampai  ke
dalam negeri mereka.
 
Oleh  karena  itu  ia  tetap  tinggal  di  perbatasan,  akan
menghadapi siapa saja yang akan menyerang  atau  melawannya.
Ia  berusaha menjaga perbatasan-perbatasan itu supaya jangan
ada pihak yang melandanya.
 
Ketika itulah Yohanna bin Ru'ba -  seorang  amir  (penguasa)
Aila3 yang tinggal  di perbatasan   oleh Nabi telah dikirimi
surat supaya ia tunduk atau  akan  diserbu.  Yohanna  datang
sendiri dengan memakai salib dari emas di dadanya. Ia datang
dengan membawa hadiah dan menyatakan  setia.  Ia  mengadakan
perdamaian  dengan  Muhammad  dan  bersedia  membayar  jizya
seperti yang juga dilakukan oleh pihak Jarba'4  dan  Adhruh5
dengan  membayar jizya. Di samping itu Rasulullah telah pula
membuat surat-surat  perjanjian  perdamaian  dengan  mereka.
Berikut  ini  salah  satu  bunyi teks itu, yakni yang dibuat
dengan Yohanna:
 
"Atas nama Allah, Pengasih dan Penyayang.  Surat  ini  ialah
perjanjian  keamanan  atas  nama  Tuhan  dari Muhammad, Nabi
Utusan Allah kepada Yohanna ibn Ru'ba serta  penduduk  Aila,
atas  kapal-kapal  dan  kendaraan-kendaraan dalam perjalanan
mereka di darat dan di laut,  mereka  berada  dalam  jaminan
Allah  dan Muhammad, termasuk mereka penduduk Syam, penduduk
Yaman dan penduduk pantai laut. Barangsiapa melakukan  suatu
pelanggaran  maka  selain  dirinya,  hartanya itu tidak akan
dapat melindunginya dan Muhammad  dibenarkan  mengambil  itu
dari  mereka.  Mereka  tidak  boleh dirintangi dari air yang
dikehendaki atau jalan yang akan ditempuhnya, di darat  atau
di laut."
 
Sebagai tanda persetujuan atas perjanjian ini Muhammad telah
pula memberikan hadiah kepada Yohanna berupa mantel  tenunan
Yaman  disertai perhatian penuh kepadanya, setelah diperoleh
persetujuan bahwa Aila  akan  membayar  jizya  sebesar  3000
dinar tiap tahun.
 
Muhammad sebenarnya sudah tidak perlu lagi berperang setelah
pihak Rumawi  menarik  diri,  dan  telah  dibuat  perjanjian
dengan  daerah-daerah yang terletak di perbatasan dan karena
sudah merasa aman setelah pula balatentara Bizantium kembali
dari  wilayah  itu,  kalau  tidak  karena  lalu timbul suatu
kekuatiran baru.  Pihak  Ukaidir  b.  'Abd'l-Malik  al-Kindi
orang  Nasrani,  Penguasa  Duma6 itu akan memberontak dengan
mendapat bantuan balatentara Rumawi bilamana  mereka  datang
dari  jurusan  itu. Itu sebabnya Nabi lalu menugaskan Khalid
bin'l-Walid dengan sebuah pasukan berkuda terdiri  dari  500
orang.  Dia  sendiri  berbalik  dengan pasukannya kembali ke
Medinah.
 
Dengan cepat sekali Khalid terjun menyusur  ke  Duma  dengan
tidak  setahu  penguasa  itu,  yang dalam malam terang bulan
dengan  disertai  saudaranya  yang  bernama  Hassan,  sedang
sama-sama   memburu   lembu   liar.  Khalid  tidak  mendapat
perlawanan  yang  berarti.  Hassan  terbunuh   dan   Ukaidir
ditawan.  Ia  diancam  akan dibunuh kalau pintu gerbang Duma
tidak dibuka. Oleh  karena  itu  pintu-pintu  kota  kemudian
dibuka  sebagai tebusan atas diri sang amir. Dari tempat ini
Khalid kemudian dapat mengangkut sebanyak duaribu ekor unta,
delapan ratus ekor kambing, empat ratus wasq (muatan) gandum
dan empat ratus buah pakaian  besi.  Semua  itu  diangkutnya
bersama-sama  dengan  Ukaidir  sampai dapat menyusul Nabi di
Ibukota.  Muhammad  menawarkan  Islam  kepada  Ukaidir  yang
kemudian diterimanya dan ia pun menjadi pula sekutunya.
 
Muhammad  kembali  dengan  memimpin  ribuan  anggota Pasukan
'Usra ini dari perbatasan Syam  ke  Medinah,  bukanlah  soal
yang  ringan.  Mereka  itu  kebanyakan  tidak mengerti makna
persetujuan  yang  telah  diadakan  dengan  amir  Aila   dan
negeri-negeri  tetangganya,  Juga  mereka  tidak  menganggap
begitu penting  persetujuan-persetujuan  yang  telah  dibuat
oleh  Muhammad  guna menjamin keamanan di perbatasan seluruh
jazirah   itu   serta   dibangunnya    benteng-benteng    di
tempat-tempat  itu  sebagai  perbatasan dengan pihak Rumawi.
Sebaliknya yang dapat mereka lihat  hanyalah,  bahwa  mereka
menempuh  jalan yang sulit dan panjang ini, dengan mengalami
gangguan-gangguan, kemudian kembali tanpa membawa  rampasan,
tanpa  membawa  tawanan perang, bahkan berperang juga tidak.
Segala yang dapat mereka lakukan hanyalah tinggal  di  Tabuk
selama hampir duapuluh hari.
 
Jadi,  hanya untuk inikah mereka mengarungi padang sahara di
bawah  tekanan   panas   musim   yang   dahsyat,   sementara
buah-buahan  di  Medinah  sudah mulai masak, dan orang sudah
pula dapat menikmatinya?  Ada  segolongan  orang  yang  lalu
mengejek  apa  yang telah dilakukan Muhammad itu. Orang yang
memang  sudah  teguh   imannya,   menyampaikan   kabar   ini
kepadanya.  Ia  mengambil tindakan terhadap orang-orang yang
mengejeknya itu, kadang dengan kekerasan, kadang dengan cara
lemah-lembut,    sementara    pasukan   tentara   meneruskan
perjalanan pulang ke Medinah sambil selalu Muhammad  menjaga
dan mengatur barisan itu.
 
Tatkala  ia  sudah  sampai  di  kota, Khalid bin'l-Walid pun
menyusul pula sampai. Ia datang bersama dengan Ukaidir  yang
dibawanya  dari  Duma,  berikut  unta,  kambing,  gandum dan
baju-baju  besi.  Ketika  itu  Ukaidir  mengenakan   pakaian
lengkap  dari sutera berat dengan berumbaikan emas. Penduduk
Medinah sangat terpesona melihatnya.
 
Mereka yang tinggal di belakang  tidak  mengikutinya  merasa
gelisah  sekali.  Mereka  yang  tadinya  mengejek kini mulai
sadar sendiri. Mereka datang sekarang sambil  membawa  dalih
minta maaf. Tetapi kebanyakan mereka minta maaf itu disertai
kebohongan.  Sikap  mereka  ini   oleh   Muhammad   ditolak,
diserahkan kepada kebijaksanaan Tuhan. Tetapi ada tiga orang
yang sudah beriman kepada Allah dan kepada Rasul, mereka ini
mengakui  akan  tindakan  mereka  tinggal  di  belakang  dan
mengakui pula dosa mereka. Mereka itu ialah Ka'b  b.  Malik,
Murara bin'r-Rabi' dan Hilal b. Umayya. Karena larangan yang
pernah dikeluarkan oleh Muhammad, mereka bertiga itu  selama
limapuluh  hari tidak diajak bicara oleh kaum Muslimin, juga
tidak seorang Muslim pun mengadakan hubungan  dagang  dengan
mereka. Tetapi Tuhan kemudian mengampuni mereka bertiga, dan
firman Tuhan ini turun:
 
"Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan
orang-orang  Anshar  yang  telah  mengikuti  Nabi  pada masa
kesulitan ('usra) setelah ada sebahagian mereka yang  hampir
menyimpang  hatinya.  Tetapi  kemudian Tuhan menerima taubat
mereka. Allah Maha Pengasih  dan  Penyayang  kepada  mereka.
Juga  terhadap tiga orang yang tinggal di belakang, sehingga
bumi yang seluas ini terasa sempit oleh mereka, napas mereka
pun  terasa  sesak, dan mereka sudah mengerti, bahwa tak ada
tempat berlindung dari siksa Tuhan selain kepada Tuhan juga.
Kemudian  Allah  menerima taubat mereka supaya mereka selalu
bertaubat. Dan Allah Maha Penerima segala  taubat  dan  Maha
Pengasih." (Qur'an, 9:117-118)
 
Sejak  itu  Muhammad  bersikap  tegas  terhadap  orang-orang
Munafik,  suatu  sikap  yang  tidak   biasa   mereka   alami
sebelumnya.  Soalnya ialah karena jumlah kaum Muslimin sudah
bertambah banyak. Tingkah-laku kaum Munafik terhadap  mereka
akan  berbahaya  sekali  dan sangat dikuatirkan. Oleh karena
itu perlu diatasi. Muhammad  memang  sudah  yakin  sekali  -
setelah  janji Tuhan akan memberikan kemenangan kepada agama
dan perintah Tuhan - bahwa  jumlah  mereka  akan  bertambah,
akan  berlipat-ganda  banyaknya  dari  yang  sekarang.  Maka
ketika itulah  orang-orang  Munafik  akan  merupakan  bahaya
besar.  Keadaan  sebelum  itu,  tatkala Islam masih terbatas
dalam kota  Medinah  dan  sekitarnya,  segala  yang  terjadi
terhadap   kaum  Muslimin  dia  sendiri  yang  mengawasinya.
Tetapi, sesudah agama meluas  tersebar  ke  seluruh  jazirah
Arab,   bahkan  sudah  hampir  meluas  keluar,  maka  setiap
kelalaian terhadap orang-orang  Munafik  itu,  berarti  akan
merupakan  suatu  bencana yang sangat dikuatirkan akibatnya,
akan merupakan bahaya yang cepat sekali akan  menjalar  jika
tidak lekas-lekas pula kuman-kuman itu diberantas.
 
Ada  beberapa  orang  membuat  sebuah  mesjid7  di  Dhu Awan
sejauh satu jam perjalanan dari  Medinah.  Ke  dalam  mesjid
inilah  kelompok  orang-orang  Munafik  itu  selalu  datang.
Mereka berusaha  hendak  mengubah  ajaran  Tuhan  dari  yang
sebenarnya.  Dengan  itu  mereka  hendak  memecah-belah kaum
Muslimin dengan menimbulkan bencana dan kekufuran.  Kelompok
ini  meminta  kepada Nabi supaya membuka mesjid dan sekalian
sembahyang di tempat itu. Permintaan mereka diajukan sebelum
peristiwa Tabuk. Oleh Nabi mereka diminta menunggu sampai ia
kembali. Tetapi setelah  kembali  dan  mengetahui  persoalan
mesjid  itu serta untuk apa pula tujuan sebenarnya dibangun,
oleh Nabi diperintahkan supaya mesjid  itu  dibakar.  Dengan
demikian   hal   itu  telah  menjadi  contoh,  yang  membuat
orang-orang Munafik itu jadi  ketakutan.  Mereka  surut  dan
menyisihkan  diri. Yang akan melindungi mereka pun sudah tak
ada lagi selain Abdullah b. Ubayy, ketua dan pemimpin mereka
itu.

Hanya  saja  sesudah Tabuk, Abdullah b. Ubayy ini tidak lama
lagi hidupnya. Setelah dua bulan menderita  sakit  ia  mati.
Meskipun  rasa  dengki  terhadap Muslimin sudah menggerogoti
hatinya sejak Nabi tinggal di Medinah, namun Muhammad  lebih
suka  kaum Muslimin jangan menggangu Ibn Ubayy. Ketika orang
ini meninggal dan Nabi diminta  menyembahyangkannya,  dengan
segera  pula  Nabi pun menyembahyangkan dan mendoakan ketika
dikuburkan sampai upacara itu selesai.  Dengan  matinya  Ibn
Ubayy  sendi kaum Munafik itu juga runtuh. Mereka yang masih
ada, sekarang dengan sungguh-sungguh mereka bertaubat kepada
Tuhan.
 
Dengan  ekspedisi  Tabuk  ini  maka  selesailah amanat Tuhan
diajarkan ke seluruh jazirah Arab, dan Muhammad sudah merasa
aman  dari  setiap  permusuhan  yang  akan  ditujukan kepada
agama. Utusan-utusan dari pelbagai  daerah  sekarang  datang
menghadap  kepadanya  dengan  menyatakan sekali kesetiaannya
serta mengumumkan pula keislamannya.  Ekspedisi  sekali  ini
buat  Nabi  a.s.  merupakan  ekspedisi terakhir. Sesudah itu
Muhammad menetap di  Medinah,  menikmati  karunia  pemberian
Tuhan  kepadanya.  Ibrahim  anaknya  merupakan  jantung hati
cindur  mata  selama  enambelas  atau  delapanbelas   bulan.
Apabila   ia   selesai   menerima   para   utusan,  mengurus
masalah-masalah kaum Muslimin, menunaikan  kewajiban  kepada
Tuhan  serta  hak kewajiban seluruh keluarga, hatinya merasa
sejuk dengan melihat bayi yang selalu  berkembang  dan  baik
sekali   pertumbuhannya   itu.   Makin   lama   makin  jelas
kesamaannya, yang membuat sang ayah makin  cinta  dan  kasih
kepadanya.   Sepanjang   bulan   itu   yang   menjadi  inang
pengasuhnya ialah Umm Saif,  yang  menyusui  dan  memberikan
susu kambing pengasih Nabi dulu itu.
 
Cinta-kasih  Muhammad kepada Ibrahim sebenarnya bukan karena
suatu maksud pribadi yang  ada  hubungannya  dengan  Risalah
yang  dibawanya, atau dengan yang akan menjadi penggantinya.
Muhammad a.s. dengan imannya kepada Tuhan dan kepada Risalah
Tuhan  tidak  akan  memikirkan  anak  atau  siapa  yang akan
mewarisinya. Bahkan dikatakannya:
 
"Kami  para  Nabi,  tidak  dapat  diwarisi.  Apa  yang  kami
tinggalkan untuk sedekah."
 
Akan  tetapi,  rasa  kasih  insani dalam artinya yang luhur,
rasa kasih insani yang  begitu  dalam  tertanam  dalam  hati
Muhammad  -  yang kiranya tidak akan dicapai oleh siapa pun,
rasa insani yang akan membuat manusia  Arab  memandang  anak
laki-laki yang akan mewarisinya sebagai sebuah lukisan abadi
- rasa kasih inilah yang telah membuat Muhammad  mencurahkan
semua  cintanya  kepada  Ibrahim,  kasih-sayang  yang  tiada
taranya. Dan rasa kasih ini lebih  parah  merasuk  ke  dalam
hati, karena sebelum itu ia telah kehilangan kedua puteranya
- Qasim dan Tahir, - dan keduanya masih bayi dalam  pangkuan
Khadijah   ibunya.  Setelah  Khadijah  wafat  ia  kehilangan
puteri-puterinya  pula,  satu  demi  satu,  setelah   mereka
bersuami  dan  menjadi ibu. Sekarang tak ada lagi yang masih
hidup, selain Fatimah. Putera-putera dan puteri-puteri  itu,
yang  satu  demi  satu  berguguran  di  tangannya dan dengan
tangannya  sendiri  pula  ia  menguburkan  mereka  ke  dalam
pusara, yang telah meninggalkan luka yang begitu pedih dalam
hatinya, kini terasa terobat juga dengan  lahirnya  Ibrahim,
tempat  buah  hati  meletakkan  segala  harapan.  Dan  sudah
sepantasnya pula bila dengan harapan itu ia merasa  gembira,
merasa bahagia.
 
Tetapi  harapan  ini  tidak  berlangsung  lama; hanya selama
beberapa  bulan  saja  seperti  yang  sudah  kita  sebutkan.
Sesudah   itu   Ibrahim   jatuh  sakit,  sakit  yang  sangat
menguatirkan. Ia dipindahkan ke sebuah tempat  dengan  kebun
kurma  di  samping  Masyraba  Umm  Ibrahim.  Maria dan Sirin
adiknya selalu menjaga dan merawatnya. Bayi ini  tidak  lama
sakitnya  Tatkala  ajal  sudah  dekat  dan Nabi diberi tahu,
karena rasa sedih yang sangat mendalam, ia  berjalan  dengan
memegang   tangan   Abdur-Rahman  b.  'Auf  sambil  bertumpu
kepadanya. Bila ia sudah sampai ke  tempat  itu  di  samping
'Alia  - tempat Masyraba yang sekarang - dijumpainya Ibrahim
dalam  pangkuan  ibunya,  sedang  menarik  napas   terakhir.
Diambilnya  anak  itu,  lalu  diletakkannya  di  pangkuannya
dengan hati yang remuk-redam rasanya.  Tangannya  menggigil.
Kalbu  yang  duka  dan  pilu rasa mencekam seluruh sanubari.
Lukisan hati yang sedih mulai membayang dalam raut wajahnya.
Sambil meletakkan anak itu di pangkuan ia berkata:
 
"Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Tuhan."
 
Dalam  keadaan  hening  yang menekan itu kemudian airmatanya
berderai bercucuran, sementara anak itu sedang menarik napas
terakhir.  Sang  ibu dan Sirin menangis menjerit-jerit; oleh
Rasulullah dibiarkan mereka begitu.
 
Setelah tubuh  Ibrahim  tiada  bergerak  lagi,  sudah  tiada
bernyawa,  dan  dengan  kematiannya  itu  padam  pula  semua
harapan yang selama ini membuka hati Nabi, makin deras  pula
airmata Muhammad mengucur, sambil ia berkata:
 
"Oh  Ibrahim,  kalau  bukan karena soal kenyataan, dan janji
yang tak dapat dibantah lagi, dan bahwa kami  yang  kemudian
akan  menyusul  orang yang sudah lebih dahulu daripada kami,
tentu akan lebih lagi kesedihan kami dari ini." Dan  setelah
diam  sejenak,  katanya  lagi:  "Mata boleh bercucuran, hati
dapat merasa duka, tapi kami hanya berkata apa yang  menjadi
perkenan  Tuhan,  dan  bahwa  kami, O Ibrahim, sungguh sedih
terhadapmu."
 
Muslimin yang melihat Muhammad begitu duka,  beberapa  orang
terkemuka  hendak  mengurangi hal itu dengan mengingatkannya
akan larangannya berbuat demikian. Tapi  ia  menjawab:  "Aku
tidak  melarang  orang  berduka  cita,  tapi  yang  kularang
menangis dengan suara  keras.  Apa  yang  kamu  lihat  dalam
diriku  sekarang,  ialah  pengaruh  cinta  dan kasih didalam
hati. Orang yang tiada menunjukkan  kasih  sayangnya,  orang
lain  pun  tiada  akan  menunjukkan kasih sayang kepadanya."
Atau seperti dikatakan juga: Kemudian  ia  berusaha  menahan
duka  hatinya. Ia memandang Maria dan Sirin dengan pandangan
penuh kasih. Kepada mereka dimintanya  supaya  lebih  tenang
sambil katanya: "Ia akan mendapat inang pengasuh di surga."
 
Kemudian setelah ia dimandikan oleh Umm Burda, - sumber lain
menyebutkan oleh Fadzl bin'l-'Abbas - dibawa dari rumah  itu
di  atas  sebuah  ranjang  kecil.  Nabi  dan Abbas pamannya,
begitu juga sejumlah kaum Muslimin ikut mengantarkan  sampai
ke    Baqi'.   Di   tempat   itu   ia   dimakamkan   setelah
disembahyangkan oleh Nabi. Selesai pemakaman Muhammad  minta
supaya   makam  itu  ditutup  kemudian  diratakannya  dengan
tangannya sendiri. Ia memercikkan air dan memberi  tanda  di
atas kubur itu. Lalu katanya:
 
"Sebenarnya   ini   tidak   membawa   kerugian,  juga  tidak
mendatangkan keuntungan. Tetapi hanya akan menyenangkan hati
orang  yang  masih hidup. Apabila orang mengerjakan sesuatu,
Tuhan lebih suka bila dikerjakan secara sempurna."
 
Bersamaan dengan kematian Ibrahim itu kebetulan terjadi pula
matahari  gerhana.  Kaum  Muslimin  menganggap peristiwa itu
suatu mujizat. Kata mereka matahari gerhana  karena  Ibrahim
meninggal. Hal ini terdengar oleh Nabi.
 
Karena  cintanya  yang begitu besar kepada Ibrahim, dan rasa
duka yang begitu dalam karena kematiannya,  adakah  ia  lalu
merasa    terhibur    mendengar    kata-kata    itu,    atau
setidak-tidaknya akan didiamkan saja, menutup  mata  melihat
orang  sudah  begitu  terpesona  karena telah menganggap itu
suatu mujizat? Tidak. Dalam keadaan serupa  itu,  kalau  pun
ini   layak   dilakukan  oleh  mereka  yang  suka  mengambil
kesempatan karena kebodohan orang, atau layak dilakukan oleh
mereka yang  sudah  tak  sadar karena terlampau sedih,  buat
orang yang berpikir sehat tentu hal ini tidak layak, apalagi
buat  Nabi  Besar!  Muhammad  melihat mereka yang mengatakan
bahwa matahari telah jadi gerhana karena  kematian  Ibrahim,
dalam khotbahnya kepada mereka ia berkata:
 
"Matahari  dan bulan ialah tanda kebesaran Tuhan, yang tidak
akan jadi gerhana karena kematian atau  hidupnya  seseorang.
Kalau kamu melihat hal itu, berlindunglah dalam zikir kepada
Tuhan dengan berdoa."
 
Sungguh suatu kebesaran  yang  tiada  taranya.  Rasul  tidak
melupakan  risalahnya  itu  dalam  suatu situasi yang begitu
gawat, situasi jiwa yang sedang dalam keharuan dan kesedihan
yang   amat  dalam!  Kalangan  Orientalis  dalam  menanggapi
peristiwa yang terjadi terhadap  diri  Muhammad  ini,  tidak
bisa  lain  mereka  bersikap hormat dan kagum sekali! Mereka
tidak dapat menyembunyikan rasa kekaguman dan rasa hormatnya
itu  kepadanya.  Mereka  menyatakan pengakuan mereka tentang
kejujuran orang itu, yang dalam situasi yang sangat gawat ia
tetap    mempertahankan    hak    dan    kejujurannya   yang
sungguh-sungguh !
 
Gerangan bagaimana pula perasaan isteri-isteri Nabi  melihat
kesedihan  dan  dukacita  yang  menimpanya  begitu  mendalam
karena  kematian  Ibrahim  itu?  Dia  sendiri  sudah  merasa
terhibur  dengan karunia Tuhan itu dan dapat pula meneruskan
tugas menunaikan risalah  serta  dengan  bertambahnya  Islam
tersebar  pada perutusan yang terus-menerus datang kepadanya
dari segenap penjuru, sehingga tahun  kesepuluh  Hijrah  ini
diberi nama 'Am'lWufud - Tahun Perutusan.' Pada tahun itulah
Abu Bakr memimpin orang menunaikan ibadat haji.
 
Catatan kaki:
 
1. Zakat  'usyr ialah zakat hasil bumi  yang  dikenakan  1/10
dari produksi hasil pertanian bila diolah dengan bantuan air
hujan atau  mata  air  alam  dan  1/20  bila  diairi  dengan
menggunakan  tenaga.  Ada  yang  berpendapat,  bahwa  secara
teknis ini bukan zakat, karena yang dikenakan hanya hasilnya
(A).
2.  Pajak kepala sebagai kompensasi atas setiap non-Muslim di
bawah pemerintahan Islam dengan mendapat  jarninan  keamanan
dan dibebaskannya ia dari wajib militer (A)
3.  Aila  ialah  Elath  atau  'Aqaba sekarang, di dekat Teluk
Aqaba (A).
4. Jarba' sebuah desa  di  dekat  Amman  di  bilangan  Balqa,
wilayah Syam.
5.  'Adhruh,  nama  tempat di ujung Syam antara Balqa, dengan
Amman, berdekatan dengan Hijaz dan tidak jauh dari Jarba'.
6. Duma,  ialah  yang  dikenal  dengan  nama  Dumat'l-Jandal,
terletak sekitar 220 km  dari Damsyik ke jurusan Medinah.
7.  Mesjid  ini  dikenal  dengan  nama  'Masjid  Dziral' atau
'Masjid  Bencana,'  dzirar  harfiah   berarti   'kerusuhan,'
'kerugian,', 'bahaya' (A).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar